Penggunaan Rujuk-Silang
dalam Novel Student Hidjo karya Mas Macro Kartodikromo
Penyebutan
ulang dalam prosa merupakan hal yang harus diperhatikan. Karena penyebutan
ulang berfungsi merujuk kalimat atau makna sebelumnya. Seperti kata ganti
orang, pengulangan penamaan suatu latar, benda, dsb. Rujuk-silang, yang
merupakan penyebutan kembali sesuatu yang telah dikemukakan sebelumnya,
merupakan alat pengulangan makna dan referensi. Bentuk penulangan yang paling
nyata- yang dikenal dengan pengulangan formal- adalah berupa pengulangan kata
atau kelompok kata yang sama.[1]
Dalam
novel Student Hidjo penggunaan rujuk-silang
kata ganti orang lebih sedikit digunakan oleh pengarang. Mas Marco lebih sering
menyebutkan nama tokoh.
“Sudah
dua bulan lamanya Hidjo tinggal di
Negeri Belanda dan menjadi pelajar di Delf. Selama itu pula Hidjo belum merasa kerasan tinggal di
Nederland karena pikiran dan sikap Hidjo
tidak sebagaimana anak muda kebanyakan”.[2]
“Sewaktu
Hidjo dan Betje keluar dari stasiun hendak naik tram, beberapa orang tukang
semir sepatu, orang-orang yang berjualan di situ sama ribut menanyakan
kepadanya. Apakah Hidjo dan Betje tidak suka digosok sepatunya? Karena
permintaan itu, maka dengan ikhlas Hidjo memberi uang …”[3]
Rujuk
silang harus diperhatikan benar oleh pengarang dan digunakan dengan secara
cermat dan hati-hati karena jikalau pengarang kurang memeperhatikan dan kurang
cermat maka akan menimbulkan ketidaksesuaian penyebutaan awal dan selanjutnya.
Hemat penulis, tidak ada kohesifitas.
Jika
diperhatikan pada penamaan kapal yang dibuat oleh Mas Marco. Pada mulanya Mas
Marco menyebutkan nama kapal yang dinaiki Hidjo ke Nederland adalah Kapal Api
Gunung
“Kurang seminggu
dari Keberangkatan Kapal Api Gunung
…”[4]
Kemudian pada
halaman selanjutnya Mas Marco menyebutkan kembali nama kapal tersebut tetapi
yang disebutkan berbeda dengan sebelumnya, yaitu Kapal Gunung.
“Meski Kapal Gunung sudah jauh dari daratan,
tetapi Hidjo masih selalu melihat ke arah Tanjung Priok …”[5]
Dan pada halaman selanjutnya
penamaan nama kapal sama dengan yang disebutkan pertama kali, yaitu Kapal Api
Gunung.
“Semakin lama
semua passagier Kapal Api Gunung satu sama lain semakin akrab”.[6]
Penyingkatan
atau pengurangan itu pada umumnya dilakukan jika sesuatu yang dituturkan
sebelumnya itu panjang sehingga jika dituturkan kembali seperti apa adanya akan
merupakan pemborosan yang justru menyebabkan tidak efesien dan efektifnya
penuturan itu.[7]
Ketidakkonsistenan
dalam penamaan Kapal membuat pertanyaan, apakah nama itu hanya dibuat
pengarang, ada kesalahan dalam pencetakan ataukah pengarang tidak memperhatikan
hal tersebut ? Semua kemungkinan itu bisa saja terjadi.
Pada
masa awal penjajahan Belanda, bacaan dikategorikan menjadi dua, yaitu: bacaan
Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan disesuaikan
dengan visi misi Belanda untuk mendukung peranannya di Indonesia sehingga
memiliki beberapa peraturan yang ketat dalam menyelekasi tulisan untuk
diterbitkan, mulai dari tema, tokoh, hingga bahasa yang digunakan. Dan bacaan
liar adalah bacaan yang dikelola dan diterbitkan oleh penerbit selain Balai
Pustaka yang dianggap sebagai propaganda pada Belanda. Novel Student Hidjo adalah salah satu bacaan
liar pada saat itu, karena bahasa yang digunakan pengarang bukan Melayu tinggi,
dan pengarangnya seorang komunis. Lengkaplah sudah karya Mas Marco ditolak oleh
Balai Pustaka.
Alasan tersebut dapat memperkuat sebab
ketidakonsistenan pengarang dalam novel Student
Hidjo dikarena dua faktor, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.
Fakor internal
(faktor
dari dalam) yaitu pengarang sendiri. Mas Marco adalah seorang priyayi kecil
yang memiliki sifat banyak bicara, tidak bias diam yang sangat berbeda sekali
dengan priyayi kelas tinggi dan tergila-gila dengan budaya Eropa. Hal ini tidak
menutup kemungkinan penyebutan yang tidak konsisten tersebut disebabkan kurangnya
ketelitian dan perhatian pengarang.
Kemudian
faktor eksternal (factor dari luar) disebabkan novel Student Hidjo pada awalnya merupakan cerita bersambung yang dimuat
dalam surat kabar pada tahun 1918. Kemudian pada tahun 1919 dibukukan.
Kemungkinan percetakan atau pihak lain sebagai editor melakukan kesalahan.
Namun penghilangan kata <Api> tidak begitu berpengaruh pada pembaca. Namun
sebagai koreksi, sebaiknya sesuatu yang ditulis harus sesuai dengan rujukan
awal yang telah disebutkan sebelumnya.
[1] Burhan
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi,
Jakarta: Gajah Mada University Press, h. 307
[2]
Mas Marco Kartodikromo, Student hidjo,
Jakarta: PT Buku Seru, h. 74
[3] Ibid., h. 139
[4] Ibid., h. 17
[5] Ibid., h. 22
[6] Ibid., h. 24
[7]
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian
Fiksi, Jakarta: Gajah Mada University Press, h. 307
Tidak ada komentar:
Posting Komentar