Arus Kesadaran Tokoh Rohayah dalam
Novel Belenggu Karya Armijn Pane
Belenggu
merupakan novel pertama di Indonesia karena hanya bercerita mengenai satu sisi
kehidupan dalam termin waktu yang singkat, isi ceritanya yang terlepas dari
masalah adat, kawin paksa, pertentangan anatar golongan tua dan muda. Namun
novel Belenggu menceritakan
pergolakan batin/belenggu masing-masih tokoh di dalamnya sehingga pembaca
diajak berfikir dan merasakan.
Penggunaan
arus kesadaran dalam novel lebih berorientasi pada pemaparan hal-hal yang
paling mendalam dari diri para tokoh bahkan pemaparan tersebut dapat merupakan
manifestasi gagasan pengarang yang ingin mempengaruhi pemikiran pembaca.[1]
Rohayah
adalah salah satu tokoh yang memiliki dua belenggu, yakni: kawin paksa tetapi
dia sudah melepas belenggu tersebut dengan melarikan diri, dan cinta masa
lalunya pada dokter Sukartono. Belenggu yang belum dilepasnya adalah cinta masa
lalunya pada dokter tersebut. Membuat dia berusaha untuk menarik simpati dokter
Sukartono.
Mula-mula
Roohayah berpura-pura menjadi seorang pasien yang bernama nyoya Emi. Kemudian
Rohayah mencoba menarik perhatian Sukartono.
“Lihatlah
tuan dokter, rajinnya saya minum obat tuan,”kata nyoya Eni menunjukkan botol
obat, diambilnya dari atas meja.”[2]
Setelah
menarik perhatian Sukartono, Rohayah mencoba menarik kedatangan Sukartono untuk
menemuinya.
“Dokter
biasanya banyak-banyak datang, biar banyak-banyaknya dapat duit, tetapi tuan
dokter hendak lekas-lekas jangan datang lagi, sudah mengatakan tiada akan
bersua lagi?....”[3]
Maksud
dari perkataan Rohayah tersebut merupakan sebuah kiasan untuk Sukartono agar
sering mengunjunginya walaupun dia sudah sembuh lagi. Mulai dari kunjungannya
yang ke-2 tersebut membuat dokter Sukartono sering mengunjungi nyoya Emi, salah
satunya disebabkan karena Sukartono penasaran mengenai identitas nyoya Emi.
“Dokter
Sukartono duduk terenjak sebentar, seolah-olah mendengar ucapan yang demikian
juga tapi tiada ingat dimana……)”[4]
“Sekali-kali
kalau ia memandang air muka Yah dengan tenang-tenang, terbit pula dalam
pikirannya pertanyaan, yang sejak mulanya sudah tumbuh dalam hatinya:
“Dimanakah dia aku lihat dahulu?”[5]
Pertemuan yang intensif tersebut
membuat mereka berdua semakin dekat, sering jala-jalan, dan semakin mesra.
Hingga Sukartono selalu nyaman di dekat nyoya Emi.
“Cuma
satu saja yang dia tahu benar; di rumah Yah, melihat Yah, hatinya tenan, merasa
puas. Perkara lain-lain buntu bagi pikirannya.”[6]
Dari
pemaparan mengenai sifat Rohayah tersebut, dapat disimpulkan Rohayah merupakan
tokoh yang paling aktif, paling lembut bukan berarti dia tidak mempunyai
pilihan. Arus kesadaran tokoh Rohayah adalah dia sangat sadar mengambil
keputusan dalam mengatur siasat untuk merayu Dokter Sukartono agar dia dapat
melepaskan belenggunya dari cinta lamanya dengan Sukartono. Namun akhirnya Rohayah
merupakan tokoh yang paling bebas dari belenggunya karena mengambil sikap untuk
meninggalkan Sukartono dan pergi ke Nieuw Caledonie.
“Yah
tersenyum, sambil menangis….. dia merasa belenggu dahulu, waktu dia belum
bertemu dengan Tono, terkunci lagi, tetapi belenggu itu terasa ringan,
menerbitkan perasaan gembira yang tidak terhingga, bercampur perasaan duka yang
tidak terhingga pula…….”[7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar