Jumat, 15 Maret 2013

Kajian Prosa: Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Khayam Menggunakan Pendekatan Ekspresif


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Abrams menjelaskan bahwa pendekatan ekspresif memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan. Jika dibayangkan bahwa segala gagasan, cita rasa, emosi, ide, dan nagan-angan merupakan ‘dunia dalam’ pengarang, karya sastra merupakan ‘dunia luar’ yang bersangkutan dengan ‘dunia dalam’ itu. Dengan cara pendekatan ini, penilaian karya sastra tertuju pada emosi atau keadaan jiwa seorang pengarang. Karya sastra dianggap sebagai sarana untuk memahami keadaan jiwa pengarang atau sebaliknya dan juga dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang. Gerak jiwa, penggambaran imajinasi dan fantasi pengarang yang terlukis dalam karyanya.. 
Pengarang biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh alam disekitarnya. Tidak heran lagi jika pengarang khususnya Umar Kayam mengundang pembicaraan, karena wujud dari nilai social yang digambarkan pola-pola dasar humanisasi. Bagi Kayam, “apapun yang dilakukannya, ditulisnya, ia lihat sebagai suatu proses perkembangan berfikir dan merenung dari seseorang yang selalu ingin dekat dengan berbagai gatra masalah kemanusiaan atau dengan mnusia itu sendiri”.[1]
Umar Kayam selalu memberi khas pada teks bahwa konflik-konflik antarkelas dan konflik kebudayaan yang tidak dihadapi dengan tragis, namun dengan pengertian dan humor, bahkan dihadapi sebagai komedi. Umar Kayam menganggap pandangannya itu tidak hanya sebatas pada pilihan pribadi tetapi juga pada suatu strategi yang digunakan dengan sadar dalam berhadapan dengan transisi masyarakat. Karya-karyanya berkaitan erat dengan latarbelakang kehidupannya, yaitu budaya Jawa.
Pada Kayam, penerimaan, pengertian dan toleransi terhadap perubahan sosial menjadi sikap terhadap suatu proses panjang yang dijalani dengan harapan. Tema perubahan sosial, dan khususnya mobilitas sosial dan akibat-akibatnya, seakan-akan dibakukan dalam cerpennya yang panjang seperti “Bawuk” dan “Sri Sumarah”.

B.     RUMUSAN MASALAH
Pemahaman terhadap seorang pengarang akan semakin lengkap jika memahami latar belakang sosiologis, psikologis, dan latar belakang kebahasaan dan kesusastraan dari sastrawan. Maka, saya merumuskan masalah bagaimana pengaruh latar belakang kehidupan Umar Kayam dalam menciptakan Sri Sumarah dan Bawuk?.
C.    LANDASAN TEORI
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitik beratkan kajiaannya pada ekspresi perasaan atau tempramen penulis (Abrams, 1981:189). Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang (Selden, 1985: 52). Karya sastra tidak hadir bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya (Junus, 1985: 2).
Pendekatan ekspresif tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu diciptakan, seperti studi proses kreatif dalam studi biografis, tetapi bentik-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan.  “Apabila wilayah studi biografis terbatas hanya pada diri penyair dengan kualitas pikiran dan perasaannya, maka untuk wilayah ekspresif adalah diri pengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil ciptaannya”.[2] Jadi, pengaranglah yang menentukan tujuan dibalik sebuah teks yang ditulisnya.


D.    SINOPSIS
 “Sri Sumarah”
Sri Sumarah adalah seorang wanita Jawa yang telah menamatkan SKP nya di kota J. Sejak gadis Sri terus dididik oleh embahnya untuk selalu patuh, salah satunya untuk menjadi istri yang baik. Seperti namanya yang sumarah, Sri pasrah saja ketika dijodohkan oleh embahnya kepada Sumarto, putra pensiunan mantri candu yang sudah menjadi seorang guru. Dua belas tahun lamanya Sri menjadi istri Marto. Perkawinannya dikaruniai seorang putri yang diberi  nama Tun, dan  Tun menjadi tumpuan  harapannya ketika suaminya meninggal dunia karena wabah eltor.
Sri akhirnya menjadi janda diusianya yang tiga puluh tahun, yang banyak mendapat godaan. Namun Sri menolak semua laki-laki yang ingin menikahinya. Pusat perhatiannya adalah Tun. Tun tumbuh dengan subur, cerdas, pandai dan suka bergaul. Tun hidup lebih maju sesuai dengan perkembangan zaman. Sri merasakan anak zaman Tun kurang sabar dan lebih berani dengan orang tuanya dibandingkan dahulu.
Tun tidak berhasil mempertahankan kesuciannya yang sudah dipeliharanya sejak kecil. Tun hamil sebelum menamatkan sekolahnya. Walaupun Sri kecewa, perkawinan Tun dengan Yos berjalan semarak. Setelah menikah, Sri ikut tinggal bersama anak dan menantunya karena rumah Sri dan sebagian lagi sawahnya ia sewakan. Di sebuah kontrakan kecil, Sri merawat cucunya bernama Ginuk. Ginuk yang baru berusia tiga tahun harus berpisah dengan kedua orang tuanya yang terlibat pemberontakan (PKI). Yos meninggal dunia, sedangkan Tun masuk penjara.
Perjalanan hidup Sri semakin sulit. Maka di tengah kesulitannya itu, Sri mencoba untuk menjadi tukang pijit. Malam itu Sri bermimpi suaminya minta dipijit. Pada waktu bangun tidur ia merasa pasti bisa menjadi tukang pijit. Dari situlah Sri terkenal sebagai Bu Marto tukang pijit.
Sri berusaha menjadi seorang pemijit yang baik. Memang di antara tamu-tamu hotelnya banyak yang kurangajar, namun Sri tahan akan godaan itu. Namun, untuk pertama kalinya pertahanan Sri goyah, ketika ia bertemu dengan pasiennya yang muda dari Jakarta yang berbadan kekar. Sri menunjukan kepasrahannya ketika anak muda itu mendekap dan merayunya. Esok malamnya merupakan klimaks hancurnya pertahanan Sri. Sri meniti dirinya bukan sebagai wanita pijit jempolan lagi, karena kepasrahannya kepada anak muda itu, yang Sri anggap tak lebih dari seorang pelacur.

“Bawuk”
Bawuk adalah anak bungsu dari keturunan Priyayi yang terhormat dan berpendidikan. Bawuk adalah perempuan yang periang, ceriwis, cerdas, dan pemurah. Namun semua sifat yang ia miliki berubah sejak ia memilih Hassan untuk menjadi suaminya. Hassan yang tak lain adalah seorang pentolan PKI. Semua keluarganya menentang pilihannya itu, karena kakak tertua Bawuk menikah dengan seorang Brigjen, kakak keduanya menjadi dosen ITB, kakak ketiganya menikah dengan dirjen, dan kakak keempatnya menikah dan menjadi dosen di UGM. Sedangkan Bawuk bersuamikan seorang tokoh komunis.
Pernikahan Bawuk dan Hassan dikaruniai dua orang anak yang diberi nama Wowok dan Ninuk. Karena berpindah-pindah tempat tinggal, Wowok dan Ninuk akhirnya Bawuk titipkan kepada ibunya yaitu Nyonya Suryo untuk tinggal di sana, karena setelah pecahnya peristiwa G30S, keluarga Bawuk menjadi buronan. Ketika pengejaran semakin intensif, Hassan dan Bawuk terpisah. Dalam keadaan sendiri itulah Bawuk memutuskan untuk menitipkan kedua anaknya itu kepada ibunya.
Ketika Bawuk masih di rumah ibunya malam harinya, Bawuk berbicara dengan semua kakak-kakaknya. Sampai pukul tiga pagi, mereka berembuk untuk menggiring agar Bawuk untuk tidak kembali kepada suaminya di kota M. Namun, Bawuk tetap pada pendiriannya, menunggu Hassan di kota M. Akhirnya Bawuk pun pergi untuk mencari suaminya. Setelah ia pergi dari rumah ibunya, di suatu sore Nyonya Suryo membaca surat kabar bahwa para pemimpin PKI banyak yang ditangkap dan terbunuh. Salah satu nama yang tertembak mati adalah Hassan. Diakhir cerita keberadaan Bawuk tidak diketahui. 




BAB II
PEMBAHASAN
A.    ANALISIS UNSUR INTRINSIK
“Sri Sumarah”
Tema
Tema yang diangkat dari kedua cerita ini yaitu tentang persoalan lingkungan sosial dan kebudayaan pengarang yang  menjadi konteks terhadap lahirnya karya sastra. Pada cerita Sri Sumarah dan Bawuk ini, banyak menuangkan gagasan pribadi wanita khas (wanita Jawa). Dengan pengertian dari lingkup karakterisasi pola budaya, yang sekaligus dimanifestasikan melalui tokoh-tokoh cerita.

Tokoh dan Penokohan
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita Sri Sumarah adalah Sri Sumarah, embah, Mas Marto, Tun, Ginuk, Yos, Pak Carik, Pak Mohammad, Anak Muda, Pak RT, Pak Tukimin, dan Giman. Tokoh Sri Sumarah seorang Bu Guru Pijit yang terkenal. Sri digambarkan sebagai tokoh yang pasrah, sesuai dengan namanya sumarah yang berarti menyerah. Sri Sumarah selalu mengerti dan terbuka, tetapi tidak menolak. Maksudnya, Sri selalu pasrah akan keadaan hidup yang ia terima. Keadaan ini terlihat ketika Sri pasrah akan pilihan embahnya untuk menjadi pendamping hidupnya. Sri mengartikan itu semua sebagai sesuatu yang harus dimengerti, mengerti adalah mencari untuk mengerti.

“ Bukan kebetulan nduk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu kau diharap berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, itu tidak lantas kau diaaam saja, nduk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak. Mengerti nduk? “. (h.10).

Selain itu juga, kepasrahan Sri menghadapi kenyataan ditinggalkan suaminya meninggal dan harus merawat anaknya Tun seorang diri. Ketika Sri  harus menerima kenyataan kalau Tun telah hamil di luar nikah, Sri pun selalu mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak, ia masih sanggup berkata: “Cup nduk, cup. Ibu akan bereskan semuanya” (h.27). Demikian pula ketika ketika Yos menantunya mengkhawatirkan sawahnya akan diambil oleh pak Mohammad, Sri justru memarahi Yos. Sampai kepasrahan Sri pun muncul ketika Sri pasrah berada dipelukan seorang anak muda.
Kemudian tokoh Embah, embah yang tak lain adalah nenek dari Sri. Semenjak kedua orang tua Sri meninggal, embahlah yang merawat Sri dari kecil. Embah adalah tokoh yang penuh kasih sayang dan bijaksana. Rasa tanggungjawab embah kepada Sri begitu besar, sampai-sampai Sri selalu dididik untuk selalu patuh dan embah juga yang selalu mengajarkan Sri untuk menjadi istri yang sempurna.
Ditangan asuhan embah, Sri diajarkan untuk pintar menyenangkan suami, yaitu mengagumi kekuatan suami, mengerti kelemahan suami, untuk pintar ketika di dapur dan di tempat tidur. Tak hanya itu, embah selalu menyuruh Sri untuk membiasakan meminum jamu galian, agar badan Sri selalu singsat dan kencang. Sri juga selalu memakan kencur dan kunyit mentah agar tidak bau badan. Sampai pendamping hidup pun embahlah yang memilihkan untuk sri, yaitu Mas Marto.
Selanjutnya Mas Marto, bernama panjang Martokusumo. Nama yang halus yang diperuntukkan bagi para priyayi karena pak Martokusumo sudah mencapai tingkat mantri guru di kecamatan. Mas Marto adalah tokoh yang bertanggung jawab, pribadi yang halus dan lemah lembut yang mampu mengontrol emosinya dan juga mampu menjadi pemimpin yang baik. Pernikahannya denga Sri hanya bertahan selama dua belas tahun, karena Mas Marto meninggal karena wabah eltor ketika itu.
Selain itu juga, ada Tun, yang merupakan satu-satunya anak perempuan Sri. Tun seorang anak yang cerdas, pandai, dan suka bergaul. Tun mempunyai kemauan yang jelas dan kuat dalam hidupnya. Namun sayang, ketika Tun sekolah di kota, Tun terlalu terbawa akan pergaulan modern yang bebas. Pada usia tujuh belas tahun Tun harus menikah, karena ia telah hamil sebelum menamatkan sekolahnya.
Lalu Yos, suami Tun keturunan Jawa Deli asal Kisaran, seorang mahasiswa, dan juga seorang tokoh CGMI di kota J. Yos adalah tokoh yang bertanggung jawab kepada keluarga. Bahkan ia membawa istri, anaknya Ginuk, dan mertuanya Sri untuk tinggal di kontrakannya. Yos selalu mengajak Tun untuk mengikuti setiap kegiatan organisasinya, hingga akhirnya Tun pun aktif pada kegiatan Gerwani pda saat itu. Anaknya Ginuk, mereka serahkan untuk dirawat oleh Sri, sampai Ginuk menganggap Sri adalah ibunya dan Tun kakaknya.
Cerita ini pun terdapat tokoh Pak Mohammad, seorang petani yang kaya di kampung Sri. Tokoh pak Mohammad ini digambarkan sebagai tokoh yang rajin, baik, jujur dan juga sabar. Sifat-sifatnya itu terlihat ketika, pak Mohammad selalu memberikan kelonggaran waktu kepada Sri untuk melunasi hutang Sri kepadanya. Meskipun pada akhirnya Sri tidak mampu membayar hutangnnya itu dan memberikan sawah yang digadaikan kepada pak Mohammad untuk menjadi hak milik pak Mohammad. Selanjutnya Pak RT, seorang ketua RT yang baik. Pak RT yang memberitahukan Sri akan pemberontakan  yang dilakukan oleh anak dan menantunya. Namun, pak RT memberikan kebijaksanaan kepada Sri, yaitu ketika Sri diminta untuk membujuk anaknya Tun agar menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib, maka Tun akan mendapat keringanan hukuman.
Kemudian Pak Carik, adalah tokoh yang ingin menikahi Sri. Selanjutnya Pak Tukimin, seorang penjaga makam di mana suami dan embahnya dimakamkan. Lalu Anak Muda, yang merupakan pasien Sri yang selalu ingin dipijit di hotelnya. Oleh anak muda ini pun Sri menunjukan kepasrahannya ketika  Sri dipeluk olehnya.

Alur
Alur penceritaan dalam cerpen panjang Sri Sumarah adalah alur campuran. Saat cerita dimulai, Sri dikenal di kampungnya sebagai Bu Guru Pijit (SS: h.5). Pemulaan inilah yang menjadi alur yang menceritakan keadaan masa kini. Kemudain alur menjadi mundur ketika diikuti oleh kilas balik keberbagai peristiwa yang terjadi selama kira-kira dua puluh tahun yang membuat cerita menjadi melambat. Saat mendekati akhir, alur maju kembali, yaitu ketika fokalisasi semakin tertumpu pada tokoh Sri, yang menjadi gambaran tambahan pada klimaks cerita.
Pada tahap penyuntingan, Sri dikenal sebagai seorang janda yang dikenal sebagai tukang pijit. Selain itu juga Sri diperkenalkan sebagai Bu Marto, yaitu nama almarhum suaminya. Sri diceritakan sebagai seorang istri dari Martokusumo yang arti dari nama itu adalah baik dan berbobot. Kemudian ketika embahnya Sri memintanya untuk segera menikah dengan lelaki pilihan embahnya. Hal itu yang menunjukan sebagian dari kepasrahan Sri, karena Sri tidak menolak ketika dijodohkan oleh embahnya itu. Pada tahap ini, konflik mulai muncul, yaitu ketika Mas Marto meninggal terlalu tergesa-gesa yaitu karena wbah Eltor. Sehingga Sri dihadapkan pada keadaan pahit untuk membesarkan anak satu-satunya seorang diri dan juga untuk menyambung hidup semua beban tersandar dipundaknya.
Kemudian, pada tahap intensitas, yaitu ketika untuk menopang hidup dan untuk membiayai sekolah Tun, Sri menerima jahitan yang datang dari tetangga-tetangganya. Kemudian Sri mengalami kekecewaan, bahwa Tun anaknya mengatakan bahwa ia telah hamil dua bulan. Akhirnya, Sri menikahkan Tun dengan pacarnya Yos dengan semarak. Akan tetapi keberuntungan tak lagi memihak pada Sri. Inflasi memukul jasa jahitan yang ditawarkannya. Pesanan jahitan merosot, bahkan berhenti. Panenan sawahnya buruk sehingga ia tidak mampu melunasi utangnya pada pak Mohammad dan harus mengikhlaskan sawahnya untuk menjadi hak milik pak Mohammad.
Setelah sawah yang digadaikannya menjadi milik pak Mohammad, Yos dan kawan-kawannya untuk merebut kembalisawah itu. Lewat bujukan Yos, Sri akhirnya menyewakan rumahnya ke BTI dan Sri tinggal bersama anak dan menantunya disebuah kontrakkan.
Selanjutnya, pada tahap klimkas yaitu ketika Pak RT memberitahukan kepada Sri, bahwa anak dan menantunya terlibat dalam pemberontakan dan telah membunuh jendral-jendral.
“Anak sampeyan dan suaminya itu ikut berontak”.
“tidak Cuma berontak, teman-temannya yang di Jakarta telah membunuh Jendral-jendaral”. (h.44)

Akhirnya menantunya Yos tak lama tewas dan Tun dipenjara. Setelah hal itu terjadi Sri bertanggung jawab untuk merawat Ginuk cucunya. Maka dari situlah Sri menjadi tukang pijit untuk menyambung hidupnya dan cucunya. Konflik mulai muncul lagi, ketika Sri selalu mendapat panggilan ke hotel-hotel. Banyak pasiennya yang bersikap tidak senonoh kepadanya, tetapi Sri mampu menolaknya. Namun, ketika Sri akan memijit seorang anak muda, yang dari fisiknya gagah dan berbulu lebat didadanya. Sri begitu pasrah ketika anak muda itu membelai, memeluk dan bahkan mencium Sri.
“Tiba-tiba anak muda itu mengerang, dan untuk kedua kalinya Sri tidak mencegah dekapan dan rangkulannya...dan seperti kemarin juga Sri membiarkannya...Sekarang anak muda itu merangkul, mendekap, dan meletakkan tubuh Sri pada sampingnya dan memepetkannya erat-erat...dan sekarang anak muda itu mencium bibir Sri....Sri tidak melawan, bahkan membiarkan, bahkan merasakan suatu kenikmatan.”. (h.78)

Pada tahap penyelesaian, Sri mengahadapi pemuda itu memang dengan kepasrahan. Akan tetapi, menyerahnya Sri mengerti dan terbuka akan gejolak anak muda. “Sebagaimana pepatah Jawa Cedhak kebo gupak, artinya ‘siapa saja yang dekat dengan kerbau biasanya akan terimbas kotorannya’ “.[3] Maksudnya siapapaun yang berprofesi sebagai pemijit, kemungkinan besar tidak dapat dihindarkan. Sri ingat akan nasehat neneknya “menyerahnya tidak lantas daiaaam saja”, tetapi segera ingat kembali seperi apa yang diperbuat oleh Sri sebagai Bu Guru pijit, dan sebagai penutup tahap penyelesaian terbuka seperti kutipan berikut.
“Sri melepaskan perhiasannya. Sri melepasakan sanggulnya. Sri menggunakan dasternya yang lusuh. Di dalam cermin Sri melihat seorang wanita, capek, …tetapi masih bisa tersenyum”. (h.82).


Latar
Latar yang digambarkan dalam cerita Sri Sumarah tidak terlalu banyak, Kayam menggunakan simbol untuk beberapa nama kota yang digambarkan. Latar yang ditampilkan secara konkrit seperti kota J dan kecamatan N. yang menurut Satyagraha Hoerip (Kisah Dua Orang Wanita Jawa) adalah kota Jogja dan kecamatan Ngawi. Latar tempat yang disuguhkan secara abstrak adalah rumah, kontrakkan, makan embah dan mas Marto, dalam bis, dan hotel. Latar waktu yang digambarkan jelas yaitu pada masa menjelang penjajahan Jepang, sore hari, dan malam hari.
Kota J merupakan tempat di mana Sri dan Tun disekolahkan. “…dia menamatkan sekolahnya di S(ekolah) K(epandaian) P(utri) kota J”. (h.7), kemudian keinginan Sri untuk menyekolahkan anaknya Tun di sana. “…dia ingin agar anak perempuannya itu bisa mengalami dan mengecap kehidupan kota seperti J itu. Agar luas pandangannya dan yah, agar senang juga”.(h.16). Kecamatan N merupakan tempat di mana Sri dilahirkan dan tinggal. Selain itu juga, tempat di mana suaminya tinggal. “dia adalah pemuda Sumarto, putera pensiunan mantri candu di kabupaten N…”. (h.8). Latar waktu dengan suasananya dan jelas. “(pada menjelang akhir jaman Jepang itu,…”. (h.9).
Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga atau ‘diaan’ sebagai pencerita. Pencerita dengan santai menceritakan apa yang terjadi di dalam cerita, terutama menceritakan tokoh sentral yaitu Sri Sumarah. Terlihat dari awal cerita dimulai. “DI KAMPUNGNYA, dia dipanggil Bu Guru Pijit. Sesungguhnya dia bukan guru pijit.” (h.5).

Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerita Sri Sumarah ini dalah bahasa Indonesia yang dicampur beberapa bahasa Jawa, seperti alon-alon (h.12), nduk, ngenes (h.8), nontoni , jodoh sing wis pinasti (h.9), mantennya (h29), dan lain-lain. Karena bahasa Jawa adalah bahasa dimana si pengarang berasal. Tidak hanya itu, pengarang juga menjadikan pencerita dengan contoh pewayangan.
modelnya, Sembadra alias Lara Ireng, adik Kresna dan Baladewa, istri Arjuna, laki-laki dari segala laki-laki. Dialah istri yang sejati. Patuh, sabar, mengerti akan kelemahan suami, mengagumi kekuatannya”. (h.10).

“Bawuk”
Tokoh dan penokohan
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen “Bawuk” adalah, Bawuk, Nyonya Suryo, Tuan Suryo, Hassan, Wowok, Ninuk, Sumi, Mamok, Syul, Tarto, Inem, Sarpan, ledhek, Wedana, dan Bupati. Tokoh Bawuk dideskripsikan seorang perempuan yang periang, ceriwis, dan penuh humor. Bawuk adalah anak bungsu Nyonya Suryo yang paling ribut, tetapi paling cerdas dan pemurah. Bawuk kecil juga pandai mencairkan suasana kesal yang kadang dialami oleh ibunya. Namun, semua sifatnya berubah ketika Bawuk menikah dengan Hassan yang seorang komunis. Hal ini terlihat, ketika Nyonya Suryo menerima surat dari Bawuk yang sangat singkat dan sederhana. Bahwa Bawuk akan menitipkan kedua anaknya di rumah Nyonya Suryo, dan ia merasakan perubahan ananknya anaknya itu.
“Bawuk yang dikenalnya selama tiga puluh lima tahun adalah perempuan periang, murah dengan kata-kata, selalu memberi hiruk pikuk dalam surat-suratnya”. (h.83). “Jangkauan yang dalam waktu sepuluh atau lima belas tahun terakhir ini terasa betul jauhnya”. (h.95).

Kemudian, Nyonya Suryo, merupakan ibu dari Bawuk. Nyonya paling mengerti keadaan dan sikap Bawuk. Dia sosok yang setia kepada suami dan juga pemaaf. Hal ini terlihat ketika Tuan Suryo pulang dari pesta Tayub. Dia menangis karena sakit hati melihat suaminya bersama ledhek. Namun, ia bisa memaafkan suaminya dengan cara diam.
“Dengan tersenyum lemah Nyonya Suryo menerima kopi dan telor kocok itu. Mataja tidak terasa basah lagi”. (h.95)

Lalu Tuan Suryo, adalah ayah dari Bawuk, dia adalah seorang onder dan priyayi yang terpandang. Semasa hidupnya, dia selalu berusaha menerapkan kedisiplinan. Selalu patuh, serius, efisien dan efektif.
“Mereka adalah anak-anak bapaknya. Sebagai anak-anak seorang onder tidak ada yang lebih memenuhi syarat daripada …Disiplin, patuh, serius, efisien, dan efektif”. (h.86).

Selanjutnya Hassan, adalah seorang pemimpin komunis. Berwatak keras dan tinggi hati. Hasaan membawa istrinya Bawuk untuk ikut aktif dalam organisasi yang dijalaninya. Hingga akhirnya keberadaan mereka tidak diketahui keluarga Bawuk.
“Hassan, suami Bawuk, selalu dianggap terlalu keras dan tinggi hati…”.
 “…aktivitasnya sebagai seorang komunis, pengaruhnya yang sangat dalam pada pemikiran Bawuk, serta kemudian cara mereka bersama-sama menghilang…”.  (h.96).

Lalu tokoh Wowok dan Ninuk, mereka adalah anak dari Bawuk. Awalnya mereka mempunyai sikap yang normal layaknya anak-anak, namun, berubah semenjak mereka ikut kedua orang tuanya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Selain pendidikan mereka terganggu dengan kegiatan orang tua mereka, mereka pun menjadi anak yang pemurung, pemalu, dan kurang bersosialisasi. Bawuk mempunyai empat orang saudara yaitu Sumi, Mamok, Syul dan Tarto, mereka selalu berusaha membujuk Bawuk untuk meningglkan Hassan, namun tidak pernah berhasil. Ada pula Inem dan Sarpan, yang menjadi pembantu di rumah Bawuk. Mereka sudah lama mengabdi kepada keluarga Tuan Suryo dan Nyonya Suryo. Dari awal cerita sudah dimunculkan dan diceritakan adanya tokoh ledhek, wedana dan bupati. Namun, tokoh-tokoh ini tidak terlalu ditonjolkan dalam penokohannya.

Alur
Alur penceritaan dalam cerita Bawuk ini adalah alur campuran. Alur maju ketika di awal cerita Nyonya Suryo mendapat surat dari Bawuk. Kemudian, alur menjadi mundur ketika Nyonya Suryo kilas balik dengan masa kecil Bawuk dan ke empat saudara Bawuk. Selanjutnya, alur kembali maju lagi ketika Bawuk berunding dengan keluarga besarnya dan menceritakan kejadiannya dalam pelarian hingga alur kembali mundur lagi.alur kembali maju di akhir cerita, yaitu ketika Bawuk pergi mencari Hassan dan dia menghilang.
Pada tahap penyuntingan, Nyonya Suryo mendapatkan surat dari Bawuk. Tokoh utama sudah dikenalkan melalui surat dan juga ibunya. Tidak hanya itu, sifat-sifat Bawuk pun sudah diceritakan pada tahap ini. Kemudian, terjadi flashback yang dialami Nyonya Suryo, karena Bawuk mengalami perubahan sikap dalam surat-suratnya. Pada tahap ini, latar belakang keluarga Bawuk sudah diceritakan. Dari mulai ayah dan ke empat saudaranya.
Selanjutnya, pada tahap intensitas Bawuk menikah dengan seorang tokoh komunis yaitu Hassan. Pernikahan itulah yang membuat Bawuk berubah. Pernikahannya pun banyak pertentangan dari semua saudara-saudaranya, namun Bawuk tetap memilih Hassan, karena menurutnya, ia memandang Hassan sebagai manusia yang memiliki kasih yang manuisawi bukan komunis. Bawuk sadar betul akan pilihannya itu salah dan beresiko besar.
“…Aku kawin dengan seorang pemimpin yang gila. Aku tidak seberuntung Tu Mi dan Yu Syul….tapi mas-mas, mbak-mbak, mamie-papie, itulah dunia pilihan ku… dunia abangan yang bukan priyayi…”. (h.121-122)
Ternyata, hal ini terbukti kan kesetiaan Bawuk mengikuti kegiatan-kegiatan suaminya, sampai akhirnya hidup mereka seperti kucing-kucingan dari kota ke kota lain.
Setelah itu, adalah tahap klimaks, yaitu ketika Bawuk menceritakan kejadian-kejadian yang ia alami selama bersama Hassan. Bawuk mencertitakan banyak hal dari mulai pemberontakan yang dilakukan oelh suaminya Hassan  dan kawan-kawannya. Sampai akhirnya ia dan suaminya terpisah dalam suatu kejadian dimana mereka menjadi buronan. Maka dalam kesendiriannyalah Bawuk menitipkan kedua anaknnya untuk tinggal bersama ibunya. Di rumah itulah ia berunding dengan semua saudara-saudaranya dan ibunya.
Pada tahap penyelesaian, semua saudara-saudara Bawuk meminta Bawuk untuk tidak kembali menunggu dan mencari suaminya Hassan. Namun, Bawuk tetap pada pendiriannya untuk kembali ke kota M. Akhirnya, Bawuk pun pergi sebelum matahari terbit. Bawuk meninggalkan kedua anaknya, ibunya, dan saudara-saudaranya saat itu juga. Setelah kepergian Bawuk, diketahui para pemberontak PKI bisa dihancurkan dan banyak yang ditangkap dan dibunuh. Salah satu yang tewas adalah suami Bawuk, Hassan. Lalu Bawuk? Tidak diceritakan sampai akhir cerita.

Latar
Latar yang digambarkan dalam cerita kedua yaitu Bawuk tidak terlalu banyak. Sama halnya dengan cerita Sri Sumarah, Kayam mengunakan simbol untuk beberapa nama kota. Latar tempat yang ditampilkan secara konkrit misalnya kota S, kota T, kota M, Jakarta, dukuh B, Solo dan Jawa Timur. Sedangkan latar tempat yang abstrak adalah, rumah, kamar, ruang tengah, dan kantor. Kota S merupakan tempat pemberontakan Hassan, Bawuk, dan teman-temannya. Setelah kota S sudah tidak aman, mereka pindah ke kota T. Selama di kota T mereka tinggal di rumah camat. Kota T dianggap sudah menjadi basis mutlak Partai Komunis Indonesia.
“ Di T mereka tinggal di rumah camat. Hassan dan kawan-kawannya yang ikut lari dari S sibuk mengatur kekuatan. Kecamata T boleh dikatan mutlak di belakang mereka.” (h.102).
Semua latar tempat yang diceritakan dalam cerita ini, menjadi tempat di mana perpindahan Bawuk dan Hassan bersembunyi.pemberontakan-pemberontaan yang mereka lakukan menimbulkan merekaharus berpindah tempat dari satu kota ke kota lain.
 “Kemudian di M Bawuk mendapat kontak yang tahu di mana Hassan berada. Hassan ternyata ada si Selatan dengan banyak kawan-kawan di Jakarta. Menurut kawan itu Hassan sudah sejak kehancuran pertahanannya di T tempo hari bergerak di daerah itu berusaha kembali menyususn kekuatan dengan para petani”. (h.112).
Sedangkan latar waktu yang konkrit yaitu Oktober 1965. Yaitu di mana “Hassan yang mengatur pawai dewan revolusi di kota S” (h.98). Latar waktu abstrak yaitu, senja hari, malam hari,Sabtu, dan pagi hari.
Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan orang ketiga atau “diaan” sebagai pencerita. Secara sifat, tokoh utama dijelaskan secara jelas. Maksudnya, pencerita memanggilnya dengan nama yang dilukiskan keadaan jiwa tokoh Bawuk dengan bebas.
“ Bawuk yang dikenalnya selama tiga puluh tahun adalah perempuan periang, murah dengan kata-kata,…”(h.83).
“Nyonya Suryo mengenal anaknya yang paling muda itu sebagai anaknya yang paling rebut, tetapi juga paling mengasyikkan, cerdas dan pemurah”.(h.84).


Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerita Bawuk ini dalah bahasa Indonesia yang dicampur beberapa bahasa Jawa seperti ndoro (h.94), ciu gembar manuk arep melu ora entuk (h.93), ledek (h.89), dan lain-lain. Selain itu juga ada beberapa bahasa Belanda dan bahsa asing yaitu comfortable (h.122), wat wil je daarmee zeggen (h.117), Juffrouw artinya ibu/nyonya (h.85), huiswerk artinya pekerjaan rumah (h.86), onder artinya staf (h.90), dan masih banyak lagi.











B.     ANALISIS LINGKUNGAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN PENGARANG TERHADAP KARYA SASTRA SRI SUMARAH DAN BAWUK

1.      Biografi Pengarang
Umar Kayam adalah sastrawan yang sosiolog, atau sosiolog yang sastrawan. Ayah Umar Kayam adalah seorang guru Hollands Inlands School (HIS) . Lahir 30 April 1932, di Ngawi Jawa Timur. Menempuh pendidikan di HIS Mangkunegoro Surakarta, di mana ayahnya juga mengajar di sana. Di sekolah tersebut dia berteman akrab dengan Kliwir panggilan akrab Wiratmo Sukito, salah seorang tokoh MANIKEBU Gelanggang Tahun 60-an. Setelah itu, dia melanjutkan sekolah di MULO (setingkat dengan SMP), dan melanjutkan SMA bagian bahasa (bagian A) di Yogyakarta. Lulus dari SMA tahun 1951, Umar Kayam atau biasa dipanggil UK melanjutkan pendidikan di Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pada tahun 1955 UK melanjutkan studinya ke University School of Education, USA (1963). Setelah mendapatkan gelar Master of Education di Univerasitas ini, UK melanjutkan program doktoralnya ke Cornell University, USA (1965) dengan desertasi “Aspect of Interdepartemental Coordination Problems in Indonesian Community Development”.
2.      Latar Belakang
Dalam buku Pamusuk Eneste “Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang”, Kayam menjelaskan bagaimana karya-karyanya lahir. Sri Sumarah di tulis pada waktu Umar Kayam memperoleh undangan seminar di Oahu, Hawaii. Umar Kayam berterus terang bahwa cerpen tersebut dilahirkan dalam lokasi puluhan ribu mil dari Jakarta. Keadaan yang kontras pada latar proses penulisan, pantai Waikiki, pusat pertokoan Alomoana, kampus Manoa yang cantik, dan kelab-kelab malam yang memeukau. Tidak ahanya itu, ia lahirkan dalam latar dan setting peristiwa besar tahun 1965. “Sri Sumarah” yang pasrah dengan kesialan nasibnya karena ketrelibatan anaknya pada Gerwani, desanya yang melarat, rumahnya yang reot sungguh tidak memberi peluang yang masuk akal untuk menjelaskan suatu proses penulisan.
Sedangkan “Bawuk”, dengan kegairahan seorang anak muda yang percaya pada suatu komitmen terhadap datangnya suatu orde baru yang harus meninggalkan orde yang lapuk, Kayam berusaha membersihakan lingkungan kerja dari unsur orde yang lapuk itu. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, Kayam melihat korban-korban berjatuhan. Siapakah yang menentukan ‘harus’ dan ‘tidak harus’ menjadi koraban. Dalam kebimbangan dan ketidak mnengertian inilah “Bawuk” dilahirkan. Kekonsekuensian tragis yang harus Bawuk pikul, Kayam berusaha memahami siapa yang ‘harus’ dan yang ‘tidak harus’ menjadi korban.

3.      Proses Kreatif
Proses kreativitas kelahiran dari karya-karya Umar Kayam, berkaitan erat dengan latar belakang kehidupannya, yaitu budaya Jawa. Sebagaian besar banyak mengatakan Umar Kayam sebagai seorang realis. Unsur realisme Umar Kayam adalah realisme budaya Jawa yang diperlihatkan pada tokoh yang memiliki kepribadian Jawa. Dari kebudayaan Jawa itulah, dapat diketahui bagaimana Umar Kayam dapat mengeksplor karyanya terhadap Sri Sumarah dan Bawuk. Dari karya Kayam yang lahir dengan tokoh-tokoh wanita Jawa, menunjukan keragaman pikiran anatara cerpen dan realita kehidupan sehari-hari.
Selain itu, wanita Jawa yang digambarkan pada cerpen Kayam, sungguh menarik perhatian. Seolah-olah dilema sosial atas terjadinya gestapu/PKI merupakan gambaran keadaan yang masih rawan. Tapi dengan penuh ketekunan, keterampilan dan kesungguhan serta ketidak terlepasannya Kayam sebagai intelektual dan ilmuan, maka wanita Jawa dalam cerpennya merupakan refrensi budaya Timur. Persoalan itu berkaitan dengan situasi, kondisi dan hubungan kesenjangan waktu.
Siapakah Sri Sumarah. Kita bisa lihat Kayam membuka awal ceritanya.
 “ Dikampungnya, dia dipanggil Bu Guru Pijit. Sesungguhnya dia bukan guru pijit. Bukan juga guru. Dia tukang pijit. Ah, tidak juga sesungguhnya. Bukankah tukang pijit terlalu sering dibayangkan sebagai mereka yang suka menjelajahi lorong-lorong kota dengan tongkat yang dihentakkan dan berbunyi crek-crek itu?”. (h.5).
Umar kayam membeberkan arti sumarah dengan gambalang .Sri memegang betul sikap sumarah, sebuah sikap pasrah, menyerah, atau menerima keadaan yang datang dalam hidupnya. Makna sikap yang menjadi bagian budaya Jawa ini diungkapkan Kayam dalam kutipan berikut.
“Sri Sumarah –yang artinya Sri yang “menyerah” atau yang “terserah”- menyerah saja waktu neneknya menyatakan kepadanya bahwa saatnya sudah tiba untuk menyiapkan diri naik ke jenjang perkawinan”. (hlm.8).
Sri Sumarah yang diciptakan sebagai wanita ‘mumpuni’, berkat terapan embahnya berhasil dengan baik memerankan sikap sumarah yang merupakan konsep Umar Kayam, yaitu mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak (h.10). Kehidupan wanita Jawa digambarkan Kayam menceritakan pribadi Sri Sumarah yang pasrah kepada ‘ngulo urip’. Nasib yang melindas pada anak gadis itu semasa kecilnya terselubung dalam didikan seorang neneknya, sekaligus kepribadiannya, dan proses pilihan-pilihan hidupnya, serta pikirannya. Dari gambaran proses itulah, maka Sri Sumarah akan terbiasa dengan lambang wanita seperti Sembadra istri Arjuna. Yang selalu nrimo dan menjadi bagian hidup kehidupan suami. Sebagai Wanita Jawa, “Sri Sumarah lebih banyak memberikan gambaran lintas budaya, atau salah satu bagiannya”.[4]
Kepasrahan yang digambarkan oleh pengarang, Sri Sumarah sebenarnya simbol manusia Jawa dari kebudayaan wayang (h.10). Disamping itu, kebudayaan Jawa gambaran dari wanita Jawa dalam cerpen Kayam merasa hidup pada zamannya. Menurut Nirwanto Ki.S.Hendrowinoto dalam artikelnya “Wanita Jawa dalam Ekspresi Umar Kayam” mengatakan bahwa, dalam cerpen Umar Kayam, wanita Jawa sebagai sentralisasi pemberontakannya. Kehadiran cerita Sri Sumarah dan Bawuk, sebenarnya menyuguhkan persoalan eksistensialisme dalam jaman teknologi. Sebagai karya sastra, Sri Sumarah bukanlah suatu gejala yang tersendiri. Ia adalah suatu hasil pengaruh antara faktor sosial dan kultural. Sri Sumarah sebenarnya merupakan usaha Kayam untuk menafsirkan salah satu konsep hidup orang Jawa (yaitu sikap sumarah) berdasarkan eksperimen moral dan daya krestivitasnya.
Sedangkan dalam cerita “Bawuk”, Bawuk menjadi tokoh utama. Umar Kayam mendeskripsikannya dengan sangat bagus. Bawuk adalah perempuan yang periang, ceriwis, dan selalu memebri nada yang hiruk pikuk dalam suart-suratnya. Itulah yang membuat surat-surat Bawuk menarik dan membuat kangen saudara-saudaranya dan kawan-kawannya.
Seperti halnya dengan Sri Sumarah, Kayam juga menampilkan tokoh wanita Jawa sebagai sentralisasi ceritanya. Tapi dalam cerira Bawuk, Bawuk anak bungsu kelima bersaudara dari keluarga Suryo, sebuah keluarga yang cukup berada dan terpandang di Karangrandu. Tuan Suryo adalah seorang onder distrik (pembantu bupati) dan priyayi yang disegani dan dihormati di sana, otomatis Bawuk mengenyam kebudayaan priyayi gubermen.
‘Bawuk’ merupakan cerpen sejarah yang mengisahkan kehidupan anak bungsu sebuah keluarga yang berasal dari keluarga feudal yang tiba-tiba mengalami masa kemerdekaan sampai akhirnya mengalami pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965. Umar Kayam hidup pada zaman itu. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Kayam banyak tahu tentang peristiwa itu serta keadaan masyarakat yang sebenarnya.
“siapakah yang akan menduga bahwa yang ada di becak itu adlah Nyonya Hassan, istri seorang Komunis kota S yang sering disebut-sebut Aidit sebagai ahli pemuda yang sangat berbakat, yang pada akhir bulan Oktober 1965 ikut mengatur pawai Dewan Revolusi di kota S?”. (h.98).
Sangat jelas, Umar Kayam menggambarkan latar waktu dalam cerita “Bawuk”, yang diamana, pada zaman itu merupakan periode terdahsyat dalam sejarah Indonesia. 
Jakob Sumardjo (1983:215) memandang “Bawuk” sebagai cerita pendek yang panjang, yang berbicara tentang ketabahan wanita “domba hitam” keluarga yang tetap teguh pada pendirian dan pilihan suaminya meskipun mendapat tentangang keluarganya. Bawuk adalah penanaman sikap yang demikian itu, sebab Bawuk dalam cerita ini memang diceritakan bernasib demikian. Gadis ini ternyata menanggung nasib buruk berusamikan orang yang kurang berpendidikan, keras kepala dan tokoh komunis.

Umar Kayam mempermasalahkan suatu tragedi kehidupan, gaya penuturannya yang halus, lembut, penuh nuansa perasaan kewanitaan dan kemanusiaan yang diselimuti dengan humor-humor halus dan adanya bahasa Jawa, Belanda dan Inggris. Hal ini karena bahasa-bahasa kaum priyayi Jawa yang banyak diambil Umar Kayam sebagai latar dalam cerita.
Oleh keluarganya, ia telah dicap ‘salah pilih’, salah memilih suaminya Hassan. Tapi bukan Bawuk kalau ia tidak konsekwen dengan pilihannya. Ia harus menderita karena suaminya. Mengikuti ideology suaminya dan mengikuti perjuangan suaminya.   Bawuk yang tanpa keyakinan, hanya karena mempunyai suami seorang PKI, tertekan dalam dokrin dan pola piker komunis. Bagi Umar Kayam, mereka adalah manusia dengan segala kelemahan dan kelebihannya. Manusia Jawa yang karena perjalanan waktu, yang karena paksaan keadaan dan lingkungan, bisa mempunya sosok dan penampilan yang berbeda.
“ati-ati, nduk. Kau cari Hassan sampai ketemu, ya?”.
“ibu yang bijaksana, ternyata cuma kau yang mengerti”. (h.124).  
Kekonsekwenan Bawuk itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Kasih sayang seorang Umar Kayam pada Ibu akan abadi selamanya.
Dilihat dari kedua cerita ini, memang ada kesejajaran “Sri Sumarah” dan “Bawuk”. Yakni, keduanya sama-sama ,menyinggung G30S/PKI. Keduanya bercerita tentang penderitaan manusia. Kesengsaraan manusia, korban zaman, korban keadaan, korban kekejaman sesama manusia, dan korban kebodohan. Korban lingkungan dan korban keluarga. Bila “Sri Sumarah” merupakan korban jaman, maka “Bawuk” merupakan korabn yang dibuatnya sendiri. Hal ini karena, Sri tidak mengikuti dan tidak tahu apa yang tengah terjadi, ia digambarkan sebagai seorang perempuan yang mengutamakan kesejahteraan keluarga. Sedangkan Bawuk, dari awal dia telah mengetahui dan telah sadar apa resiko jika menikah dengan seorang tokoh komunis.
Kedua cerita ini seperti cerita kebanyak cerpen-cerpen Kayam yang lain, adalah merupakan ‘sepotong kehidupan’. Umar Kayam tidak pernah memasangnya dalam plot yang biasa. Seperti cerita ini belum berakhir. Tidak ada surprise diakhir ceritanya.
BAB III
SIMPULAN
Kedua cerita ini menampilkan nasib malang dua orang wanita Jawa, ada semacam ‘nasib’ yang tidak terhindarkan. Mereka tidak bersalah, berbuat sebaik mungkin menurut hati nurani dan kaidah social, tetapi kemalangan itu datang juga. Penderitaan Bawuk karena cintanya kepada suaminya, ketaatannya Sri Sumarah karena kecintaan pada suami almarhum, semua itu adalah di luar kemampuan wanita-wanita itu.
Kebudayaan Jawa dan gambaran dari wanita Jawa  menjadi refleksi dalam cerpen Umar Kayam. Wanita Jawa dijadikan sebagai sentralisasi pemberontakannya, kehadiran cerita Sri Sumarah dan Bawuk, sebenarnya menyuguhkan persoalan eksistensialisme dalam zaman teknologi. Unsur realisme Umar Kayam adalah realisme budaya Jawa yang diperlihatkan pada tokoh yang memiliki kepribadian Jawa. Dari kebudayaan Jawa itulah, dapat diketahui bagaimana Umar Kayam dapat mengeksplor karyanya terhadap Sri Sumarah dan Bawuk.
Lingkungan sosial yang terjadi pada saat itu adalah peristiwa besar dalam sejarah Indonesia yaitu peristiwa 1965, dan pada saat ini zaman Umar Kayam muda, yang menyebabkan lahirnya kedua cerita ini yang sma-sama menyinggung peristiwa itu. Tidak hanya itu,  kebudayaan Jawa yang merupakan latar belakang keluarga Umar Kayam, menjadikan kedua cerita ini ditokohkan oleh dua wanita Jawa sebagai tokoh sentral cerita.
  


[1] Ensiklopedi Sastra. (Bandung: Titian Ilmu Bandung, 2004). h.820.
[2]Prof.Dr.Nyoman Kutha Ratna, S.U. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajat, 2007), h.69.
[3] B.Rahmanto.”Umar Kayam Karya dan Dunianya”. (Jakarta: PT.Gramedia. 2004). h.57.
[4] Nirwanto Ki.S.Hendrowinoto. “Wanita Jawa dalam Ekspresi Umar Kayam”. (Kompas: Minggu, 4 Maret 1984).
Add caption

Tidak ada komentar:

Posting Komentar