BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Abrams menjelaskan bahwa pendekatan ekspresif
memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang
bersangkutan. Jika dibayangkan bahwa segala gagasan, cita rasa, emosi, ide, dan
nagan-angan merupakan ‘dunia dalam’ pengarang, karya sastra merupakan ‘dunia
luar’ yang bersangkutan dengan ‘dunia dalam’ itu. Dengan cara pendekatan ini,
penilaian karya sastra tertuju pada emosi atau keadaan jiwa seorang pengarang.
Karya sastra dianggap sebagai sarana untuk memahami keadaan jiwa pengarang atau
sebaliknya dan juga dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang. Gerak
jiwa, penggambaran imajinasi dan fantasi pengarang yang terlukis dalam
karyanya..
Pengarang biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh
alam disekitarnya. Tidak heran lagi jika pengarang khususnya Umar Kayam
mengundang pembicaraan, karena wujud dari nilai social yang digambarkan
pola-pola dasar humanisasi. Bagi Kayam, “apapun yang dilakukannya, ditulisnya,
ia lihat sebagai suatu proses perkembangan berfikir dan merenung dari seseorang
yang selalu ingin dekat dengan berbagai gatra masalah kemanusiaan atau dengan
mnusia itu sendiri”.[1]
Umar Kayam selalu memberi khas pada teks bahwa
konflik-konflik antarkelas dan konflik kebudayaan yang tidak dihadapi dengan
tragis, namun dengan pengertian dan humor, bahkan dihadapi sebagai komedi. Umar
Kayam menganggap pandangannya itu tidak hanya sebatas pada pilihan pribadi
tetapi juga pada suatu strategi yang digunakan dengan sadar dalam berhadapan
dengan transisi masyarakat. Karya-karyanya berkaitan erat dengan latarbelakang
kehidupannya, yaitu budaya Jawa.
Pada Kayam, penerimaan, pengertian dan toleransi
terhadap perubahan sosial menjadi sikap terhadap suatu proses panjang yang
dijalani dengan harapan. Tema perubahan sosial, dan khususnya mobilitas sosial
dan akibat-akibatnya, seakan-akan dibakukan dalam cerpennya yang panjang
seperti “Bawuk” dan “Sri Sumarah”.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Pemahaman terhadap seorang pengarang akan semakin
lengkap jika memahami latar belakang sosiologis, psikologis, dan latar belakang
kebahasaan dan kesusastraan dari sastrawan. Maka, saya merumuskan masalah
bagaimana pengaruh latar belakang kehidupan Umar Kayam dalam menciptakan Sri Sumarah dan Bawuk?.
C.
LANDASAN
TEORI
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitik
beratkan kajiaannya pada ekspresi perasaan atau tempramen penulis (Abrams,
1981:189). Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan
mengungkapkan pribadi pengarang (Selden, 1985: 52). Karya sastra tidak hadir
bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga pencipta karya sastra sangat
penting kedudukannya (Junus, 1985: 2).
Pendekatan ekspresif tidak semata-mata memberikan
perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu diciptakan, seperti studi proses
kreatif dalam studi biografis, tetapi bentik-bentuk apa yang terjadi dalam
karya sastra yang dihasilkan. “Apabila
wilayah studi biografis terbatas hanya pada diri penyair dengan kualitas
pikiran dan perasaannya, maka untuk wilayah ekspresif adalah diri pengarang,
pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil ciptaannya”.[2] Jadi,
pengaranglah yang menentukan tujuan dibalik sebuah teks yang ditulisnya.
D.
SINOPSIS
“Sri Sumarah”
Sri Sumarah adalah seorang wanita Jawa yang telah
menamatkan SKP nya di kota J. Sejak gadis Sri terus dididik oleh embahnya untuk
selalu patuh, salah satunya untuk menjadi istri yang baik. Seperti namanya yang
sumarah, Sri pasrah saja ketika dijodohkan oleh embahnya kepada Sumarto, putra
pensiunan mantri candu yang sudah menjadi seorang guru. Dua belas tahun lamanya
Sri menjadi istri Marto. Perkawinannya dikaruniai seorang putri yang
diberi nama Tun, dan Tun menjadi tumpuan harapannya ketika suaminya meninggal dunia
karena wabah eltor.
Sri akhirnya menjadi janda diusianya yang tiga puluh
tahun, yang banyak mendapat godaan. Namun Sri menolak semua laki-laki yang
ingin menikahinya. Pusat perhatiannya adalah Tun. Tun tumbuh dengan subur,
cerdas, pandai dan suka bergaul. Tun hidup lebih maju sesuai dengan
perkembangan zaman. Sri merasakan anak zaman Tun kurang sabar dan lebih berani
dengan orang tuanya dibandingkan dahulu.
Tun tidak berhasil mempertahankan kesuciannya yang
sudah dipeliharanya sejak kecil. Tun hamil sebelum menamatkan sekolahnya.
Walaupun Sri kecewa, perkawinan Tun dengan Yos berjalan semarak. Setelah
menikah, Sri ikut tinggal bersama anak dan menantunya karena rumah Sri dan
sebagian lagi sawahnya ia sewakan. Di sebuah kontrakan kecil, Sri merawat
cucunya bernama Ginuk. Ginuk yang baru berusia tiga tahun harus berpisah dengan
kedua orang tuanya yang terlibat pemberontakan (PKI). Yos meninggal dunia,
sedangkan Tun masuk penjara.
Perjalanan hidup Sri semakin sulit. Maka di tengah
kesulitannya itu, Sri mencoba untuk menjadi tukang pijit. Malam itu Sri
bermimpi suaminya minta dipijit. Pada waktu bangun tidur ia merasa pasti bisa
menjadi tukang pijit. Dari situlah Sri terkenal sebagai Bu Marto tukang pijit.
Sri berusaha menjadi seorang pemijit yang baik.
Memang di antara tamu-tamu hotelnya banyak yang kurangajar, namun Sri tahan
akan godaan itu. Namun, untuk pertama kalinya pertahanan Sri goyah, ketika ia
bertemu dengan pasiennya yang muda dari Jakarta yang berbadan kekar. Sri
menunjukan kepasrahannya ketika anak muda itu mendekap dan merayunya. Esok
malamnya merupakan klimaks hancurnya pertahanan Sri. Sri meniti dirinya bukan
sebagai wanita pijit jempolan lagi, karena kepasrahannya kepada anak muda itu,
yang Sri anggap tak lebih dari seorang pelacur.
“Bawuk”
Bawuk adalah anak bungsu dari keturunan Priyayi yang
terhormat dan berpendidikan. Bawuk adalah perempuan yang periang, ceriwis,
cerdas, dan pemurah. Namun semua sifat yang ia miliki berubah sejak ia memilih
Hassan untuk menjadi suaminya. Hassan yang tak lain adalah seorang pentolan
PKI. Semua keluarganya menentang pilihannya itu, karena kakak tertua Bawuk
menikah dengan seorang Brigjen, kakak keduanya menjadi dosen ITB, kakak
ketiganya menikah dengan dirjen, dan kakak keempatnya menikah dan menjadi dosen
di UGM. Sedangkan Bawuk bersuamikan seorang tokoh komunis.
Pernikahan Bawuk dan Hassan dikaruniai dua orang
anak yang diberi nama Wowok dan Ninuk. Karena berpindah-pindah tempat tinggal,
Wowok dan Ninuk akhirnya Bawuk titipkan kepada ibunya yaitu Nyonya Suryo untuk
tinggal di sana, karena setelah pecahnya peristiwa G30S, keluarga Bawuk menjadi
buronan. Ketika pengejaran semakin intensif, Hassan dan Bawuk terpisah. Dalam
keadaan sendiri itulah Bawuk memutuskan untuk menitipkan kedua anaknya itu
kepada ibunya.
Ketika Bawuk masih di rumah ibunya malam harinya,
Bawuk berbicara dengan semua kakak-kakaknya. Sampai pukul tiga pagi, mereka
berembuk untuk menggiring agar Bawuk untuk tidak kembali kepada suaminya di
kota M. Namun, Bawuk tetap pada pendiriannya, menunggu Hassan di kota M.
Akhirnya Bawuk pun pergi untuk mencari suaminya. Setelah ia pergi dari rumah
ibunya, di suatu sore Nyonya Suryo membaca surat kabar bahwa para pemimpin PKI
banyak yang ditangkap dan terbunuh. Salah satu nama yang tertembak mati adalah
Hassan. Diakhir cerita keberadaan Bawuk tidak diketahui.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ANALISIS
UNSUR INTRINSIK
“Sri Sumarah”
Tema
Tema yang diangkat dari kedua cerita ini yaitu
tentang persoalan lingkungan sosial dan kebudayaan pengarang yang menjadi konteks terhadap lahirnya karya sastra.
Pada cerita Sri Sumarah dan Bawuk ini, banyak menuangkan gagasan
pribadi wanita khas (wanita Jawa). Dengan pengertian dari lingkup karakterisasi
pola budaya, yang sekaligus dimanifestasikan melalui tokoh-tokoh cerita.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita Sri Sumarah adalah Sri Sumarah, embah,
Mas Marto, Tun, Ginuk, Yos, Pak Carik, Pak Mohammad, Anak Muda, Pak RT, Pak
Tukimin, dan Giman. Tokoh Sri Sumarah
seorang Bu Guru Pijit yang terkenal. Sri digambarkan sebagai tokoh yang pasrah,
sesuai dengan namanya sumarah yang berarti menyerah. Sri Sumarah selalu
mengerti dan terbuka, tetapi tidak menolak. Maksudnya, Sri selalu pasrah akan
keadaan hidup yang ia terima. Keadaan ini terlihat ketika Sri pasrah akan
pilihan embahnya untuk menjadi pendamping hidupnya. Sri mengartikan itu semua
sebagai sesuatu yang harus dimengerti, mengerti adalah mencari untuk mengerti.
“
Bukan kebetulan nduk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu kau diharap berlaku dan
bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, itu tidak lantas kau diaaam saja,
nduk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak.
Mengerti nduk? “. (h.10).
Selain itu juga, kepasrahan Sri menghadapi kenyataan
ditinggalkan suaminya meninggal dan harus merawat anaknya Tun seorang diri.
Ketika Sri harus menerima kenyataan
kalau Tun telah hamil di luar nikah, Sri pun selalu mengerti dan terbuka tetapi
tidak menolak, ia masih sanggup berkata: “Cup nduk, cup. Ibu
akan bereskan semuanya” (h.27). Demikian pula ketika ketika Yos
menantunya mengkhawatirkan sawahnya akan diambil oleh pak Mohammad, Sri justru
memarahi Yos. Sampai kepasrahan Sri pun muncul ketika Sri pasrah berada
dipelukan seorang anak muda.
Kemudian tokoh Embah,
embah yang tak lain adalah nenek dari Sri. Semenjak kedua orang tua Sri
meninggal, embahlah yang merawat Sri dari kecil. Embah adalah tokoh yang penuh
kasih sayang dan bijaksana. Rasa tanggungjawab embah kepada Sri begitu besar,
sampai-sampai Sri selalu dididik untuk selalu patuh dan embah juga yang selalu
mengajarkan Sri untuk menjadi istri yang sempurna.
Ditangan asuhan embah, Sri diajarkan untuk pintar
menyenangkan suami, yaitu mengagumi kekuatan suami, mengerti kelemahan suami,
untuk pintar ketika di dapur dan di tempat tidur. Tak hanya itu, embah selalu
menyuruh Sri untuk membiasakan meminum jamu galian, agar badan Sri selalu
singsat dan kencang. Sri juga selalu memakan kencur dan kunyit mentah agar
tidak bau badan. Sampai pendamping hidup pun embahlah yang memilihkan untuk
sri, yaitu Mas Marto.
Selanjutnya Mas
Marto, bernama panjang Martokusumo. Nama yang halus yang diperuntukkan bagi
para priyayi karena pak Martokusumo sudah mencapai tingkat mantri guru di
kecamatan. Mas Marto adalah tokoh yang bertanggung jawab, pribadi yang halus
dan lemah lembut yang mampu mengontrol emosinya dan juga mampu menjadi pemimpin
yang baik. Pernikahannya denga Sri hanya bertahan selama dua belas tahun,
karena Mas Marto meninggal karena wabah eltor ketika itu.
Selain itu juga, ada Tun, yang merupakan satu-satunya anak perempuan Sri. Tun seorang
anak yang cerdas, pandai, dan suka bergaul. Tun mempunyai kemauan yang jelas
dan kuat dalam hidupnya. Namun sayang, ketika Tun sekolah di kota, Tun terlalu
terbawa akan pergaulan modern yang bebas. Pada usia tujuh belas tahun Tun harus
menikah, karena ia telah hamil sebelum menamatkan sekolahnya.
Lalu Yos, suami
Tun keturunan Jawa Deli asal Kisaran, seorang mahasiswa, dan juga seorang tokoh
CGMI di kota J. Yos adalah tokoh yang bertanggung jawab kepada keluarga. Bahkan
ia membawa istri, anaknya Ginuk, dan mertuanya Sri untuk tinggal di
kontrakannya. Yos selalu mengajak Tun untuk mengikuti setiap kegiatan
organisasinya, hingga akhirnya Tun pun aktif pada kegiatan Gerwani pda saat
itu. Anaknya Ginuk, mereka serahkan
untuk dirawat oleh Sri, sampai Ginuk menganggap Sri adalah ibunya dan Tun
kakaknya.
Cerita ini pun terdapat tokoh Pak Mohammad, seorang petani yang kaya di kampung Sri. Tokoh pak
Mohammad ini digambarkan sebagai tokoh yang rajin, baik, jujur dan juga sabar.
Sifat-sifatnya itu terlihat ketika, pak Mohammad selalu memberikan kelonggaran
waktu kepada Sri untuk melunasi hutang Sri kepadanya. Meskipun pada akhirnya
Sri tidak mampu membayar hutangnnya itu dan memberikan sawah yang digadaikan
kepada pak Mohammad untuk menjadi hak milik pak Mohammad. Selanjutnya Pak RT, seorang ketua RT yang baik. Pak
RT yang memberitahukan Sri akan pemberontakan
yang dilakukan oleh anak dan menantunya. Namun, pak RT memberikan
kebijaksanaan kepada Sri, yaitu ketika Sri diminta untuk membujuk anaknya Tun
agar menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib, maka Tun akan mendapat
keringanan hukuman.
Kemudian Pak
Carik, adalah tokoh yang ingin menikahi Sri. Selanjutnya Pak Tukimin, seorang penjaga makam di
mana suami dan embahnya dimakamkan. Lalu Anak
Muda, yang merupakan pasien Sri yang selalu ingin dipijit di hotelnya. Oleh
anak muda ini pun Sri menunjukan kepasrahannya ketika Sri dipeluk olehnya.
Alur
Alur penceritaan dalam cerpen panjang Sri Sumarah adalah alur campuran. Saat
cerita dimulai, Sri dikenal di kampungnya sebagai Bu Guru Pijit (SS: h.5).
Pemulaan inilah yang menjadi alur yang menceritakan keadaan masa kini. Kemudain
alur menjadi mundur ketika diikuti oleh kilas balik keberbagai peristiwa yang
terjadi selama kira-kira dua puluh tahun yang membuat cerita menjadi melambat.
Saat mendekati akhir, alur maju kembali, yaitu ketika fokalisasi semakin
tertumpu pada tokoh Sri, yang menjadi gambaran tambahan pada klimaks cerita.
Pada tahap penyuntingan, Sri dikenal sebagai seorang
janda yang dikenal sebagai tukang pijit. Selain itu juga Sri diperkenalkan
sebagai Bu Marto, yaitu nama almarhum suaminya. Sri diceritakan sebagai seorang
istri dari Martokusumo yang arti dari nama itu adalah baik dan berbobot.
Kemudian ketika embahnya Sri memintanya untuk segera menikah dengan lelaki
pilihan embahnya. Hal itu yang menunjukan sebagian dari kepasrahan Sri, karena
Sri tidak menolak ketika dijodohkan oleh embahnya itu. Pada tahap ini, konflik mulai
muncul, yaitu ketika Mas Marto meninggal terlalu tergesa-gesa yaitu karena wbah
Eltor. Sehingga Sri dihadapkan pada keadaan pahit untuk membesarkan anak
satu-satunya seorang diri dan juga untuk menyambung hidup semua beban tersandar
dipundaknya.
Kemudian, pada tahap intensitas, yaitu ketika untuk
menopang hidup dan untuk membiayai sekolah Tun, Sri menerima jahitan yang
datang dari tetangga-tetangganya. Kemudian Sri mengalami kekecewaan, bahwa Tun
anaknya mengatakan bahwa ia telah hamil dua bulan. Akhirnya, Sri menikahkan Tun
dengan pacarnya Yos dengan semarak. Akan tetapi keberuntungan tak lagi memihak
pada Sri. Inflasi memukul jasa jahitan yang ditawarkannya. Pesanan jahitan
merosot, bahkan berhenti. Panenan sawahnya buruk sehingga ia tidak mampu
melunasi utangnya pada pak Mohammad dan harus mengikhlaskan sawahnya untuk
menjadi hak milik pak Mohammad.
Setelah sawah yang digadaikannya menjadi milik pak
Mohammad, Yos dan kawan-kawannya untuk merebut kembalisawah itu. Lewat bujukan
Yos, Sri akhirnya menyewakan rumahnya ke BTI dan Sri tinggal bersama anak dan
menantunya disebuah kontrakkan.
Selanjutnya, pada tahap klimkas yaitu ketika Pak RT
memberitahukan kepada Sri, bahwa anak dan menantunya terlibat dalam
pemberontakan dan telah membunuh jendral-jendral.
“Anak
sampeyan dan suaminya itu ikut berontak”.
“tidak
Cuma berontak, teman-temannya yang di Jakarta telah membunuh Jendral-jendaral”.
(h.44)
Akhirnya
menantunya Yos tak lama tewas dan Tun dipenjara. Setelah hal itu terjadi Sri
bertanggung jawab untuk merawat Ginuk cucunya. Maka dari situlah Sri menjadi
tukang pijit untuk menyambung hidupnya dan cucunya. Konflik mulai muncul lagi,
ketika Sri selalu mendapat panggilan ke hotel-hotel. Banyak pasiennya yang
bersikap tidak senonoh kepadanya, tetapi Sri mampu menolaknya. Namun, ketika
Sri akan memijit seorang anak muda, yang dari fisiknya gagah dan berbulu lebat
didadanya. Sri begitu pasrah ketika anak muda itu membelai, memeluk dan bahkan
mencium Sri.
“Tiba-tiba
anak muda itu mengerang, dan untuk kedua kalinya Sri tidak mencegah dekapan dan
rangkulannya...dan seperti kemarin juga Sri membiarkannya...Sekarang anak muda
itu merangkul, mendekap, dan meletakkan tubuh Sri pada sampingnya dan
memepetkannya erat-erat...dan sekarang anak muda itu mencium bibir Sri....Sri
tidak melawan, bahkan membiarkan, bahkan merasakan suatu kenikmatan.”. (h.78)
Pada tahap penyelesaian, Sri mengahadapi pemuda itu
memang dengan kepasrahan. Akan tetapi, menyerahnya Sri mengerti dan terbuka
akan gejolak anak muda. “Sebagaimana pepatah Jawa Cedhak kebo gupak, artinya ‘siapa saja yang dekat dengan kerbau
biasanya akan terimbas kotorannya’ “.[3]
Maksudnya siapapaun yang berprofesi sebagai pemijit, kemungkinan besar tidak
dapat dihindarkan. Sri ingat akan nasehat neneknya “menyerahnya tidak lantas
daiaaam saja”, tetapi segera ingat kembali seperi apa yang diperbuat oleh Sri
sebagai Bu Guru pijit, dan sebagai penutup tahap penyelesaian terbuka seperti
kutipan berikut.
“Sri
melepaskan perhiasannya. Sri melepasakan sanggulnya. Sri menggunakan dasternya
yang lusuh. Di dalam cermin Sri melihat seorang wanita, capek, …tetapi masih
bisa tersenyum”. (h.82).
Latar
Latar yang digambarkan dalam cerita Sri Sumarah
tidak terlalu banyak, Kayam menggunakan simbol untuk beberapa nama kota yang
digambarkan. Latar yang ditampilkan secara konkrit seperti kota J dan kecamatan
N. yang menurut Satyagraha Hoerip (Kisah Dua Orang Wanita Jawa) adalah kota
Jogja dan kecamatan Ngawi. Latar tempat yang disuguhkan secara abstrak adalah
rumah, kontrakkan, makan embah dan mas Marto, dalam bis, dan hotel. Latar waktu
yang digambarkan jelas yaitu pada masa menjelang penjajahan Jepang, sore hari,
dan malam hari.
Kota J merupakan tempat di mana Sri
dan Tun disekolahkan. “…dia menamatkan sekolahnya di S(ekolah) K(epandaian)
P(utri) kota J”. (h.7), kemudian keinginan Sri untuk menyekolahkan anaknya Tun
di sana. “…dia ingin agar anak perempuannya itu bisa mengalami dan mengecap kehidupan
kota seperti J itu. Agar luas pandangannya dan yah, agar senang juga”.(h.16). Kecamatan
N merupakan tempat di mana Sri dilahirkan dan tinggal. Selain itu juga, tempat
di mana suaminya tinggal. “dia adalah pemuda Sumarto, putera pensiunan mantri candu
di kabupaten N…”. (h.8). Latar waktu dengan suasananya dan jelas. “(pada
menjelang akhir jaman Jepang itu,…”. (h.9).
Sudut
Pandang
Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang
orang ketiga atau ‘diaan’ sebagai
pencerita. Pencerita dengan santai menceritakan apa yang terjadi di dalam
cerita, terutama menceritakan tokoh sentral yaitu Sri Sumarah. Terlihat dari
awal cerita dimulai. “DI KAMPUNGNYA, dia dipanggil Bu Guru Pijit. Sesungguhnya
dia bukan guru pijit.” (h.5).
Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerita Sri Sumarah
ini dalah bahasa Indonesia yang dicampur beberapa bahasa Jawa, seperti alon-alon (h.12), nduk, ngenes (h.8), nontoni ,
jodoh sing wis pinasti (h.9), mantennya (h29), dan lain-lain. Karena
bahasa Jawa adalah bahasa dimana si pengarang berasal. Tidak hanya itu,
pengarang juga menjadikan pencerita dengan contoh pewayangan.
“modelnya,
Sembadra alias Lara Ireng, adik Kresna dan Baladewa, istri Arjuna, laki-laki
dari segala laki-laki. Dialah istri yang sejati. Patuh, sabar, mengerti akan
kelemahan suami, mengagumi kekuatannya”.
(h.10).
“Bawuk”
Tokoh
dan penokohan
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam
cerpen “Bawuk” adalah, Bawuk, Nyonya
Suryo, Tuan Suryo, Hassan, Wowok, Ninuk, Sumi, Mamok, Syul, Tarto, Inem,
Sarpan, ledhek, Wedana, dan Bupati. Tokoh
Bawuk dideskripsikan seorang
perempuan yang periang, ceriwis, dan penuh humor. Bawuk adalah anak bungsu
Nyonya Suryo yang paling ribut, tetapi paling cerdas dan pemurah. Bawuk kecil
juga pandai mencairkan suasana kesal yang kadang dialami oleh ibunya. Namun,
semua sifatnya berubah ketika Bawuk menikah dengan Hassan yang seorang komunis.
Hal ini terlihat, ketika Nyonya Suryo menerima surat dari Bawuk yang sangat
singkat dan sederhana. Bahwa Bawuk akan menitipkan kedua anaknya di rumah
Nyonya Suryo, dan ia merasakan perubahan ananknya anaknya itu.
“Bawuk
yang dikenalnya selama tiga puluh lima tahun adalah perempuan periang, murah
dengan kata-kata, selalu memberi hiruk pikuk dalam surat-suratnya”. (h.83). “Jangkauan
yang dalam waktu sepuluh atau lima belas tahun terakhir ini terasa betul
jauhnya”. (h.95).
Kemudian, Nyonya Suryo, merupakan ibu dari Bawuk. Nyonya paling mengerti
keadaan dan sikap Bawuk. Dia sosok yang setia kepada suami dan juga pemaaf. Hal
ini terlihat ketika Tuan Suryo pulang dari pesta Tayub. Dia menangis karena
sakit hati melihat suaminya bersama ledhek.
Namun, ia bisa memaafkan suaminya dengan cara diam.
“Dengan
tersenyum lemah Nyonya Suryo menerima kopi dan telor kocok itu. Mataja tidak
terasa basah lagi”. (h.95)
Lalu Tuan
Suryo, adalah ayah dari Bawuk, dia adalah seorang onder dan priyayi yang terpandang. Semasa hidupnya, dia selalu
berusaha menerapkan kedisiplinan. Selalu patuh, serius, efisien dan efektif.
“Mereka
adalah anak-anak bapaknya. Sebagai anak-anak seorang onder tidak ada yang lebih
memenuhi syarat daripada …Disiplin, patuh, serius, efisien, dan efektif”.
(h.86).
Selanjutnya Hassan,
adalah seorang pemimpin komunis. Berwatak keras dan tinggi hati. Hasaan membawa
istrinya Bawuk untuk ikut aktif dalam organisasi yang dijalaninya. Hingga
akhirnya keberadaan mereka tidak diketahui keluarga Bawuk.
“Hassan,
suami Bawuk, selalu dianggap terlalu keras dan tinggi hati…”.
“…aktivitasnya sebagai seorang komunis,
pengaruhnya yang sangat dalam pada pemikiran Bawuk, serta kemudian cara mereka
bersama-sama menghilang…”. (h.96).
Lalu tokoh Wowok
dan Ninuk, mereka adalah anak dari
Bawuk. Awalnya mereka mempunyai sikap yang normal layaknya anak-anak, namun,
berubah semenjak mereka ikut kedua orang tuanya berpindah-pindah dari satu kota
ke kota lainnya. Selain pendidikan mereka terganggu dengan kegiatan orang tua
mereka, mereka pun menjadi anak yang pemurung, pemalu, dan kurang
bersosialisasi. Bawuk mempunyai empat orang saudara yaitu Sumi, Mamok, Syul dan Tarto, mereka selalu berusaha membujuk Bawuk untuk meningglkan
Hassan, namun tidak pernah berhasil. Ada pula Inem dan Sarpan, yang
menjadi pembantu di rumah Bawuk. Mereka sudah lama mengabdi kepada keluarga
Tuan Suryo dan Nyonya Suryo. Dari awal cerita sudah dimunculkan dan diceritakan
adanya tokoh ledhek, wedana dan bupati. Namun, tokoh-tokoh ini tidak
terlalu ditonjolkan dalam penokohannya.
Alur
Alur penceritaan dalam cerita Bawuk ini adalah alur campuran. Alur maju ketika di awal cerita
Nyonya Suryo mendapat surat dari Bawuk. Kemudian, alur menjadi mundur ketika
Nyonya Suryo kilas balik dengan masa kecil Bawuk dan ke empat saudara Bawuk.
Selanjutnya, alur kembali maju lagi ketika Bawuk berunding dengan keluarga
besarnya dan menceritakan kejadiannya dalam pelarian hingga alur kembali mundur
lagi.alur kembali maju di akhir cerita, yaitu ketika Bawuk pergi mencari Hassan
dan dia menghilang.
Pada tahap penyuntingan, Nyonya Suryo mendapatkan
surat dari Bawuk. Tokoh utama sudah dikenalkan melalui surat dan juga ibunya.
Tidak hanya itu, sifat-sifat Bawuk pun sudah diceritakan pada tahap ini.
Kemudian, terjadi flashback yang
dialami Nyonya Suryo, karena Bawuk mengalami perubahan sikap dalam
surat-suratnya. Pada tahap ini, latar belakang keluarga Bawuk sudah
diceritakan. Dari mulai ayah dan ke empat saudaranya.
Selanjutnya, pada tahap intensitas Bawuk menikah
dengan seorang tokoh komunis yaitu Hassan. Pernikahan itulah yang membuat Bawuk
berubah. Pernikahannya pun banyak pertentangan dari semua saudara-saudaranya,
namun Bawuk tetap memilih Hassan, karena menurutnya, ia memandang Hassan
sebagai manusia yang memiliki kasih yang manuisawi bukan komunis. Bawuk sadar
betul akan pilihannya itu salah dan beresiko besar.
“…Aku
kawin dengan seorang pemimpin yang gila. Aku tidak seberuntung Tu Mi dan Yu
Syul….tapi mas-mas, mbak-mbak, mamie-papie, itulah dunia pilihan ku… dunia
abangan yang bukan priyayi…”. (h.121-122)
Ternyata,
hal ini terbukti kan kesetiaan Bawuk mengikuti kegiatan-kegiatan suaminya,
sampai akhirnya hidup mereka seperti kucing-kucingan dari kota ke kota lain.
Setelah itu, adalah tahap klimaks, yaitu ketika
Bawuk menceritakan kejadian-kejadian yang ia alami selama bersama Hassan. Bawuk
mencertitakan banyak hal dari mulai pemberontakan yang dilakukan oelh suaminya
Hassan dan kawan-kawannya. Sampai
akhirnya ia dan suaminya terpisah dalam suatu kejadian dimana mereka menjadi
buronan. Maka dalam kesendiriannyalah Bawuk menitipkan kedua anaknnya untuk
tinggal bersama ibunya. Di rumah itulah ia berunding dengan semua
saudara-saudaranya dan ibunya.
Pada tahap penyelesaian, semua saudara-saudara Bawuk
meminta Bawuk untuk tidak kembali menunggu dan mencari suaminya Hassan. Namun,
Bawuk tetap pada pendiriannya untuk kembali ke kota M. Akhirnya, Bawuk pun
pergi sebelum matahari terbit. Bawuk meninggalkan kedua anaknya, ibunya, dan
saudara-saudaranya saat itu juga. Setelah kepergian Bawuk, diketahui para
pemberontak PKI bisa dihancurkan dan banyak yang ditangkap dan dibunuh. Salah
satu yang tewas adalah suami Bawuk, Hassan. Lalu Bawuk? Tidak diceritakan sampai
akhir cerita.
Latar
Latar yang digambarkan dalam cerita kedua yaitu Bawuk tidak terlalu banyak. Sama halnya
dengan cerita Sri Sumarah, Kayam
mengunakan simbol untuk beberapa nama kota. Latar tempat yang ditampilkan
secara konkrit misalnya kota S, kota T, kota M, Jakarta, dukuh B, Solo dan Jawa
Timur. Sedangkan latar tempat yang abstrak adalah, rumah, kamar, ruang tengah,
dan kantor. Kota S merupakan tempat pemberontakan Hassan, Bawuk, dan
teman-temannya. Setelah kota S sudah tidak aman, mereka pindah ke kota T.
Selama di kota T mereka tinggal di rumah camat. Kota T dianggap sudah menjadi
basis mutlak Partai Komunis Indonesia.
“ Di T mereka tinggal di rumah camat. Hassan dan
kawan-kawannya yang ikut lari dari S sibuk mengatur kekuatan. Kecamata T boleh
dikatan mutlak di belakang mereka.” (h.102).
Semua
latar tempat yang diceritakan dalam cerita ini, menjadi tempat di mana
perpindahan Bawuk dan Hassan bersembunyi.pemberontakan-pemberontaan yang mereka
lakukan menimbulkan merekaharus berpindah tempat dari satu kota ke kota lain.
“Kemudian di M Bawuk
mendapat kontak yang tahu di mana Hassan berada. Hassan ternyata ada si Selatan
dengan banyak kawan-kawan di Jakarta. Menurut kawan itu Hassan sudah sejak
kehancuran pertahanannya di T tempo hari bergerak di daerah itu berusaha
kembali menyususn kekuatan dengan para petani”. (h.112).
Sedangkan
latar waktu yang konkrit yaitu Oktober 1965. Yaitu di mana “Hassan yang
mengatur pawai dewan revolusi di kota S” (h.98). Latar waktu abstrak yaitu,
senja hari, malam hari,Sabtu, dan pagi hari.
Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan orang ketiga atau “diaan” sebagai pencerita. Secara sifat,
tokoh utama dijelaskan secara jelas. Maksudnya, pencerita memanggilnya dengan
nama yang dilukiskan keadaan jiwa tokoh Bawuk dengan bebas.
“
Bawuk yang dikenalnya selama tiga puluh tahun adalah perempuan periang, murah
dengan kata-kata,…”(h.83).
“Nyonya
Suryo mengenal anaknya yang paling muda itu sebagai anaknya yang paling rebut,
tetapi juga paling mengasyikkan, cerdas dan pemurah”.(h.84).
Gaya Bahasa
Gaya
bahasa yang digunakan dalam cerita Bawuk ini dalah bahasa Indonesia yang
dicampur beberapa bahasa Jawa seperti ndoro
(h.94), ciu gembar manuk arep melu
ora entuk (h.93), ledek (h.89),
dan lain-lain. Selain itu juga ada beberapa bahasa Belanda dan bahsa asing
yaitu comfortable (h.122), wat wil je daarmee zeggen (h.117), Juffrouw artinya ibu/nyonya (h.85), huiswerk artinya pekerjaan rumah (h.86), onder artinya staf (h.90), dan masih banyak lagi.
B.
ANALISIS
LINGKUNGAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN PENGARANG TERHADAP KARYA SASTRA SRI SUMARAH DAN BAWUK
1.
Biografi
Pengarang
Umar Kayam adalah sastrawan yang sosiolog, atau
sosiolog yang sastrawan. Ayah Umar Kayam adalah seorang guru Hollands
Inlands School (HIS) . Lahir 30 April 1932, di Ngawi Jawa Timur. Menempuh
pendidikan di HIS Mangkunegoro Surakarta, di mana ayahnya juga mengajar di sana.
Di sekolah tersebut dia berteman akrab dengan Kliwir panggilan akrab Wiratmo
Sukito, salah seorang tokoh MANIKEBU Gelanggang Tahun 60-an. Setelah itu, dia
melanjutkan sekolah di MULO (setingkat dengan SMP), dan melanjutkan SMA bagian
bahasa (bagian A) di Yogyakarta. Lulus dari SMA tahun 1951, Umar Kayam atau
biasa dipanggil UK melanjutkan pendidikan di Fakultas Pedagogi Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pada tahun 1955 UK melanjutkan studinya ke University
School of Education, USA (1963). Setelah mendapatkan gelar Master of
Education di Univerasitas ini, UK melanjutkan program doktoralnya ke Cornell
University, USA (1965) dengan desertasi “Aspect of Interdepartemental
Coordination Problems in Indonesian Community Development”.
2.
Latar
Belakang
Dalam
buku Pamusuk Eneste “Mengapa dan
Bagaimana Saya Mengarang”, Kayam menjelaskan bagaimana karya-karyanya
lahir. Sri Sumarah di tulis pada
waktu Umar Kayam memperoleh undangan seminar di Oahu, Hawaii. Umar Kayam
berterus terang bahwa cerpen tersebut dilahirkan dalam lokasi puluhan ribu mil
dari Jakarta. Keadaan yang kontras pada latar proses penulisan, pantai Waikiki,
pusat pertokoan Alomoana, kampus Manoa yang cantik, dan kelab-kelab malam yang
memeukau. Tidak ahanya itu, ia lahirkan dalam latar dan setting peristiwa besar
tahun 1965. “Sri Sumarah” yang pasrah dengan kesialan nasibnya karena
ketrelibatan anaknya pada Gerwani, desanya yang melarat, rumahnya yang reot
sungguh tidak memberi peluang yang masuk akal untuk menjelaskan suatu proses
penulisan.
Sedangkan
“Bawuk”, dengan kegairahan seorang anak muda yang percaya pada suatu komitmen
terhadap datangnya suatu orde baru yang harus meninggalkan orde yang lapuk,
Kayam berusaha membersihakan lingkungan kerja dari unsur orde yang lapuk itu.
Akan tetapi, bersamaan dengan itu, Kayam melihat korban-korban berjatuhan.
Siapakah yang menentukan ‘harus’ dan ‘tidak harus’ menjadi koraban. Dalam
kebimbangan dan ketidak mnengertian inilah “Bawuk” dilahirkan. Kekonsekuensian
tragis yang harus Bawuk pikul, Kayam berusaha memahami siapa yang ‘harus’ dan
yang ‘tidak harus’ menjadi korban.
3.
Proses
Kreatif
Proses kreativitas kelahiran dari karya-karya Umar
Kayam, berkaitan erat dengan latar belakang kehidupannya, yaitu budaya Jawa. Sebagaian
besar banyak mengatakan Umar Kayam sebagai seorang realis. Unsur realisme Umar
Kayam adalah realisme budaya Jawa yang diperlihatkan pada tokoh yang memiliki kepribadian
Jawa. Dari kebudayaan Jawa itulah, dapat diketahui bagaimana Umar Kayam dapat
mengeksplor karyanya terhadap Sri Sumarah dan Bawuk. Dari karya Kayam yang
lahir dengan tokoh-tokoh wanita Jawa, menunjukan keragaman pikiran anatara
cerpen dan realita kehidupan sehari-hari.
Selain itu, wanita Jawa yang digambarkan pada cerpen
Kayam, sungguh menarik perhatian. Seolah-olah dilema sosial atas terjadinya
gestapu/PKI merupakan gambaran keadaan yang masih rawan. Tapi dengan penuh
ketekunan, keterampilan dan kesungguhan serta ketidak terlepasannya Kayam
sebagai intelektual dan ilmuan, maka wanita Jawa dalam cerpennya merupakan
refrensi budaya Timur. Persoalan itu berkaitan dengan situasi, kondisi dan
hubungan kesenjangan waktu.
Siapakah
Sri Sumarah. Kita bisa lihat Kayam membuka awal ceritanya.
“ Dikampungnya, dia dipanggil Bu Guru Pijit.
Sesungguhnya dia bukan guru pijit. Bukan juga guru. Dia tukang pijit. Ah, tidak
juga sesungguhnya. Bukankah tukang pijit terlalu sering dibayangkan sebagai
mereka yang suka menjelajahi lorong-lorong kota dengan tongkat yang dihentakkan
dan berbunyi crek-crek itu?”. (h.5).
Umar kayam membeberkan arti sumarah
dengan gambalang .Sri memegang betul sikap sumarah, sebuah sikap pasrah,
menyerah, atau menerima keadaan yang datang dalam hidupnya. Makna sikap yang
menjadi bagian budaya Jawa ini diungkapkan Kayam dalam kutipan berikut.
“Sri
Sumarah –yang artinya Sri yang “menyerah” atau yang “terserah”- menyerah saja
waktu neneknya menyatakan kepadanya bahwa saatnya sudah tiba untuk menyiapkan
diri naik ke jenjang perkawinan”. (hlm.8).
Sri Sumarah yang diciptakan sebagai
wanita ‘mumpuni’, berkat terapan embahnya berhasil dengan baik memerankan sikap
sumarah yang merupakan konsep Umar Kayam, yaitu mengerti dan terbuka tetapi
tidak menolak (h.10). Kehidupan wanita Jawa digambarkan Kayam menceritakan
pribadi Sri Sumarah yang pasrah kepada ‘ngulo urip’. Nasib yang melindas pada
anak gadis itu semasa kecilnya terselubung dalam didikan seorang neneknya,
sekaligus kepribadiannya, dan proses pilihan-pilihan hidupnya, serta
pikirannya. Dari gambaran proses itulah, maka Sri Sumarah akan terbiasa dengan
lambang wanita seperti Sembadra istri Arjuna. Yang selalu nrimo dan menjadi bagian hidup kehidupan suami. Sebagai Wanita
Jawa, “Sri Sumarah lebih banyak memberikan gambaran lintas budaya, atau salah
satu bagiannya”.[4]
Kepasrahan yang digambarkan oleh pengarang, Sri
Sumarah sebenarnya simbol manusia Jawa dari kebudayaan wayang (h.10). Disamping
itu, kebudayaan Jawa gambaran dari wanita Jawa dalam cerpen Kayam merasa hidup
pada zamannya. Menurut Nirwanto Ki.S.Hendrowinoto dalam artikelnya “Wanita Jawa
dalam Ekspresi Umar Kayam” mengatakan bahwa, dalam cerpen Umar Kayam, wanita
Jawa sebagai sentralisasi pemberontakannya. Kehadiran cerita Sri Sumarah dan
Bawuk, sebenarnya menyuguhkan persoalan eksistensialisme dalam jaman teknologi.
Sebagai karya sastra, Sri Sumarah bukanlah suatu gejala yang tersendiri. Ia
adalah suatu hasil pengaruh antara faktor sosial dan kultural. Sri Sumarah
sebenarnya merupakan usaha Kayam untuk menafsirkan salah satu konsep hidup
orang Jawa (yaitu sikap sumarah) berdasarkan eksperimen moral dan daya
krestivitasnya.
Sedangkan dalam cerita “Bawuk”, Bawuk menjadi tokoh
utama. Umar Kayam mendeskripsikannya dengan sangat bagus. Bawuk adalah
perempuan yang periang, ceriwis, dan selalu memebri nada yang hiruk pikuk dalam
suart-suratnya. Itulah yang membuat surat-surat Bawuk menarik dan membuat
kangen saudara-saudaranya dan kawan-kawannya.
Seperti halnya dengan Sri Sumarah, Kayam juga
menampilkan tokoh wanita Jawa sebagai sentralisasi ceritanya. Tapi dalam cerira
Bawuk, Bawuk anak bungsu kelima
bersaudara dari keluarga Suryo, sebuah keluarga yang cukup berada dan
terpandang di Karangrandu. Tuan Suryo adalah seorang onder distrik (pembantu
bupati) dan priyayi yang disegani dan dihormati di sana, otomatis Bawuk
mengenyam kebudayaan priyayi gubermen.
‘Bawuk’ merupakan cerpen sejarah yang mengisahkan
kehidupan anak bungsu sebuah keluarga yang berasal dari keluarga feudal yang
tiba-tiba mengalami masa kemerdekaan sampai akhirnya mengalami pemberontakan
G30S PKI pada tahun 1965. Umar Kayam hidup pada zaman itu. Dengan demikian,
tidak diragukan lagi bahwa Kayam banyak tahu tentang peristiwa itu serta
keadaan masyarakat yang sebenarnya.
“siapakah
yang akan menduga bahwa yang ada di becak itu adlah Nyonya Hassan, istri
seorang Komunis kota S yang sering disebut-sebut Aidit sebagai ahli pemuda yang
sangat berbakat, yang pada akhir bulan Oktober 1965 ikut mengatur pawai Dewan
Revolusi di kota S?”. (h.98).
Sangat
jelas, Umar Kayam menggambarkan latar waktu dalam cerita “Bawuk”, yang diamana,
pada zaman itu merupakan periode terdahsyat dalam sejarah Indonesia.
Jakob Sumardjo (1983:215) memandang “Bawuk” sebagai
cerita pendek yang panjang, yang berbicara tentang ketabahan wanita “domba
hitam” keluarga yang tetap teguh pada pendirian dan pilihan suaminya meskipun
mendapat tentangang keluarganya. Bawuk adalah penanaman sikap yang demikian
itu, sebab Bawuk dalam cerita ini memang diceritakan bernasib demikian. Gadis
ini ternyata menanggung nasib buruk berusamikan orang yang kurang
berpendidikan, keras kepala dan tokoh komunis.
Umar Kayam mempermasalahkan suatu tragedi kehidupan,
gaya penuturannya yang halus, lembut, penuh nuansa perasaan kewanitaan dan
kemanusiaan yang diselimuti dengan humor-humor halus dan adanya bahasa Jawa,
Belanda dan Inggris. Hal ini karena bahasa-bahasa kaum priyayi Jawa yang banyak
diambil Umar Kayam sebagai latar dalam cerita.
Oleh keluarganya, ia telah dicap ‘salah pilih’,
salah memilih suaminya Hassan. Tapi bukan Bawuk kalau ia tidak konsekwen dengan
pilihannya. Ia harus menderita karena suaminya. Mengikuti ideology suaminya dan
mengikuti perjuangan suaminya. Bawuk yang
tanpa keyakinan, hanya karena mempunyai suami seorang PKI, tertekan dalam
dokrin dan pola piker komunis. Bagi Umar Kayam, mereka adalah manusia dengan
segala kelemahan dan kelebihannya. Manusia Jawa yang karena perjalanan waktu,
yang karena paksaan keadaan dan lingkungan, bisa mempunya sosok dan penampilan
yang berbeda.
“ati-ati,
nduk. Kau cari Hassan sampai ketemu, ya?”.
“ibu
yang bijaksana, ternyata cuma kau yang mengerti”. (h.124).
Kekonsekwenan
Bawuk itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Kasih sayang seorang Umar
Kayam pada Ibu akan abadi selamanya.
Dilihat dari kedua cerita ini, memang ada
kesejajaran “Sri Sumarah” dan “Bawuk”. Yakni, keduanya sama-sama ,menyinggung
G30S/PKI. Keduanya bercerita tentang penderitaan manusia. Kesengsaraan manusia,
korban zaman, korban keadaan, korban kekejaman sesama manusia, dan korban
kebodohan. Korban lingkungan dan korban keluarga. Bila “Sri Sumarah” merupakan
korban jaman, maka “Bawuk” merupakan korabn yang dibuatnya sendiri. Hal ini
karena, Sri tidak mengikuti dan tidak tahu apa yang tengah terjadi, ia
digambarkan sebagai seorang perempuan yang mengutamakan kesejahteraan keluarga.
Sedangkan Bawuk, dari awal dia telah mengetahui dan telah sadar apa resiko jika
menikah dengan seorang tokoh komunis.
Kedua cerita ini seperti cerita kebanyak
cerpen-cerpen Kayam yang lain, adalah merupakan ‘sepotong kehidupan’. Umar
Kayam tidak pernah memasangnya dalam plot yang biasa. Seperti cerita ini belum
berakhir. Tidak ada surprise diakhir
ceritanya.
BAB
III
SIMPULAN
Kedua cerita ini menampilkan nasib malang dua orang
wanita Jawa, ada semacam ‘nasib’ yang tidak terhindarkan. Mereka tidak
bersalah, berbuat sebaik mungkin menurut hati nurani dan kaidah social, tetapi
kemalangan itu datang juga. Penderitaan Bawuk karena cintanya kepada suaminya,
ketaatannya Sri Sumarah karena kecintaan pada suami almarhum, semua itu adalah
di luar kemampuan wanita-wanita itu.
Kebudayaan Jawa dan gambaran dari wanita Jawa menjadi refleksi dalam cerpen Umar Kayam.
Wanita Jawa dijadikan sebagai sentralisasi pemberontakannya, kehadiran cerita
Sri Sumarah dan Bawuk, sebenarnya menyuguhkan persoalan eksistensialisme dalam
zaman teknologi. Unsur realisme Umar Kayam adalah realisme budaya Jawa yang
diperlihatkan pada tokoh yang memiliki kepribadian Jawa. Dari kebudayaan Jawa
itulah, dapat diketahui bagaimana Umar Kayam dapat mengeksplor karyanya
terhadap Sri Sumarah dan Bawuk.
Lingkungan sosial yang terjadi pada saat itu adalah
peristiwa besar dalam sejarah Indonesia yaitu peristiwa 1965, dan pada saat ini
zaman Umar Kayam muda, yang menyebabkan lahirnya kedua cerita ini yang sma-sama
menyinggung peristiwa itu. Tidak hanya itu,
kebudayaan Jawa yang merupakan latar belakang keluarga Umar Kayam,
menjadikan kedua cerita ini ditokohkan oleh dua wanita Jawa sebagai tokoh
sentral cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar