TUGAS AKHIR SASTRA BANDINGAN
1.
Pendahuluan
a.
Tema : Aspek apa saja yang dianalisis ?
Aspek Kepasrahan dan Tradisi pada
Prosa Liris Pengakuan Pariyem (Indonesia) dan Afrika yang Resah: Nyayian Lawino
(Uganda) sebuah tinjauan Psikologi Feminis.
b.
Mengapa memilih tema itu dan karya sastra yang dianalisis ?
Karya
sastra pada dasarnya adalah hasil renungan sastrawan untuk mengungkapkan apa
yang dilihat dan didengar ataupun yang dirasakan secara imajinatif dengan menggunakan
medium bahasa. Dalam konteks ini dapat pula dikatakan bahwa sastra, lebih khusus prosa liris, adalah hasil
imajinatif-kreatif. Sastra tidak lepas dari kenyataan empirik pengarangnya.
Karya sastra tidak saja imajinatif-kreatif, tetapi sesungguhnya adalah juga suatu hasil untuk mengatur dan
mendapatkan uraian baru tentang pengalaman
yang hanya bisa dibayangkan dalam dunia nyata. Jadi, meskipun prosa
liris sangat pribadi, sedikit banyak ia
adalah pantulan dari pengalaman
pengarangnya dalam hidup bermasyarakat (Abdullah, 1983 : 23).
Membaca dan memahami suatu karya
sastra adalah suatu langkah kegiatan apresiasi. Karena motivasi seseorang
membaca karya sastra bersifat pribadi, pemahaman pembaca yang satu dengan yang
lain tentu berbeda, bergantung pada persoalan yang dihadapi. Ada kalanya
seseorang dapat melihat sesuatu dalam karya sastra yang tidak dilihat oleh
pembaca lain. Sebaliknya, seseorang mungkin melihat sesuatu sebagai hal yang
biasa yang tidak perlu dibincangkan, oleh orang lain dipandang sebagai
persoalan yang menarik dibicarakan.
Psikologis feminis masih banyak
memperdebatkan tentang kepasrahan dan tradisi seorang wanita, salah satunya
pada buku psikologi kritis yag membahas tentang feminis dalam analisis
psikologi modern. Dalam kasus psikologi feminis setidaknya 5 negara Inggris, Amerika Serkat, Kanada, Australia,
dan Selandia Baru yang mengontrol psikologi feminis dan beberapa organisasi
yang membahas tentang hal tersebut contohnya The British Psychological Society (BPS) dan The American Psychological Association (APA). Oleh karena itu atas
dasar prosa liris diatas dapat dikaji tentang kepasrahan dan tradisi dari sisi
tokoh prosa liris tersebut. Untuk mengungkap psikologi feminis lebih dalam dan
lebih mendetail.(Psikologi Kritis 2005; 231).
c.
Tujuan
1.
Menjelaskan
kepasrahan seorang wanita (Pariyem) dalam prosa liris Pengakuan Pariyem dan (Lawino) dalam prosa liris Afrika yang Resah
Nyayian Lawino.
2.
Menjelaskan unsur
kebudayaan yang mempengaruhi kepasrahan seorang wanita pada prosa liris Pengakuan
Pariyem dan Afrika yang Resah: Nyayian Lawino.
d.
Teori yang dipakai
Psikologi feminis adalah teori dan
praktik psikologi yang secara eksplitit diketahui dari tujuan politis gerakan
feminis. Meskipun feminis mencangkup pluralitas definisi dan sudut pandang,
namun beragam versi feminis ini mengandung dua tema umum (Unger dan Crawford,
1992: 8-9). Pertama, feminis memberikan nilai yang tinggi terhadap perempuan,
yang berguna untuk kajian mengenai hak kita sendiri, bukan hanya dalam
perbandingannya dengan laki-laki. Kedua, feminis mengakui kebutuhan akan
perubahan sosial untuk kepentingan perempuan: karenanya, psikologi feminis
diakui bersifat politis.
Istilah “psikologi feminis” dan
“psikologi tentang perempuan” seringkali digunakan secara tak terbedakan,
khususnya dalam psikologi arus utama di Amerika Utara (misalnya, Worrell,
1990). Benar bahwa banyak penelitian yang dilakukan dengan mengatasnamakan
“psikologi tentang perempuan” secara ekplisit maupun implisit memiliki tujuan
feminis, walaupun feminis tidak selalu digunakan sebagai label. Hal ini muncul
karena perlawanan psikologis arus utama terhadap berbagai hal yang menampakkan
kecenderungan politik. Psikologis arus utama telah mempertentangkan “sains”
(yang bersifat murni dan objektif) dengan politik (dukungan yang memiliki bias
ideology), dan secara aktif menentang basis politis dari psikologi feminis
(unger, 1982; Wikinson, 1989).
e.
Artikel / buku / kritik / esai tentang karya sastra yang dianalisis
Pengakuan Pariyem
Bakdi Soemanto, Regol Megal-Megol,
Fenomena Kosmologi Jawa, Andi Offset, Yogyakartakarta, 1992. Kata Pengantar,
hal.iii.
“Walaupun Pengakuan Pariyem
penuh dengan pelukisan yang sering disebut ‘saru’, akan tetapi secara
keseluruhan prosa lirik itu dapatlah disebut sebagai ensiklopedia kebudayaan
Jawa. Alasannya bukan saja dalam prosa lirik itu dilukiskan peta hubungan
priyayi dan wong cilik, tetapi juga gambaran bagaimana ngadi salira, menjaga
diri tetap bugar, segar, dan harum, khususnya bagi, dan terutama tentang
seorang desa ngawula, menghambakan diri di rumah seorang priyayi. Gambaran
tentang kehidupan desa, terutama para petani yang menghadapi hama padi,
kehidupan seorang pemain ketoprak, dilukiskan dengan rinci dan teliti..”
Subagio Sastrowardoyo, Pengarang
Modern Sebagai Manusia Perbatasan, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 197. “Linus
Suryadi AG lewat Pengakuan Pariyem tidak saja menggambarkan dunia batin seorang
wanita Jawa, tetapi memaparkan pula masyarakat di lingkungan Pariyem dengan
kebiasaan-kebiasaan dan tatacaranya. Ia pun mempergunakan tokoh Pariyem untuk
menegaskan sikapnya terhadap kehidupan sosial dewasa ini dan rasa humor yang
halus menyertai kritiknya, sesuai dengan kesantaian gaya hidup Pariyem. Satu
pokok pikiran Linus Suryadi AG yang penting dikemukakannya lewat Pariyem adalah
mengenai pendirian budayanya, yang disebutnya ngelmu krasan, yang berpegang pada
orientasi, krasannya, pada negeri dan tradisi sendiri. Sikap ini dihadapkan
bertentangan dengan universalisme yang dianut penyair-penyair modern seperti
Chairil Anwar, dan Sitor Situmorang...”
Afrika
yang Resah: Nyayian Lawino
S.R.H Sitanggang. Wanita dan tradisi
Suatu Kajian Tiga Cerkan Mesir-Aljazair-Uganda dalam buku Antologi Esai Sastra
Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal.
156. Lawino yang dulu tetap lawino yang sekarang. Rasa hormat dan rasa memiliki
apa yang diturunkan oleh para pendahulunya sudah berakar dalam dirinya. Ia
menginginkan kebangunan bangsanya bersumber dari potensi budaya yang selama
berabad-abad mengatur kehidupan masyarakatnya.
2.
Perbandingan
a.
Jabarkan aspek yang dianalisis, perhatikan kesamaan / tautannya.
Prosa liris Pengakuan Pariyem dan Nyayian
Lawino sangat mengangkat unsur feminis.
Jika dikaji dari tahun dan sejarah
lahirnya prosa liris tersebut, pada prosa liris Pengakuan Pariyem sosok
perempuan pada zaman tersebut dimana Pariyem
yang diceritakan lahir dalam adat jawa dan prosa liris Lawino lahir
dalam suku acholi. Tema kebudayaan yang sama inilah yang menjadi dasar untuk
dianalisis dari aspek kepasrahan tokoh wanita dalam prosa liris tersebut.
Pada tokoh Pariyem dan Lawino
ternyata memiliki kesamaa yaitu tidak mendapatkan pendidikan formal. Dalam aspek psikologi
feminis sangatlah kental sekali unsur perbedaan gender pada masa tersebut.
Karena anak perempuan pada masa tersebut tidak wajib mengenyam pendidikan formal,
berbeda dengan laki-laki yang diberikan pendidikan formal. Karena pola pikir
masyarakat pada kedua budaya tersebut adalah setinggi-tingginya pendidikan
perempuan, tetap saja akan kembali ke dapur,sumur dan kasur atau mengurus rumah
tangga, suami, anak dll. Oleh karena itu
tokoh Pariyem tidak menamatkan sekolah.
Jadi, kedua tokoh tersebut hanya mendapatkan
pendidikan yang sesuai saja dengan kebutuhan hidup mereka. Pada tokoh Pariyem
pendidikan hanya belajar untuk memenuhi kehidupan dan permasalahan sehari-hari
yang berkutat pada kasur, sumur, dapur. Keadaan seperti itulah yang sama
dialami oleh Lawino dan kebudayaan sukunya, suku acholi yang merupakan salah
satu suku terbesar di Uganda.
Memang sangat disayangkan pandangan
psikologi feminis tentang perempuan ini adalah tentang kepasrahan mereka menerima
prilaku Den Bagus sebagai lawan asmara Pariyem dan Ocol sebagai suami Lawino.
Kepasrahan mereka terjadi dikarenakan ada pertentangan dan kesalahan mereka
sendiri yang membuat mereka takut untuk menuntut haknya masing-masing. Pada
kenyataanya adalah tindakan yang dilakukan oleh Den Bagus dan Ocol adalah
sebagai penindasan terhadap perempuan. Tetapi pada Pariyem memiliki konfik yang
kompleks, karena sifat menggoda Pariyem kepada Den Bagus yang mengakibatkan Pariyem
hamil diluar nikah.
Betapa sering
dia kumat manjanya
Wah, wah, kalau
sudah begini
saya dibikin
setengah mati
lha, sudah gede
kok suka merengek
kayak bocah
kehilangan bonekanya
apalagi kalau
saya goda:
“besok saja ah,
besok saja
Saya sedang
capek, kok”
Tapi saya juga
pasang gaya:
Melepas setagen
berganti kain
Copot kebaya
ganti yang lain
Wuah, wuah, dia
pasti terus merajuk
Tidak jarang
dia pun ngamuk-ngamuk
Bilangnya, ia
tresna banget sama saya
O Allah, Gusti
nyuwun ngapura
(Pengakuan
Pariyem: hal. 48-49)
Sangat disayangkan memang keputusan Pariyem
yang hanya bisa pasrah menerima keadaan seperti itu. Bahkan dia tidak banyak
menuntut Den Bagus karena dia sendiri menyadari perbedaan kasta pada kebudayaan
jawa. Sebenarnya dia mengetahui adat keraton sendiri dari orang tuanya. Tetapi Pariyem
mengalami kebutuhan yang harus dipenuhi. Konflik ini yang pada akhirnya tidak
bisa ditahan oleh dirinya antara kebudayaan orang jawa dan kebutuhan yang harus dipenuhi tanpa
memikirkan resiko selanjutnya. Kejadianya berawal pada hal.39, Pariyem sendiri
mengakui dan bangga bisa menaklukan Den Bagus anak dari seorang nDoro Kanjeng
Cokro Sentono.
Ya, ya, Pariyem
saya
Maria Magdalena
Pariyem lengkapnya
“Iyem”
panggilan sehari-harinya
Dari Wonosari
Gunung Kidul
Sebagai babu
nDoro Kanjeng Cokro Sentono
Di nDalem
Suryomontraman NgaYogyakartakarta
Kini malah
wonten play sama putranya
Ya,ya RaDen
Bagus Ario Atmojo namanya.
(Pengakuan
Pariyem : hal. 49)
Tentang kepasrahan Lawino yang
selalu mendapatkan hinaan dari suaminya Ocol, tetapi Lawino hanya bisa menjawab
dengan mengakui bahwa budayanyalah yang lebih baik daripada budaya barat.
Suamiku marah
Karena,
katanya,
Aku tidak bisa
mengatur waktu
Dan aku tak
tahu
Menghitung
tahun;
Ia bertanya
kepadaku berapa hari
Dalam setahun,
(Afrika Yang
Resah: hal. 47)
Salah satu hinaan Ocol kepada Lawino
dan Lawino hanya menanggapinya dengan sisi budayanya.
Suamiku bilang,
Kepalaku bebal
dan kosong
Sebab, katanya,
Aku tak tahu
Kepan anak-abak
kami lahir.
Aku tahu bahwa
okang
anakku pertama
lahir di awal kemarau
(Afrika Yang
Resah: hal.60)
Dapat dikaji dari cuplikan diatas
adalah sikap Lawino yang hanya menurut pada perlakuan suaminya yang terus
menghina-hina dirinya dan sukunya acholi. Jika kita melihat Lawino hanya pasrah
dan hanya bisa membenarkan tindakanya di dalam hati. Seandainya dia bisa
berteriak dan membantah suaminya mungkin Lawinolah yang akan menang dan mungkin
Ocol mengakui bahwa sebenarnya Lawino tidak bodoh. Tetapi karena atas dasar
kepatuhan seorang istri di dalam suku acholi yang tidak bisa menentang
perkataan suami karena suamilah yang harus didahulukan. Karena dia tidak
membantah suaminya hanya konflik di dalam diri agar Lawino tidak terlalu kecewa
karena tindakan Ocol. Dalam kebudayaan suku acholi Istri hanya bertanggung
jawab atas anak-anaknya, mengurus ladang, menari. Suatu ketika anak-anaknya
sudah menikah maka anak-anaknya harus menghargai ibunya.
Kepasrahan mereka berdua membawa
dampak yang begitu khas dari psikologi feminis. Dimanakah sisi kemanusiaan pada
saat itu?. Mereka berdua hanya terikat pada sisi budaya yang sangat kental.
Menentang kebudayaan tersebut artinya di kucilkan dari lingkungan dan
masyarakat. Oleh karena itu sikap menerima segala sesuatunya adalah sikap yang
terbaik pada saat itu. Inilah yang di angkat dalam sudut pandang dari sisi
kebudayaan yang mempengaruhi sikap dan kepribadian. Sebuah kepasrahan yang
harus diterima dan dijalani dalam hidupnya. Tetapi kemenangan dalam batin yang
sangat membanggakan tidak terpengaruh budaya asli kedalam budaya asing untuk Lawino.
Kebanggaan tersendiri untuk Pariyem dalam pengakuannya yang membuat kebudayaan
jawa itu berbeda jika di kaji lebih dalam sebuah konflik antar batin dan
budaya, pada akhirnya dia hanya bisa menerima semuanya apa adanya.
b.
Jabarkan perbedaannya dengan memperhatikan aspek budaya, sosial,
politik dan kesejahteraan dan perhatikan pula kepengarangannya.
Pada psikologi feminis kalau
dibandingkan dengan kedua tokoh tersebut sangat dimaklumin. Pada tokoh Pariyem
salah satu contohnya sifat menggodanya kepada Den Bagus. Yang pada akhirnya
membuat dia hamil diluar nikah. Tetapi bukan juga kesalahan Pariyem karena
kebutuhan fisiologis seorang manusia haruslah dipenuhi termasuk kebutuhan
biologis.
Berbeda dengan tokoh Lawino yang
tidak mementingkan kebutuhan fisiologis, dia hanya ingin sebuah kebudayaan
tetap terjaga dengan cara menikahi Ocol. Terkadang Lawino selalu mengeluh
dengan sikap Ocol yang kebarat-baratan tetapi dia harus menerimanya dan inilah
yang ingin di tunjukkan oleh Lawino kepatuhan seorang istri dan berusaha
membawa kembali Ocol dalam kebudayaan yang dulunya.
Jika dikaji lebih dalam psikologi
feminis tentunya tidak ingin ada perbedaan dan harusnya ada penyamarataan
antara hak laki-laki dan perempuan. Dengan demikian maka tokoh Pariyem dan Lawino
hanya pasrah menerimanya tanpa ada perlawanan sama sekali. Di dalam tokoh Pariyem
menyadari walaupun dia menuntut haknya untuk dinikahi oleh Den Bagus tetapi
perbedaan kasta membuat dia tidak bisa berkutik dan menerima segalanya, tetapi
pada akhirnya mengakui dihamili oleh Den Bagus. Bukan krena pelecehan seksual
tetapi karena bermain asmara. Berbeda dengan Lawino, Uganda sendiri memiliki
konflik suku yang khas sampai membuat salah satu politisi Id Amin menyuruh
orang asing keluar dari Uganda (1971-1979). Dalam buku disebutkan konflik
dengan kebudayaan lain yaitu kebudayaan barat yang dibawa oleh Ocol.
Dirumah ibuku
Tak ada piring:
Kami pakai cawan labu
Dan piring tanah.
Piring orang bule
Tampak indah
Tapi jika kau menaruh
Catel dipiring itu
Dan menutupinya
Beberapa menit lamanya-
Piringnya berkeringat
Dan segera saja bagian bawah
Kue itu basah
Dan seluruh makanan menjadi dingin.
Lempengan kue di mangkuk labu
Akan tetap hangat
Dan tak jadi lembab
Di dasarnya;
Dan pinggang tanah
Menjaga kuah tetap panas
Dan membuat daging beruap hangat;
Dan ketika suamimu
Kembali dari berburu
Atau dari perjalanan seharian
Sediakan bubur hangat di mangkuk labu.
Dan jika aku telah
Seharian di ladang
Menyiangai rumput atau memanen di terik mentari,
Sepulangku
Beri aku air
Dimangkuk besar
Air di gelas tak ada gunanya.
Tak ada manfaatnya.
(Afrika
yang Resah: hal. 44)
Pada cuplikan diatas terlihat jelas
kebudayaan asing merusak tatanan kebudayaan yang sudah ada terlebih lagi pada
suku acholi. Lawino menganggap barang-barang yang digunakan untuk tempat makan
saja tidak berguna dan tidak memberikan manfaat untuk dirinya. Terlihat jelas Lawino
yang lebih baik dan lebih bisa menggunakan alat-alat tradisional khas sukunya
daripada dengan alat-alat yang dibawa oleh Ocol dari barat.
Dalam antropologi psikologi
menyatakan kebudayaan mempengaruhi kepribadian seseorang bahkan bisa membentuk
kepribadian secara utuh hingga berdampak menjadi trait (sifat-sifat yang sering
muncul). Pada Lawino sudah sangat terlihat jelas bahwa sifatnya pola pikirnya
hingga tingkah lakunya hampir sama dengan yang diajarkan dalam suku acholi. Sedangkan
Pada prosa liris Pengakuan Pariyem, di awal cerita dan hidup tokoh Pariyem mempunyai
pola pikir hingga tingkah lakunya sesuai
dengan adat jawanya, tetapi ada beberpa tindakan yang bukan mencerminkan orang
jawa.
Sebuah konflik tercipta antara
dirinya dan kebudayaannya yang pada akhirnya dia menyalahi aturan budayanya
yaitu menggoda Den Bagus, hingga tidur bersama dan menghasilkan janin yang
dirahasiakan tanpa adannya pernikahan yang sah. Terkadang orang jawa sendiri
memiliki konflik yang khas karena lebel jawa secara umum orangnya pasif artinya
pendiam, murah senyum, baik, ayu, kemayu. Konflik ini yang menyebabkan Pariyem
nekat tidur dengan Den Bagus. Mungkin orang jawa tersiksa dengan label mereka
yang seperti itu. Bayangkan jika orang jawa yang sifatnya pasif menjadi agresif
periang, menggoda, mudah marah dan tersinggung. Orang yang tadinya jawa bisa di
hina oleh masyarakat di sekelilingnya dan mungkin Pariyem sendiri merasakanya.
Pada tahun 70-an keadaan politik di
keraton Yogyakarta dan sekitarnya mengalami keadaan yang kehilangan
kelsutanannya, karena pada saat itu Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki
jabatan yang penting di pemerintahan dari 24 Maret 1973–23 Maret 1978. Oleh karena
itu keadaan keraton yang lengang dari pemerintahan membuat pemerintahan kota Yogyakarta
tidak berjalan dengan baik. Karena jabatan yang di pegang oleh Sri Sultan
Hamengkubuwana IX merangkap dua jabatan yaitu pertama sebagai wakil presiden
dan gubernur D.I. Yogyakarta. Karena kesibukannya yang sering mengurusi Negara
RI ini, Sultan Hamengkubuwana IX sering memberikan maklumat kepada Paku Alam VIII untuk mengurus keadaan di daerah Yogyakartakarta.
Oleh karena itu oleh Paku Alam VIII diangkat menjadi gubernur yogjakarta
1988–1998. Dalam diri Linus Suryadi AG terusik untuk mengungkapkan hal-hal
yang terjadi di dalam istana Yogyakarta semasa itu. Dengan menerbitkan karyanya
yang berjudul Pengakuan Pariyem.
Di Uganda perjuangan untuk
memperoleh kemerdekaan dari Inggris dimulai pada tahun 1945-1949, yaitu ketika
ada kerusuhan kaum proletar di Buganda. Pada 1953, Raja Mutesa II (Kabaka)
diasingkan ke Inggris dan dikembalikan ke Uganda pada tahun 1955. Akhirnya pada
9 Oktober 1962, Uganda memnperoleh kemerdekaan dari Inggris.
Apollo Milton Obote terpilih sebagai
perdana menteri pertama. Kabaka Edward Mutesa II (Raja Buganda) sebagai kepala
negara. Pada tahun 1966 terjadi pembunuhan berdarah di istana, hingga akhirnya
Milton Obote menghapuskan Kerajaan Buganda dan Kabaka Edward Mutesa II
mengasingkan diri ke Inggris hingga wafat dalam kemiskinan selama tiga tahun.
Pada saat itulah Okot p’Bitek mengambil keputusan untuk pergi ke Inggris
daripada berdiam dinegaranya. Okot p’Bitek sendiri ingin menyindir Negara Inggris
tersebut dengan bukunya ini. Dan pada akhirnya Akhirnya pada 9 Oktober 1962, Uganda memnperoleh kemerdekaan dari Inggris. Sebelum Okot p’Bitek
kembali ke Uganda karena 1966 sedang terjadi kerusuhan maka Okot p’Bitek kembali
ke Uganda di tahun 1967 dengan membawa gelar sarjana hukum, dan sesampainnya di
Uganda di mulai memperoses prosa liris Nyayian Lawino diterjemahkan ke Bahasa
Lou.
c.
Jabarkan posisi karya sastra di dalam wilayahnya.
Nyanyian Lawino pada dasarnya terbit
pertama kali di Inggris tahun 1966, karena Okot p’Bitek tinggal dan menetap
disana sebelum pada tahun 1967 , kemudian dia kembali ke Uganda untuk mengajar
di Makerere University di Kampala. Kepergianya dari Uganda pada awalnya adalah
dia seorang pemain sepak bola nasional Uganda, karena seringnya pertandingan di
Inggris ia memutuskan untuk tinggal di sana dan melanjutkan pendidikannya
dibidang hukum. Akhirnya ia meraih gelar sarjana hukum pada tahun 1960-an.
Pada awalnya buku Song of Lawino (1966) terbit dalam buku berbahasa Inggris
lalu pada tahun 1971 barulah ia menerbitkan dalam bahasa lou. Pertentangan dan
kesulitan pada awalnya datang untuk diterbitkanya buku ini, karena sebenarnya
di Inggris merasa tersindir karena dalam
buku tersebut kritikan terhadap budaya barat dan budaya suku acholi (Uganda).
Yang sejarahnya Uganda adalah bekas jajahan Inggri, pada tahun 1962 barulah
Uganda merdeka. Jadi, Inggris merasa tersindir oleh bukunya Okot p’Bitek. Tetapi
pada akhirnya buku Song of Lawino
terbit tahun 1966 dan Song of Ocol terbit tahun 1970. Mengingat kembali prosa
liris liris ini sebenarnya adalah sebuah nyanyian tradisional dari suku acholi
dan largo.(Koran tempo ruang baca edisi 31 juli 2007).
Jika saya perhatikan dari sejarah
diatas mungkin nyanyian Lawino ini adalah sebuah tesis yang dikembangkan oleh Okot
p’Bitek sendiri karena tesisnya yang berisikan nyanyian tradisional suku acholi
dan largo.
Posisi prosa liris Afrika yang
Resah: Nyayian Lawino, sebenarnya tidak mendapatkan sebuah penghargaan tetapi
mendapatkan banyak perhatian dari sastrawan di Negara lain, salah satunya
adalah Sapardi Djoko Damono yang menerjemahkan prosa liris tersebut dalam
Bahasa Indonesia, karena menurut beliau dari prosa inilah kita dapat mengetahui
sejarah dan budaya di Uganda. Sapardi Djoko Damono adalah salah satu sastrawan
yang patut diperhitungkan di Indonesia karena berbagai penghargaan telah
diraihnya. Pastilah dalam menerjemahkan sastra Negara lain sangat dia
perhitungkan, salah satunya adalah Afrika yang Resah: Nyayian Lawino.
Pada karya Linus Suryadi AG, membuat
Pengakuan Pariyem pada tahun 1978-1980 dan akhirnya terbit pada tahun 1981. Linus
Suryadi AG sendiri memiliki pendidikan yang bukan berasal dari sastra tetapi
ABA jurusan Bahasa Inggris dan IKIP Sanata Dharma Jurusan Bahasa Inggris. Pada
awalnya prosa liris ini dianggap saru dan mendapatkan pertentangan dalam
penerbitan, dan pada akhirnya buku ini terbit. Selama proses tersebut pergaulan
di kota Yogyakarta pada tahun 80-an
timbul tanda tanya yang besar sampai-sampai pernah diberitakan Yogyakarta
kehabisan kondom pada tahun 80-an karena sedang nge-trend sekali
mahasiswa-mawasiswa yang kumpul kebo. Di dalam dunia perfilman sendiri pada
masa itu sedang berkembangnya film-film yang bersifat tabu salah satunya
pemerannya adalah Kiki Fatmala dalam
film Misteri di Malam Pengantin, Permainan di Balik Tirai (1988) dll. Mungkin Linus
Suryadi AG sendiri tidak pernah tahu efek dari konflik dari kebudayaan dan
batin Pariyem yang bisa menimbulkan hal-hal seperti ini. Terlebih lagi Linus
Suryadi AG menceritakan dengan detail keadaan Yogyakarta saat itu yang begitu
kontras dengan pergaulanya. Salah satu kutipan yang menarik.
“ah ya, RaDen Bagus Ario Atmojo
Begitu bila nDoro Ayu bercerita
Pada para tamu yang sowan ke ndalemnya.
Dia kuliah di Falkutas Filsafat
Universitas Gajah Mada
(Pengakuan
Pariyem: hal. 43)
Dalam prosa liris tersebut
diceritakan sesosok Den Bagus yang detail sekali yaitu pada saat itu kuliah di
falkutas filsafat UGM berdiri 18 Agustus 1967, merupakan satu-satunya Fakultas
Filsafat berstatus negeri di Indonesia. Pada jaman dulu jika dihitung mundur 1978
prosa liris Pariyem ditulis oleh Linus Suryadi AG, pada saat itu umurnya Pariyem
25 tahun berarti tahu 1978 dikurang 25, maka dipastikan Pariyem lahir tahun 1953. Sedangkan Linus
Suryadi AG, sendiri lahir pada 3 maret
1951. Maka Den Bagus umurnya hampir sama dengan Linus Suryadi AG Suryadi AG. Suatu
perkara yang tidak gampang untuk menguak kehidupan dari Linus Suryadi AG
Suryadi AG dan tokoh-tokohnya pada prosa liris Pengakuan Pariyem. Dan jika
dikaitkan oleh Den Bagus maka terlihatlah kemungkinan yang menarik.
Linus Suryadi AG membagi tokoh-tokoh
tersebut kedalam tipe-tipe tertentu sesuai dengan teori jung tentang arkatipe :
Den Bagus adalah pergaulan dari
masyarakat Yogyakarta yang mungkin ingin menyindir para mahasiswa UGM yang dari
sudut pandang Linus Suryadi AG sering melakukan apa yang dilakukan oleh
mahasiswa pada saat itu.
Dan Pariyem adalah adat jawa yang Linus
Suryadi AG yakini selalu baik, dibuat seolah-olah menjadi bertentangan dengan
sebenarnya.
Dengan aspek pergaulan yang khas
sekali saat era itu adalah
Yang mosak-masik dan apek bau tembakau
memang, dia gemar ngerokok jarum 76,
kok sehari dua pak sampai tiga pak itu bisa
……………
Dia suka musik jreng-jreng itu loh
……………
Lha, kalau numpak sepedah motor Yamaha
Ngebut banternya luar biasa
Apalagi knalpotnya dicopot
(Pengakuan
Pariyem: hal.43)
Memang jika dibilang pergaulan di
kota Yogyakarta dulu seperti itu, anak muda yang merokok dan menyukai lagu-lagu
yang sedang nge-trend pada eranya.
Linus Suryadi AG mungkin tidak
menikah sampai akhir hayatnya karena dari beberapa buku dan sumber-sumber
lainya tidak menyebutkan dia menikah. Entah apa yang dipikirkan oleh Linus
Suryadi AG menjadi tanda tanya yang besar. Jikalau memang ia tidak menikah bisa
di perkirakan pandangan dia terhadap wanita itu tidak baik karena dia memandang
dengan sudut pandang sebagai Pariyem. Tetapi salah satu biografinya mengatakan
dia banyak dikagumi oleh para wanita khususnya di kampusnya.
Pada novel Pengakuan Pariyem tidak
mendapatkan penghargaan, tetapi dari karya tersebut membuka wawasan dan
kritikan tentang kebudayaan jawa terlebih lagi di dalam keraton Yogjakarta.
Tetapi salah karya Pengakuan Pariyem sudah terdaftar kedalam International
Standard Book Number (ISBN).
Dari posisi kedua prosa liris di
wilayahnya tersebut dapat kita kaitkan, sepertinya Linus Suryadi AG mendapatkan
pengaruh dari Okot p’Bitek dari segi penulisan prosa liris yang mengangkat
unsur kebudayaan karena prosa liris ini terbit pertama kali dalam Bahasa
Inggris di Negara Inggris tahun 1966, kemudian tersebar luas ke negara-negara
lainnya, dan mungkin sampai di Indonesia, Linus Suryadi AG adalah salah satu
mahasiswa jurursan Bahasa Inggris pernah membaca karya Okot p’Bitek tersebut
sehingga mendapatkan pengaruh.
3.
Penutup
a.
Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan terhadap
masalah yang ditelaah dalam tulisan ini,
penulis akan mengemukaan beberapa simpulan terhadap tokoh wanita dan tradisi
dalam prosa liris Pengakuan Pariyem dan Afrika yang Resah:Nyayian Lawino sebagai tinjaun Psikologi Feminis.
Pada dasarnya kepasrahan mereka dikarenakan budaya masing-masing yang mempengaruhi
nilai-nilai di dalam diri mereka menjadi sebuah prinsip yang tidak bisa
ditentang. Tetapi pandangan psikologi feminis ketika hak
seorang perempuan dibatasi bahkan dihapuskan maka hal tersebut dianggap penindasan
terhadap perempuan,
Psikologi feminis sangat tertarik
membahas kebudayaan dan perempuan terlebih lagi tentang perbedaan antara hak
laki-laki dan perempuan. Dalam karya novel ini dapat diangkat unsur-unsur
tersebut yang membuat kita penasaran dan akan membaca habis kedua novel ini.
Terlebih yang menyukai tentang kebudayaan yang amat sangat kaya di dalam kedua
novel tersebut.
Saya sendiri mengakui ketagihan dan
ingin menganalisis lebih dalam lagi. Menurut sudut pandang kepribadian Sigmund
freud, dan jung. Sekiranya banyak pertanyaan yang ingin saya tanyakan dan ingin
saya pertanyakan kepada Okot p’Bitek dan
Linus Suryadi AG. Tetapi karena mereka sudah meninggal maka dari itu biarlah
analisis yang saya berikan hanya sedikit dan ingin sekali memperdalam. Semoga
dengan karya yang kurang sempurna ini. Menggugah rasa penasaran terhadap kedua
novel ini. Mencari tahu dan memperdalam kedua karya ini yang begitu fenomenal
dan mendapatkan banyak kritik dan kajian dalam perjalanannya.
Daftar Pustaka
Suryadi AG, Linus Suryadi AG. 2009. Pengakuan Pariyem: Dunia Batin
Seorang Wanita Jawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Okot p`Bitek. terjemahan Sapardi Djoko Damono. 2005. Afrika Yang
Resah : Nyanyian Lawino. Jakarta : Yayasan Obor.
Trisman ,B. dkk. (2003). Antologi Esai Sastra Bandingan dalam
Sastra Indonesia Modern. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Fox, Denis. Isaac prilleltensy. (2005). Psikologi Kritis
Metaanalisis Psikologi Modern. Jakarta : Penerbit Teraju.
SdiecahyouinYogyakarta.blog.com (11:11 PM 1/4/2012)
attachment:/74/showthread.htm#post443051611(11:06 PM 1/4/2012)
http://www.scribd.com/doc/19066741/null (10:50 PM 1/4/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Linus_Suryadi_AG (10:40 PM 1/4/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Perdana_Menteri_Uganda (10:30
PM 1/4/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Uganda (10:10 PM 1/4/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia (10:15 PM 1/2/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Kasultanan_Ngayogyakarta_Hadiningrat
(10:20 PM 1/2/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sri_Sultan_Hamengkubuwono_X (10:26 PM
1/2/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Paku_Alam_VIII (10:28 PM 1/2/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sri_Sultan_Hamengkubuwono_IX (10:30 PM
1/2/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto (10:28 PM 1/5/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/International_Standard_Book_Number
(10:36 PM 1/5/2012)
http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNw==&dokm=MDc=&dokd=MzE=&dig=aW5kZXg=&on=Q1JT
(9:06 PM 1/6/2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Linus_Suryadi_AG (9:06 PM 1/6/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar