Sabtu, 30 Agustus 2014

Melepas



Ini bukan puisi bukan juga syair yang kubuat secara khusus, tetapi inilah rutinitasku. Segala apa yang kurasakan hari ini akan selalu kuttumpahkan melalui setiap deret huruf menjadi kata dan deretan kalimat yang bermakna.
Entah bagaimana aku memulai semua ini pun lupa yang terpenting dan yang jelas sekarang adalah selama hidupku aku berjabat dengan impianku bukan di saat bahagianya dan kecewaku.
Entah hitam, coklat, entah hijau muda. Belum pernah kulihat bola mata berwarna cojlat muda terang, jadi tidak bisa teerlalu yakin, dan tempat ini didesain dengan penerangan yang buruk. Terang yang malah tidak membuat suasana menjadi santai dan romantis. Namun hanya tempat ini yang terdekat dari tempat wilayah kami. Tak ada hiburan yang tersedia. Kami hanya menghibur diri sendidri dengan saling bertanya satu sama lain, mengobrolkan entah apa dan hingga kemana.

Tiba-tiba tatapan matanya mengarah kepadaku dengan sebuah pertanyaanku. Dia, yang paling kucari. Tapi tidak dalam jarak dua kyrsi seperti ini. Kursi kami yang berjauhan membuat kami harus berkomunikasi terpisah-pisah karena posisi duduk kami harus dimiringkan. Andai aku memberanikan diri menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Namun, kunikmati posisi ini untuk membaca pikirannya, tatapan matanya, dan memata-matai perasaannya. Cukup seperempat saja jiwaku berjaga di kursi dan meja itu, untuk tersenyum sopan, tertawa kecil, dan merespon ‘oh’, dan bertanya kembali atas percakapan apapun.
Kisah ini memang berat, jika kuandaikan kisah ini maka orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang Cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.
Aku tahu, sahabat ku adalah orang yang berbahagia. Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggp miliki. Aku adalah orang yang paling bersedih, karena aku mengetahui apa yang tidak sanggup aku miliki. Setelah kulihat dia memilki mata yang indah, ia kembalo menjadi sebentuk punggung yang sanggup kuhayati, yang kuisyaratkan halus melalui udara, cahaya, langit, piring, dan gelas-gelas yang ada di depan dan sekelilingku.
                                                         
Ciputat, 18 Agustus 2014
23:00 WIB
Wulandari Nur Fajriyah

Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Indonesia

Seminar Internasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hanya sampai 31 Agustus 2014 pengiriman abstrak tahap I