Selasa, 21 Mei 2013

Tradisi Meminta Pertolongan pada Dukun dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis


Tradisi Meminta Pertolongan pada Dukun
dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
Novel Salah Asuhan menceritakaan seorang anak berkelahiran Sumater Barat, yang bernama Hanafi. Hanafi merupakan anak pribumi bersuku Minangkabau yang kebarat-baratan, karena sejak kecil bersekolah di Batavia menyebabkan dia banyak berinteraksi dengan bangsa Belanda. Keinginannya yang besar untuk mendapatkan perlakuan dan derajat yang sama dengan bangsa Belanda membuat dia dekat dengan peranakan Pribumi dan Belanda yaitu Corrie.
Hubungan Hanafi dengan Corrie sejak mereka masih kecil seperti kakak adik, namun hubungan itu berubah ketika mereka beranjak dewasa. Hanafi menaruh hati pada Corrie, namun Corrie ragu-ragu dengan perasaannya sebab Ayahnya melarang dia menikah dengan pribumi. Menurut ayah Corrie orang pribumi lebih rendah dari bangsanya, dan tidaklah pantas Corrie menikah dengan pribumi.
Konflik tersebut menjadikan hubungan Corrie dan Hanafi semakin rumit apalagi setelah Hanafi mencium Corrie di rumahnya. Hal tersebut membuat Corrie memutuskan pergi ke

Bukittinggi untuk menjauh dan meninggalkan Hanafi. Kepergian Corrie tersebut membuat Hanafi jatuh sakit berminggu-minggu.
“Sebenarnyalah Hanafi jatuh sakit keras. Empat belas hari lamanya ia demam panas; dan buah tuturnya di dalam demam itu sangatlah membimbangkan hati ibunya”.[1]
Keadaan Hanafi yang semakin memburuk membuat ibunya merasa kasihan dan tak tega melihatnya. Ibunya berusaha melakukan apapun demi kesembuhan Hanafi, yaitu memanggil dokter dan dukun. Karena menurut Ibu Hanafi,
“Tapi dalam hal serupa itu keyakinan ibunya kepada dokter dengan kepada dukun adalah sama besarnya. Oran tua itu yakin, bahwa penyakit anaknya ada luar biasa. Haruslah obat-obat dokter disambung dengan obat dukun yang mengobati dan menyertakan doa”.[2]
Menurut tradisi suku Minang (Ibu Hanafi) dokter saja tidak cukup untuk mengobati Hanafi maka haruslah disambung dengan obat dukun yang mengobati dan menyertakan doa. Karena Ibu Hanafi mengetahui sakit yang diderita anaknya bukanlah sakit fisik melainkan sakit batin karena ditinggalkan Corrie, sakit batin haruslah disembuhkan bukan hanya dengan obat tetapi melalui doa yang dipercayakan pada dukun. Kepercayaan terhadap dukun untuk mengobati sakit apapun termasuk sakit yang berhubungan dengan batin merupakan tradisi yang sudah turun menurun di Minangkabau sebelum adanya doketer.
            Dukun adalah orang yang mengobati, menolong orang sakit, memberi jampi-jampi (mantra, guna-guna, dsb.)[3]. Dukun yang dimaksud di sini bukanlah orang yang menganut ilmu hitam atau berkonotasi negatif. Karena dukun dalam novel Salah Asuhan bukan hanya memberikan obat, matra, dan guna-guna. Namun dukun di novel Salah Asuhan digambarkan lebih perhatian daripada dokter karena menjaga Hanafi, mendoakannya dan memberikan ramuan/obat.

Dilihat dari latar belakang agama, suku Minang beragama Islam. Ada satu pepatah Minangkabau "Menjadi orang Minangkabau adalah Menjadi Islam." Sudah pasti mereka tidak menyekutukan Allah dengan dukun. Namun dukun hanya digunakan sebagai perantara menyembuhkan orang sakit. Karena biasanya orang yang memiliki kemampuan/ keahlian tersebut merupakan orang yang dekat dengan Allah SWT.
Berbeda dengan pandangan Hanafi yang tidak suka pada dukun:
“Lain daripada dokter dukun pun senantiasa menjaga Hanafi. Ia sendiri tidak suka melihat dukun itu. Jangankan obat dukun hendak diminumnya, dihampiri ia tak suka”.[4]
Hanafi yang tak suka pada dukun dipengaruhi karena sifatnya yang kebarat-baratan. Menurut pandangan orang barat setiap sesuatu kejadian harus ada sebab akibat, dan dipikirkan secara realistis. Maka benarlah jikalau Hanafi lebih mempercayai dokter yang sudah mendapatkan bersekolah dan menyandang predikat dokter daripada dukun.
Setelah dua minggu lebih Hanafi sakit maka berangsurlah dia pulih dari sakitnya, dan suatu hari Hanafi ke luar dari tempat tidurnya dan berbaring di kursi malas di beranda muka. Ibunya mendekatinya dan menanyaakan keadaannya. Kemudian membicarakan mengenai keinginan ibunya agar Hanafi mau menikahi anak kakak kandungnnya, Rapiah.
Setelah menceritakan dan bertanya berbagai hal mengenai niat ibunya tersebut, akhirnya Ibu Hanafi besukacita karena Hanafi menerima Rapiah jadi istrinya. Maka ibunya ingat akan janji pada dukun itu kaarena anaknya sembuh dari durhaka, dan menerima perempuan yang diharapkan Ibunya.
“Secara yang sudah ada dalam kaulnya, segeralah hendak dilakukannya. Ia hendak membawa seekor anak sapi betina kepada dukun itu, selengkap pakaian, serta uang dua puluh lima ribu rupiah. Itulah yang sudah dikaulkannya dalam hatinya, bila dukun itu sungguh dapat mengobat anaknya dari sakitnya.”[5]
Kaul adalah ujaran, perkataan, niat yang diucapkan sebagai janji untuk melakukan sesuatu jika permintaannya dikabulkan dsb.[6] Dari pengertian tersebut kaul merupakan sinomim nazar. Pemberian seekor anak sapi betina kepada dukun itu, selengkap pakaian, serta uang dua puluh lima ribu rupiah pada dukun bukanlah permintaan dari dukun tetapi niat yang telah diucapkan dalam hati oleh Ibu Hanafi. Dengan kata lain pemberian tersebut dapat merupakan suatu tanda terimakasih pada dukun dan syukur Ibu Hanafi.
Jadi, tradisi meminta pertolongan di Sumatera Barat (Minangkabau) merupakan suatu hal yang telah turun menurun ada dan dipercaya dalam mengobati seseorang dari segala macam penyakit termasuk penyakit batin, diguna-guna, dsb. Hal tersebut bukanlah suatu hal yang musrik melainkan sebagai suatu usaha meminta pertolongan melalui orang yang dipercaya memiliki kekuatan karena kedekataannya dengan Allah SWT. Pemberian terhadap dukun merupakan tanda terimakasih dan syukur yang merupakan nazar yang telah diniatkan dalam hati apabila suatu keiinginan telah terpenuhi. Apabila seseorang yang memiliki kaul/nazar maka hukumnya wajib membayarnya. Perlu ditekankan kata <dukun> merupakan kata yang mengalami penyempitan makna dan memiliki nilai rasa yang tinggi, dahulu kata <dukun> digunakan untuk semua orang yang menjadi panutan, dekat dengan pencipta, dan tempat menyembuhkan segala penyakit. Sedangkan sekarang kata <dukun> mengalami penyempitan makna dan memiliki nilai rasa yang rendah, kata <dukun> diartikan bagi orang yang berkeahlian membantu orang melahirkan dan memberi jampi-jampi pada orang lain atas kehendak orang yang meminta pertolongan padanya.



[1] Abdoel Moeis, Salah Asuhan, (Jakarta: Balai Pustaka), h. 61
[2] Ibid., h.61
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), h.346
[4] Abdoel Moeis, Salah Asuhan, (Jakarta: Balai Pustaka), Ibid., h. 61
[5]Ibid., h. 70
[6] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), h.637

Tidak ada komentar:

Posting Komentar