Tradisi Meminta Pertolongan pada
Dukun
dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
Novel
Salah Asuhan menceritakaan seorang
anak berkelahiran Sumater Barat, yang bernama Hanafi. Hanafi merupakan anak
pribumi bersuku Minangkabau yang kebarat-baratan, karena sejak kecil bersekolah
di Batavia menyebabkan dia banyak berinteraksi dengan bangsa Belanda.
Keinginannya yang besar untuk mendapatkan perlakuan dan derajat yang sama
dengan bangsa Belanda membuat dia dekat dengan peranakan Pribumi dan Belanda
yaitu Corrie.
Hubungan
Hanafi dengan Corrie sejak mereka masih kecil seperti kakak adik, namun
hubungan itu berubah ketika mereka beranjak dewasa. Hanafi menaruh hati pada
Corrie, namun Corrie ragu-ragu dengan perasaannya sebab Ayahnya melarang dia
menikah dengan pribumi. Menurut ayah Corrie orang pribumi lebih rendah dari
bangsanya, dan tidaklah pantas Corrie menikah dengan pribumi.
Konflik
tersebut menjadikan hubungan Corrie dan Hanafi semakin rumit apalagi setelah
Hanafi mencium Corrie di rumahnya. Hal tersebut membuat Corrie memutuskan pergi
ke
Bukittinggi
untuk menjauh dan meninggalkan Hanafi. Kepergian Corrie tersebut membuat Hanafi
jatuh sakit berminggu-minggu.
“Sebenarnyalah
Hanafi jatuh sakit keras. Empat belas hari lamanya ia demam panas; dan buah
tuturnya di dalam demam itu sangatlah membimbangkan hati ibunya”.[1]
Keadaan
Hanafi yang semakin memburuk membuat ibunya merasa kasihan dan tak tega
melihatnya. Ibunya berusaha melakukan apapun demi kesembuhan Hanafi, yaitu
memanggil dokter dan dukun. Karena menurut Ibu Hanafi,
“Tapi
dalam hal serupa itu keyakinan ibunya kepada dokter dengan kepada dukun adalah
sama besarnya. Oran tua itu yakin, bahwa penyakit anaknya ada luar biasa.
Haruslah obat-obat dokter disambung dengan obat dukun yang mengobati dan
menyertakan doa”.[2]
Menurut
tradisi suku Minang (Ibu Hanafi) dokter saja tidak cukup untuk mengobati Hanafi
maka haruslah disambung dengan obat dukun yang mengobati dan menyertakan doa.
Karena Ibu Hanafi mengetahui sakit yang diderita anaknya bukanlah sakit fisik
melainkan sakit batin karena ditinggalkan Corrie, sakit batin haruslah
disembuhkan bukan hanya dengan obat tetapi melalui doa yang dipercayakan pada
dukun. Kepercayaan terhadap dukun untuk mengobati sakit apapun termasuk sakit
yang berhubungan dengan batin merupakan tradisi yang sudah turun menurun di Minangkabau
sebelum adanya doketer.
Dukun adalah orang yang mengobati,
menolong orang sakit, memberi jampi-jampi (mantra, guna-guna, dsb.)[3].
Dukun yang dimaksud di sini bukanlah orang yang menganut ilmu hitam atau
berkonotasi negatif. Karena dukun dalam novel Salah Asuhan bukan hanya memberikan obat, matra, dan guna-guna.
Namun dukun di novel Salah Asuhan
digambarkan lebih perhatian daripada dokter karena menjaga Hanafi, mendoakannya
dan memberikan ramuan/obat.
Dilihat
dari latar belakang agama, suku Minang beragama Islam. Ada
satu pepatah Minangkabau "Menjadi orang Minangkabau adalah Menjadi
Islam." Sudah pasti mereka tidak menyekutukan Allah dengan dukun.
Namun dukun hanya digunakan sebagai perantara menyembuhkan orang sakit. Karena
biasanya orang yang memiliki kemampuan/ keahlian tersebut merupakan orang yang
dekat dengan Allah SWT.
Berbeda
dengan pandangan Hanafi yang tidak suka pada dukun:
“Lain
daripada dokter dukun pun senantiasa menjaga Hanafi. Ia sendiri tidak suka
melihat dukun itu. Jangankan obat dukun hendak diminumnya, dihampiri ia tak
suka”.[4]
Hanafi
yang tak suka pada dukun dipengaruhi karena sifatnya yang kebarat-baratan.
Menurut pandangan orang barat setiap sesuatu kejadian harus ada sebab akibat,
dan dipikirkan secara realistis. Maka benarlah jikalau Hanafi lebih mempercayai
dokter yang sudah mendapatkan bersekolah dan menyandang predikat dokter
daripada dukun.
Setelah
dua minggu lebih Hanafi sakit maka berangsurlah dia pulih dari sakitnya, dan
suatu hari Hanafi ke luar dari tempat tidurnya dan berbaring di kursi malas di
beranda muka. Ibunya mendekatinya dan menanyaakan keadaannya. Kemudian
membicarakan mengenai keinginan ibunya agar Hanafi mau menikahi anak kakak
kandungnnya, Rapiah.
Setelah
menceritakan dan bertanya berbagai hal mengenai niat ibunya tersebut, akhirnya
Ibu Hanafi besukacita karena Hanafi menerima Rapiah jadi istrinya. Maka ibunya
ingat akan janji pada dukun itu kaarena anaknya sembuh dari durhaka, dan
menerima perempuan yang diharapkan Ibunya.
“Secara
yang sudah ada dalam kaulnya, segeralah hendak dilakukannya. Ia hendak membawa
seekor anak sapi betina kepada dukun itu, selengkap pakaian, serta uang dua puluh
lima ribu rupiah. Itulah yang sudah dikaulkannya dalam hatinya, bila dukun itu
sungguh dapat mengobat anaknya dari sakitnya.”[5]
Kaul
adalah ujaran, perkataan, niat yang diucapkan sebagai janji untuk melakukan
sesuatu jika permintaannya dikabulkan dsb.[6]
Dari pengertian tersebut kaul merupakan sinomim nazar. Pemberian seekor anak
sapi betina kepada dukun itu, selengkap pakaian, serta uang dua puluh lima ribu
rupiah pada dukun bukanlah permintaan dari dukun tetapi niat yang telah
diucapkan dalam hati oleh Ibu Hanafi. Dengan kata lain pemberian tersebut dapat
merupakan suatu tanda terimakasih pada dukun dan syukur Ibu Hanafi.
Jadi,
tradisi meminta pertolongan di Sumatera Barat (Minangkabau) merupakan suatu hal
yang telah turun menurun ada dan dipercaya dalam mengobati seseorang dari
segala macam penyakit termasuk penyakit batin, diguna-guna, dsb. Hal tersebut
bukanlah suatu hal yang musrik melainkan sebagai suatu usaha meminta
pertolongan melalui orang yang dipercaya memiliki kekuatan karena kedekataannya
dengan Allah SWT. Pemberian terhadap dukun merupakan tanda terimakasih dan
syukur yang merupakan nazar yang telah diniatkan dalam hati apabila suatu
keiinginan telah terpenuhi. Apabila seseorang yang memiliki kaul/nazar maka
hukumnya wajib membayarnya. Perlu ditekankan kata <dukun> merupakan kata
yang mengalami penyempitan makna dan memiliki nilai rasa yang tinggi, dahulu
kata <dukun> digunakan untuk semua orang yang menjadi panutan, dekat
dengan pencipta, dan tempat menyembuhkan segala penyakit. Sedangkan sekarang
kata <dukun> mengalami penyempitan makna dan memiliki nilai rasa yang
rendah, kata <dukun> diartikan bagi orang yang berkeahlian membantu orang
melahirkan dan memberi jampi-jampi pada orang lain atas kehendak orang yang
meminta pertolongan padanya.
[1]
Abdoel Moeis, Salah Asuhan, (Jakarta:
Balai Pustaka), h. 61
[2] Ibid., h.61
[3]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama),
h.346
[4]
Abdoel Moeis, Salah Asuhan, (Jakarta:
Balai Pustaka), Ibid., h. 61
[5]Ibid., h. 70
[6]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama),
h.637
Tidak ada komentar:
Posting Komentar