Selasa, 01 Oktober 2013

Struktur Jiwa dalam Psikologi islam

Struktur jiwa dalam psikologi islam
Penentuan struktur kepribadian tidak terlepas dari pembahasan substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketauih hakekat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya, ahli membagi substansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs. Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedangkan ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi. Karena saling membutuhkan maka diperlukan sinergi yang dapat menampung kedua natur yang berlawanan, yang dalam terminologi psikologi islam disebut nafs. Pembagian substansi tersebut seiring dengan pendapat Khair al-Din al-Zarkaliy yang dirujuk dari konsep Ikhwan al-Shafa.
1.      Substansi jasmani
Jasad (jisim) adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna dibanding dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Setiap makhluk biotik-lahiriyah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara, dan air. Keempat unsur tersebut merupakan materi yang abiotik (mati). Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (Thaqab al-Jisimiyah). Energi kehidupan ini lazimnya disebut dengan nyawa, karene nyawa manusia hidup. Ibnu Maskawaih dan Abu al-Hasan al-Asy’ary menyebut energi tersebut dengan al-hayah (daya hidup), sedangkan al-Ghazaly menyebutnya dengan isltilah al-ruh jasmaniyah (ruh material). Dengan daya ini, jasad manusia dapat bernafas, merasakan sakit, panas-dingin, pahit-manis, haus-lapar, seks dan sebagainya. Al-hayat berbeda dengan al-ruh, sebab ia ada sejak adanya sel kelamin, sedang al-ruh menyatu dengan tubuh manusia setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan. Ruh bersifat substansi (jaubar) yang hanya dimiliki manusia, sedang nyawa merupakan sesuatu yang baru (‘aradh) yang juga dimiliki oleh hewan.
Jisim manusia memiliki natur tersendiri. Al-Farabi menyatakan bahwa komponen ini dari alam ciptaan, yang memiliki bentuk, rupa, bergerak, berkualitas, berkadar, serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ. Begitu juga al-Ghazaly memberikan sifat komponen ini dengan dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi. Sedang menurut Ibnu Maskawaih bahwa badan sifatnya material. Ia hanya dapat menangkap satu bentuk yang konkret, dan tidak dapat menangkap yang abstrak. Jika ia telah menangkap satu bentuk kemudian perhatiannya berpindah pada bentuk yang lain maka bentuk pertama itu lenyap.
Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa komponen ini naturnya inderawi, empirik, dan dapat disifati. Ia terstruktur dari dua substansi  yang sederhana dan berakal, yaitu hayula dan shurah. Substansinya sebenarnya mati. Kehidupannya bersifat ‘aradh karena berdampingan dengan nafs. Nafs yang menjadikannya hidup bergerak dan memberi daya dan tanda. Ia bersifat duniawi. Jisim manusia memiliki natur buruk. Keburukan jasad disebabkan oleh (1) ia penjara bagi ruh, (2) mengganggu kesibukan ruh untuk beribadah kepada Allah SWT, (3) dan jasad tidak mampu mencapai makhrifat Allah.

2.      Substansi Ruhani
Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jism lathif), ada yang substansi sederhana (jauhar basith), dan ada juga substansi ruhani (jauhar ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi psikologi, sebab term ruh memiliki arti jauhar (substance), sedang spirit lebih bersifat ‘aradh (accident).
Ruh merupakan substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah kesempurnaan awal jisim alam manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya. Sedang menurut al-Farabi, ruh berasal dari alam perintah (amar) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad. Hal itu dikarenakan ia dari Allah, kendatipun ia tidak sama dengan zat-Nya. Sedang menurut al-Ghazali, ruh ini merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani. Ia dapat berpikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya. Ia juga sebagai penggerak keberadaan jasad manusia. Sifanya ghaib. Sedangkan Ibnu Rusyd memandang ruh sebagai citra kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan itu karena ruh dapat dibedakan dengan kesempurnaan yang lain yang merupakan pelengkap dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organik karena ruh merupakan jasad yang terdiri dari organ-organ.
Fitrah ruh multi dimensi yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Ruh dapat keluar-masuk ke dalam tubuh manusia. Ruh hidup sebelum tubuh manusia ada (QS. Al- A’raf;172, al-Ahzab 72). Kenatian tubuh bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk ke dalam tubuh manusia ketika tubuh tersebut siap menerimanya. Menurut Nabi, bahwa kesiapan itu ketika manusia berusia empat bulan dalam kandungan. Pada saat inilah ruh berubah nama menjadi al-nafs (gabungan antara ruh dan jasad).
Di alam arwah (sebelum bersatunya ruh dan jasad), sebagaimana dalam QS. Al-A’raf ayat 172, Allah SWT telah mengatakan perjanjian primordial dengan ruh, yang mana perjanjian ini merupakan natur aslinya. Saiyid Husen Naser menyatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan asrar alastu (rahasia alastu) yang mana Allah SWT telah memberikan perjanjian kepada ruh manusia. Sedangkan Ikhwan Shafa menyatakan bahwa firman tersebut berkaitan dengan ruh di alam perjanjian (‘alam mitsaq) atau disebut alam al-ardh al-awwal (alam perjanjian pertama). Ruh pada prinsipnya memiliki natur yang baik dan bersifat ketuhanan (ilahiyah). Ia merupakan substansi samawi dan alamnya alam ruhani. Ia hidup melalui zatnya sendiri yang tidak butuh makan, minum serta kebutuhan jasmani lainnya.
Pembahasan tentang ruh dibagi menjadi dua bagian ; pertama, ruh yang berhubungan denganm zatnya sendiri ; dan kedua, ruh yang berhubungan dengan jasmani. Ruh yang pertama disebut dengan al-munazzalah, sedang yang kedua disebut dengan al-gharizah, atau disebut dengan nafsaniah. Ruh al-munazzalah berkaitan dengan esensi asli ruh yang diturunkan atau diberikan secara langsung oleh Allah SWT kepada manusia. Ruh ini esensinya tidak berubah, sebab jika ia berubah berarti berubah pula eksistensi manusia.
Ruh ini diciptakan di alam ruh (‘alam al-arwah) atau di alam perjanjian (‘alam al-mitsaq aw ‘alam al-‘abd). Karena itu, ruh munazzalah ada sebelum tubuh manusia ada, sehingga sifatnya sangat ghaib yang adanya diketahui melalui informasi wahyu. Ruh al-munazzalah melekat pada diri manusia. Ruh ini dapat dikatakan sebagai fitrah asal yang menjadi esensi (hakikat) struktur manusia. Fungsinya berguna untuk memberikan motivasi dan menjadikan dinamisasi tingkah lakunya. Ruh ini membimbing kehidupan spiritual nafsani manusia. Kehidupan nafsan manusia yang dimotivasi oleh ruh al-munazzalah akan menerima pancaran nur illahi yang suci yang menerangi ruangan nafasani manusia, meluruskan akal budi dan mengendalikan impuls-impuls rendah.
Wujud ruh munazzalah adalah al-amanah. Fazlur Rahman menyatakan bahwa amanah merupakan inti kodrat manusia yang diberikan sejak awal penciptaan, tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan makhluk-makhluk lain. Amanah adalah titipan atau kepercayaan Allah (taklif) yang dibebankan kepada manusia untuk menjadi hamba dan khalifah di muka bumi. Tugas hamba adalah menyembah dan berbakti kepada penciptanya (QS al-Dzariyat : 56) sebab di alam arwah manusia telah berjanji bahwa Allah adalah Tuhannya (QS. Al-A’raf:172). Sedang tugas khalifah adalah menjadi wakil Allah di muka bumi (QS. Al –Baqarah:30, al-Shad:26), pengganti dan penerus orang-orang yang mendahuluinya (QS al-An’am:165), pewaris-pewaris di bumi (QS. Al-Naml:62). Ruh al-munazzalah perlu pengingat, petunjuk maupun pembimbing. Sedang pengingat yang dimaksud adalah al-quran (QS. Al-baqarah:2) dan sunnah (QS. Al-Hasyr: 7). Apabila aspek inhern ruhani (al-gharizah) lupa akan dirinya, maka ruh ini memberi peringatan. Sedangkan al-gharizah adalah bagian dari ruh manusia yang berhubungan dengan jasad.
3.      Substansi Nafsani
Nafs dalam khazanah islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti jiwa (soul), nyawa, ruh, konasi yang berdaya syahwat dan ghadab, kepribadian, dan substansi psikofisik manusia. Maksud nafs dalam bagian ini adalah sebagaimana dalam pengertian yang terakhir. Pada substansi nafs ini, komponen jasad dan ruh bergabung. Struktur nafsani merupakan struktur psikofisik dari kepribadian manusia, struktur ini diciptakan untuk mengaktualisasikan semua rencana dan perjanjian Allah Swt. Kepada manusia di alam arwah. Aktualisasi itu berwujud tingkah laku atau kepribadian. Struktur nafsani tidak sama dengan struktur jiwa sebagaimana yang dipahami dalam Psikologi Barat. Ia merupakan paduan integral antara struktur jasmani dan struktur rohani. Aktifitas psikis tanpa fisik merupakan sesuatu yang gaib, sedang aktifitas fisik tanpa psikis merupakan mesin atau robot. Kepribadian manusia yang terstruktur dari nafsani bukanlah seperti kepribadin malaikat dan hewan yang diprogram secara deterministik. Ia mampu berubah dan dapat menyusun drama kehidupannya sendiri. Kehidupan seperti itu akan terwujud apabila terjadi interaksi aktif antara aspek fisik dan psikis dari sturuktur nafsani.
Nafs memiliki natur gabungan antara natur jasad dan ruh. Nafs adalah potensi jasadi-ruhani (psikofisik) manusia yang secara inhern telah ada sejak manusia siap menerimanya. Potensi ini terikat dengan hukum yang bersifat jasadi-ruhani. Semua potensi yang terdapat pada nafs bersifat potensial, tetapi dapat teraktualisasi jika manusia mengupayakan. Setiap komponen yang ada memiliki daya-daya laten yang dapat menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Substansi nafs memiliki potensi gharizah. Jika potensi ini dikaitkan dengan substansi jasad dan ruh maka dapat dibagi menjadi tiga bagian : (1) al-qalb yang berhubungan dengan rasa dan emosi, (2) al-aql yang berhubungan dengan cita atau kognisi, dan (3) daya al-nafs yang berhubungan dengan karsa atau konasi. Ketiga potensi tersebut merupakan sub-sistem nafs manusia yang dapat membentuk kepribadian. Untuk memahami masing-masing komponen gharizah ini perlu rincian tersendiri sebagai berikut.
a.       Kalbu
Kalbu (al-qalb) merupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Al-Ghazali secara tegas kelihat kalbu dari dua sifat, yaitu kalbu jasmani dan kalbu ruhani. Kalbu jasmani adalah daging sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dada sebelah kiri. Kalbu ini lazimnya disebut jantung (heart). Sedangkan kalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan ruhani yang berhubungan kalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahi (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathin (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Al-zamakhsary menegaskan bahwa kalbu itu diciptakan oleh Allah SWT. Sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecenderungan meneriman kebenaran dari-Nya. Dari sisi ini kalbu ruhani merupakan bagian esensi dari nafs manusia. Kalbu ini berfungsi sebagai pemandu, pengontrolan, dan pengendali struktur nafs yang lain. Apabila kalbu ini berfungsi secara normal, maka kehidupan manusia menjadi baik dan sesuai dengan fitrah aslinya, sebab kalbu ini memiliki natur ilahiah atau rabbaniah. Natur ilahiah nmerupakan natur supra-kesadaran yang dipancarkan dari Tuhan. Dengan natur ini maka manusia tidak sekadar mengenal lingkungan fisik dan sosialnya, melainkan juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan, dan keagamaan. Oleh karena natur inilah, maka kalbu disebut juga fitrah ilahiah atau fitrah rabbaniah nuraniah.
Ketika mengaktual, potensi kalbu tidak selamanya menjadi tingkah laku yang baik. Baik-buruknya sama tergantung pada pilihan manusia sendiri. Sabda Nabi SAW ; “sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu.” (H.R al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir).
Diskursus mengenai kalbu lebih banyak dibahas oleh para sufi. Bagi para sufi, kalbu adalah sesuatu yang bersifat halus dan rabbani yang mampu mencapai hakikat sesuatu. Kalbu mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) melalui daya cita-rasa (al-zawqiyah). Kalbu akan memperoleh puncak pengetahuan apabila manusia telah mensucikan dirinya dan menghasilkan ilham (bisikan suci dari Allah SWT) dan kasyf (terbukanya dinding yang menhalangi kalbu). Menurut al-Qusyairy, pengetahuan kalbiah jauh lebih luas dari pada pengetahuan aqliyah. Akal tidak mampu memperoleh pengetahuan yang sebenarnya mengenai Tuhan, sedangkan kalbu dapat mengetahui hakikat semua yang ada.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu diciptakan untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan kalbu sangat tergantung pada ma’rifah kepada Allah SWT. Ma’rifah pada Allah SWT sangat tergantung pada perenungan terhadap ciptaan-Nya. Pengetahuan tentang ciptaan Allah SWT hanya dapat diperoleh melalui indera. Dengan uraian ini, maka dapat disimpulkan bahwa indera harus bersumber dari kalbu. Tanpa kalbu, maka indera manusia tidak akan mampu memperoleh daya persepsi, terutama persepsi spiritual. Daya persepsi manusia akan terwujud apabila terjadi interelasi daya-daya kalbiah dengan daya-daya indera.
Kalbu secara psikologis memiliki daya-daya emosi, yang menimbulkan daya rasa. Sementara at-Thabathabai menyebut dalam tafsirnya bahwa fungsi kalbu selain berdaya emosi juga berdaya kognisi. Hal ini menunjukkan bahwa kalbu memiliki dua daya, yaitu daya kognisi dan daya emosi. Daya emosi kalbu lebih banyak diungkap daripada daya kognisinya, sehingga para ahli sering menganggap kalbu sebagai aspek nafsani yang berdaya emosi. Apabila terpaksa menyebut kalbu sebagai daya kognisi, itupun hanya dibatasi pada kognisi yang diperoleh melalui pendekatan cita-rasa bukan pendekatan nalar.
Daya emosi kalbu ada yang positif dan negatif. Emosi positif misalnya cinta, senang, riang, percaya (iman), tulus, dan sebagainya. Sedangkan emosi negatif seperti benci, sedih, ingkar, dan sebagainya. Daya emosi kalbu dapat teraktualisasi melalui rasa intelektual, rasa inderawi, rasa etika, rasa estetika, rasa sosial, rasa ekonomi, rasa religius dan sebagainya. Ma’an Ziyadah lebih lanjut menegaskan kalbu berfungsi sebagai alat untuk menangkap hal-hal yang doktriner, memperoleh hidayah, ketakwaan, dan rahmah, serta mampu memikirkan dan merenungkan sesuatu.
Fungsi kalbu dalam Al-Quran seperti dalam kategori berikut ini : Dari sudut fungsinya, kalbu memiliki (1) fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa ; (2) fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta ; dan (3) fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa. Dari sudut kondisinya. Kalbu memiliki kondisi (1) baik, yaitu kalbu yang hidup, sehat, dan mendapat kebahagiaan ; (2) buruk, yaitu kalbu yang mati dan mendapatkan kesengsaraan, dan (3) antara baik dan buruk, yaitu kalbu yang hidup tetapi berpenyakit (mardh).
b.      Akal
Akal manusia, menurut al-Ghazali dalam bastaman (2005:81), sangat beragam dan dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) akal praktis (al-amilat) dan (2) akal teoritis (al-alimat) berdasarkan tinggi jangkauannya dapat dibedakan atas; akal material (al-aql al-hayulani), akal mungkin (al-aql al-malakat), akal aktual (al-aql bi al-fi`li) dan akal perolehan (al-`aql al-mustafad). Kemampuan ini ada batasnya, yaitu di atas akal ada ilham yang dimensinya lebih tinggi dan mendekati hakikat. Inilah salah satu kelebihan rasio qalbani, yaitu mendapatkan ilham. Setelah tenggelam dalam tasawuf, al-Ghazali kemudian membaginya ke dalam dua bagian, yaitu (1) akal (berfikir dan belajar) dan (2) taklid (mngikuti) kepada nabi.
Dari pemaparan al_ghazali tersebut dapat disimpulkan bahwa akal yang dimaksud dengan berpikir di sini adalah rasio nafsani dan kaklid yang mengikuti nabi sebagai rasio qalbani. Memang dalam rasio qalbani sangat jauh berbeda dengan rasio nafsani; ia tidak menyangkal karena semu yang terekam olehnya adalah kebaikan dan kebenaran, bertumpu pada keyakinan sehingga melahirkan sebuah tindakan taklid, yaitu ikut berdasarkan keyakinan bahwa segala perbuatan yang sesuai dengan tingkah laku nabi adalah benar.
Menurut Ma`an Ziyadat dan Ar-Raghib Al-Ashfahany dalam Mujib dan Mudzakir (2002:52), secara etimologi akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr (menahan), an-nahy (melarang), dan man`u (mencegah). Memang kata akal sendiri tidak ditemukan dalam bentuk kata benda. Perlu tinjauan lain untuk mengetahui pemaknaan sebenarnya tentang akal.  Akal juga bisa disinonimkan dengan otak yang menurut Malinda Jo Levin dalam Mubarok (2002:32) bahwa otak kiri berkerja untuk hal-hal yang bersifat logik, seperti bahasa, berbicara, hitungan matematika dan menulis sedangkan otak kanan berkerja untuk hal-hal yang bersifat emosi, seperti seni, apresiasi, intuisi dan fantasi. Ramachandran dan Marshall dalam Hawari (2002:143) mengatakan bahwa bagian otak depan manusia, terdapat suatu bagian tertentu yang apabila diberikan rangsangan-rangsangan gelombang mikro elektronik, maka orang yang bersangkutan akan merasakan sebuah kekhusukan, kedamaian, rasa dekat kepada tuhan. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa di bagian otak ini ada titik yang menghubungkan dengan jiwa, kalbu dan kemudian kepada tuhannya. Titik ini mereka sebut sebagai god spot.
Al-Ghazali dalam Rizvi (1989:50) mengatakan bahwa: “the human soul is capable of attaining prefection, but to attain it, has to pass through may stages of development, viz, sensuous (mahsusat), imaginative (mutakhayalat), instinctive (muhimas), rational (ma`qulat) and the divine.” (jiwa manusia dapat mencapai kesempurnaan, tapi untuk mencapainya harus melalui banyak tahapan, yaitu pengindraan, imajinasi, insting, rasio, dan bersifat ketuhanan).
Secara sederhana akal dibagi ke dalam empat bagian sebagai berikut.
a.       Akal Hidup
Tak bisa berfikir (miss-opsi), sebab segala informasi yang masuk kedalam akal hidup, terurai dalam satu presepsi akan kebenaran. Oleh karena itu, yang timbul adalah pembenaran dan pengakuan dan kesiapan mengkuti. Dalam terminologi al-Ghazali disebut dengan taklid (ikut tanpa perlu mempertanyakan).
b.      Akal Sehat
Akal yang menunjukkan sesuatu kepada pembuktian dan penuh perhitungan. Kesempurnaan akal jenis ini adalah memberikan suatu statmen atau argumentasi yang kebenarannya diakui oleh umum, berdasarkan data-data dan siap untuk diuji coba akan kebenaran dari teori yang dilahirkannya.
c.       Akal Sakit
Akal yang sakit adalah akaol yang jika dilihat secara fisik, memiliki kaitan dengan gangguan fisik. Seperti orang yang sakit gigi atau demam tinggi akan terasa berat menggunakan akal, dalam hal ini adalah berkonsentrasi atau melaksanakan tugas-tugas kantor. Orang yang akalnya sakit, disebabkan gejala fisik biologis, maka
9
cenderung tidak destruktif (merusak) bahkan ia akan terlihat lemah, baik secara fisik atau psikis. Sedangkan secara rohani adalah sakit pada bagian qalb (hati), penyebabnya adalah dosa, baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak , seperti provokator (hasud), dengki (hasad), unjuk diri (ujub), sombong (takabur), berbangga diri (tafakhur), angkuh (mukhtal), ria, kikir (bakhil), mengumpat (gibah), berbohong (kidzib), mengadu domba (namimah). Pada penderita terlihat sehat walau sebenarnya mereka itu adalah sekelompok orang yang sangat berbahaya. Mereka bisa menghancurkan dan tidak punya rasa belas kasihan dalam neghakimi orang lain disekitarnya.
d.      Akal Mati
Orang yang akalnya telah mati berarti secara fisik memang ada kerusakan di jaringan signal otak yang disebut disfungsi. Penderitanya seperti orang gila yang sering ditemukan di tepi jalan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar