Selasa, 21 Mei 2013

Fatimah Tak Punya Pilihan dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis


Fatimah Tak Punya Pilihan dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung
Karya Mochtar Lubis
Novel Jalan Tak Ada Ujung merupakan novel yang berbeda dari karya sebelumnya, novel ini menceritakan mengenai masa revolusi yang terjadi di Indonesia. Digambarkan bagaimana keadaan fisik dan psikis pada saat itu. Sehingga kita dapat merasakan betapa dahsyatnya tekanan psikis yang selama ini tak tersorot.
Tokoh Fatimah merupakan tokoh yang ambigu, namun keambiguan ini bersifat normal karena dia merupakan korban perang, revolusi dan patriarki (stigma masyarakat). Sebagai korban Fatimah mengalami pergolakan batin karena sebagai istri yang tidak mendapatkan nafkah batin oleh suaminya.


Dari keadaan yang demikian Fatimah tidak banyak bertindak. Bukan dia tidak mau bertindak namun sebagai korban, Fatimah tidak punya pilihan yang menyenangkan semua pilihan sangat beresiko. Beberapa pilihan itu, yaitu pertama, berceria dengan Isa maka resikonya dia menjadi janda. Janda memiliki imej yang lebih negatif dibandingkan duda, misalnya dianggap suka menggoda,genit,dsb. Kedua, pilihan mengadopsi Salim karena ketika istri belum menjadi seorang ibu maka ada pergolakan batin (psikologis) karena stigma masyarakat bahwa ketika pasangan belum mempunyai anak maka yang lebih disalahkan pihak perempuan (istri). Padahal yang sebenarnya Guru Isalah yang tidak bisa memberikan nafkah batin pada Fatimah. Dengan mengadopsi “Salim” sebagai lambang kelemahan Isa sebagai suami dan bapak yang belum bisa memberikan anak pada Fatimah.
“Aku beum pernah bikin satu sukses dalam hidup – tidak dengan menjadi guru – tidak dengan menjadi suami – tidak dengan menggesek biola”.[1]
Ketiga, pilihan berselingkuh dengan Hazil. Dilihat dari psikologi analisis ego Fatimah yang memutuskan lebih memihak pada eat (nafsu/libido).
“Hazil melangkah perlahan-lahan, berdiri di depan Fatimah, menatap mukanya lama-lama, hingga akhirnya Fatimah menundukkan matanya, dan Hazil memeluknya dan berbisik, “Fat!’ dan Fayimah mula-mula mencoba mengelakkannyaa, tidak terlalu yakin dan kuat, berbisik, “Kita berdosa – dosa – berdosa,” tetapi perkataannya hilang ditelan cium Hazil, dan akhirnya dia mengalah, mengalah dan mengalah”.[2]
Dari kutipan di atas, sikap Fatimah yang awalnya menolak dengan berdalih dosa hanya sebatas perkataan dan ketakutan belaka saja. Namun ketika Hazil mulai menggoda dan menciumnya Fatimah tidak menolaknya justru merasa senang.



“Kemudian, beberapa lama kemudian, ketika mereka akhirnya pergi ke dapur menghidupkan api, Fatimah merasa senang. Dia tidak merasa sesuatu penyesalan”.[3]
Sebenarnya keputusan Fatimah untuk berselingkuh dengan Hazil merupakan keputusan untuk menyelamatka tiga tokoh, yaitu Guru Isa, Hazil, dan dirinya sendiri. Artinya bahwa Fatimah mendapatkan kepuasan batin yang tidak didapatkan dari Guru Isa namun melampiaskannya pada Hazil sehingga Fatimah tidak bercerai dengan Guru Isa tanpa berceria dan tidak menelantarkan Salim anaknya. Bagi Guru Isa yang mulai curigaa dengan menemukan pipa Hazil di bawah batal di kamar Fatimah dan Guru Isa membuat sebuah konflik baru dalam dirinya. Inilah yang dialami Guru Isa disebut dengan “represi” yaitu menekan satu konflik dengan konflik lainnya sehingga akan terjadi sebuah pelepasan yang tidak sengaja/menolak dengan tidak sadar. Dan bagi Hazil ini merupakan sebuah tindakan yang membuat dia makin kuat dan percaya diri karena dia mampu menaklukan istri sahabatnya namun inilah sebagai titik balik Hazil merasa bersalah dan mengalami ketakutan yang luar biasa.
“Di ujung kamar Hazil tidur mengerang diburu mimpi-mimpi ketakutannya”.[4]
Tidak punya pilihan yang menyenangkan bagi Fatimah merupakan sesuatu yang sangat menekan batinnya. Pada akhirnya di memilih pilihan berselingkuh dengan Hazil, sebagai seorang yang terpelajar seharusnya dia tidak berselingkuh, seharusnya egonya memutuskan dan lebih berpihak pada superegonya. Pilihannya tersebut memiliki dampak yang negatif yaitu bagi dirinya sendiri yaitu Fatimah merasa bersalah dan berdosa pada Guru Isa, dan dampak positifnya menyelamatkan tiga tokoh tersebut dan merupakan salah satu titik balik mengembalikan kepercayaan diri Guru Isa berdamai dengan ketakutan.
“Dan ketika Guru Isa mendengar derap sepatu datang ke pintu kamar mereka, dia merasa damai dengan rasa takutnya yang timbul. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya lagi. Dia telah bebas”.[5]


[1] Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia), h. 32-33
[2] Ibid., h.118
[3] Ibid., h.118
[4] Ibid., h.164
[5] Ibid., h.165

Tidak ada komentar:

Posting Komentar