Fatimah
Tak Punya Pilihan dalam Novel Jalan Tak
Ada Ujung
Karya
Mochtar Lubis
Novel
Jalan Tak Ada Ujung merupakan novel
yang berbeda dari karya sebelumnya, novel ini menceritakan mengenai masa
revolusi yang terjadi di Indonesia. Digambarkan bagaimana keadaan fisik dan
psikis pada saat itu. Sehingga kita dapat merasakan betapa dahsyatnya tekanan
psikis yang selama ini tak tersorot.
Tokoh
Fatimah merupakan tokoh yang ambigu, namun keambiguan ini bersifat normal
karena dia merupakan korban perang, revolusi dan patriarki (stigma masyarakat).
Sebagai korban Fatimah mengalami pergolakan batin karena sebagai istri yang
tidak mendapatkan nafkah batin oleh suaminya.
Dari
keadaan yang demikian Fatimah tidak banyak bertindak. Bukan dia tidak mau
bertindak namun sebagai korban, Fatimah tidak punya pilihan yang menyenangkan
semua pilihan sangat beresiko. Beberapa pilihan itu, yaitu pertama, berceria
dengan Isa maka resikonya dia menjadi janda. Janda memiliki imej yang lebih
negatif dibandingkan duda, misalnya dianggap suka menggoda,genit,dsb. Kedua,
pilihan mengadopsi Salim karena ketika istri belum menjadi seorang ibu maka ada
pergolakan batin (psikologis) karena stigma masyarakat bahwa ketika pasangan
belum mempunyai anak maka yang lebih disalahkan pihak perempuan (istri). Padahal
yang sebenarnya Guru Isalah yang tidak bisa memberikan nafkah batin pada
Fatimah. Dengan mengadopsi “Salim” sebagai lambang kelemahan Isa sebagai suami
dan bapak yang belum bisa memberikan anak pada Fatimah.
“Aku
beum pernah bikin satu sukses dalam hidup – tidak dengan menjadi guru – tidak
dengan menjadi suami – tidak dengan menggesek biola”.[1]
Ketiga,
pilihan berselingkuh dengan Hazil. Dilihat dari psikologi analisis ego Fatimah
yang memutuskan lebih memihak pada eat (nafsu/libido).
“Hazil
melangkah perlahan-lahan, berdiri di depan Fatimah, menatap mukanya lama-lama,
hingga akhirnya Fatimah menundukkan matanya, dan Hazil memeluknya dan berbisik,
“Fat!’ dan Fayimah mula-mula mencoba mengelakkannyaa, tidak terlalu yakin dan
kuat, berbisik, “Kita berdosa – dosa – berdosa,” tetapi perkataannya hilang
ditelan cium Hazil, dan akhirnya dia mengalah, mengalah dan mengalah”.[2]
Dari
kutipan di atas, sikap Fatimah yang awalnya menolak dengan berdalih dosa hanya
sebatas perkataan dan ketakutan belaka saja. Namun ketika Hazil mulai menggoda
dan menciumnya Fatimah tidak menolaknya justru merasa senang.
“Kemudian,
beberapa lama kemudian, ketika mereka akhirnya pergi ke dapur menghidupkan api,
Fatimah merasa senang. Dia tidak merasa sesuatu penyesalan”.[3]
Sebenarnya
keputusan Fatimah untuk berselingkuh dengan Hazil merupakan keputusan untuk
menyelamatka tiga tokoh, yaitu Guru Isa, Hazil, dan dirinya sendiri. Artinya
bahwa Fatimah mendapatkan kepuasan batin yang tidak didapatkan dari Guru Isa
namun melampiaskannya pada Hazil sehingga Fatimah tidak bercerai dengan Guru
Isa tanpa berceria dan tidak menelantarkan Salim anaknya. Bagi Guru Isa yang
mulai curigaa dengan menemukan pipa Hazil di bawah batal di kamar Fatimah dan
Guru Isa membuat sebuah konflik baru dalam dirinya. Inilah yang dialami Guru
Isa disebut dengan “represi” yaitu menekan satu konflik dengan konflik lainnya
sehingga akan terjadi sebuah pelepasan yang tidak sengaja/menolak dengan tidak
sadar. Dan bagi Hazil ini merupakan sebuah tindakan yang membuat dia makin kuat
dan percaya diri karena dia mampu menaklukan istri sahabatnya namun inilah
sebagai titik balik Hazil merasa bersalah dan mengalami ketakutan yang luar
biasa.
“Di
ujung kamar Hazil tidur mengerang diburu mimpi-mimpi ketakutannya”.[4]
Tidak
punya pilihan yang menyenangkan bagi Fatimah merupakan sesuatu yang sangat
menekan batinnya. Pada akhirnya di memilih pilihan berselingkuh dengan Hazil, sebagai
seorang yang terpelajar seharusnya dia tidak berselingkuh, seharusnya egonya
memutuskan dan lebih berpihak pada superegonya. Pilihannya tersebut memiliki
dampak yang negatif yaitu bagi dirinya sendiri yaitu Fatimah merasa bersalah
dan berdosa pada Guru Isa, dan dampak positifnya menyelamatkan tiga tokoh
tersebut dan merupakan salah satu titik balik mengembalikan kepercayaan diri
Guru Isa berdamai dengan ketakutan.
“Dan
ketika Guru Isa mendengar derap sepatu datang ke pintu kamar mereka, dia merasa
damai dengan rasa takutnya yang timbul. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa
menyentuhnya lagi. Dia telah bebas”.[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar