Selasa, 27 November 2018

Saya Kecewa.......



Pagi ini indah seindah diriku yang kemarin mendapatkan kejutan yang indah. Yah.....  itu sih kemarin, hari ini mungkin berbeda. Dan hal tersebut terbutik degan mendengar nama dipanggil tak terpesit prasangka buruk namun makin ke sini saya tak diberikan kesempatan untuk berbicara.
Ini bukan sebuah yang diharapkan dan dibayangkan tapi setiap kata ditelaah ternyata ini PERINGATAN.

Saya akui saya memang salah dan saya hanya ingin mengatakan terimakasih atas kritikan bahwa saya tidak berhati-hati dalam berbicara.

Saya memang tidak berhati-hati dalam memberikan pertanyaan tentang kegelisahan saya kepada seorang pakar pendidikan dalam seminar yang diadakan. Kegelisahan saya mengenai motivasi belajar dan tidak adanya kopetisi dalam sekolah menjadikan hal yang sangat dan perlu diperhatikan dan saya meminta solusi untuk hal tersebut?

Pertanyaan tersebut ditanggapi dengan guyonan pembicara, jika Ibu mengharap semua anak sukses, Ibu salah. Ada satu anak yang sukses saja sudah bagus. Guru bukanlah Nabi yang bisa mengatasi semua masalah. Kalau memang, Ibu hanya dibayar biasa saja yah bekerjalah dengan biasa saja. Jika Ibu dibayar secara profesional maka bekerjalah secara profesional begitupula sebaliknya. Karena sesungguhnya mengidamkan guru yang ideal dimulai dari memberikan kesejahteraan. Dengan sejahtera guru tidak akan memikirkan hal lain selain mengajar, dengan sejahtera guru tidak akan melakukan pekerjaan sampingan, dan dengan sejahtera guru akan maksimal dan profesional dalam bekerja.

Kegelisahan saya kedua dalam menanggapi seminar Prof. Arif Rahman Hakim yang saya menyatakan persetujuan bahwa memang sekolah masuk dalam gedung SMA saya sama dengan beliau bahwa “tidak merasakan nasionalisme”. Kalau dari sudut pandang beliau adalah tidak ada tulisan dalam setiap sudu sekolah yang menunjukkan nasionalisme. Kalau mnurut sudut pandang saya adalah tidak ada tulisan dalam bahasa Inonesia dari tulisan namnya sekolah nya saja tidak Inonesia yah walaupun menggunakan kurikulum nasional.
Hal tersebut menjadi sorotan keras juga pihak sekolah kepada saya. Hal tersebut ditanggapi dengan pengibaratan “permen yang telah dimakan” apakah bisa dijual. Rasanya ingin saya tanggapi apa menariknya suatu makanan yang bisa habis lebih baik habiskan dan buat inovasi yang lebih baru. Ada baiknya mengibaratkan dengan barang yang sesuai atau tanpa pengibaratan bahwa kita bisa maju dengan perubahan.

Saya tahu perubahan tersebut memanglah tidak mudah, harus bersama. Tapi jikalau terus mengiuti yang ada dan tidak ada agn perubahan mau jadi apa ladang pendidikan ini? Tak bosankah melihat dan mendidik dengan seperti ini? Sudah cukupkah kita hanya di zona nyaman kita tanpa melakukan sesuatu tanpa perubahan? Perubahan dinilai kotroversial, jika memang berubah lebih baik untuk mengatasi masalah satu per satu apakah salah?


Saya hanya mengira dari hari tersebut kita bisa sama-sama saling memperbaiki dan mengoreksi segalanya. Namun ternyata, saya dinilai memberikan pertanyaan yang membuka aib, saya dinilai tidak profesional. Jika saya membuka aib apa untungnya untuk saya, jika saya tidak profesional saya tidak akan masuk 3 hari ini karena upah saya pun tidak diberikan sesuai dengan tanggal kontrak.
Yap...... saya kecewa, cukuplah sabar dan lagi-lagi santai serta cuek menjalani hari-hari ini. Akankah terus ku begini? Kita lihat saja kelanjutannya.


Pertayaan terbesar dalam diri saya sendiri saya adalah “Apakah iya, peraturan kita dapat dibeli dengan uang?”


Mohon maaf jika banyak pihak yang tak berkenan dengan kata-kata saya. Saya mohon maaf lahir batin tetapi ini suara kekecewaan saya dan saya berhak untuk menyuarakan jika tidak secara langsung maka lewat blog ini saya meulis.
Semoga dapat mengambil hikmah dan pelajaran bagi kita semua. Amin

Kamis, 22 November 2018

Teruntuk Pendidik yang Mengalami Kegelisahan



Menjadi pendidik tidaklah mudah. Saya mengalami, saya menjalani, dan saya merasakan.

Bukan hanya saya yang gelisah namun banyak yang gelisah. Semua dihaturkan kepada Sang pencipta agar selalu mendapat petunjuk dan bimbingannya.

Dan ternyata siswa juga banyak yang bimbang mengenai masa depan kita, aturan kita, kebebasan shalat. Banyaknya demokratis menuntut kita untuk tersus berfikir logis. Berfikir logis merupakan hal yang sangat rawan antara kebenaran dan kebatilan. Menjadi satu merupakan hal yang bagus, menjadi sama bukan hal yang diharapkan kembali di zaman ini.

Salah satu contoh adalah, menjelang siang ini saya mengajar di salah satu kelas XII mereka tengah berdebat adanya pendidikan dan agama. Mereka berfikir bahwa aturan-aturan yang sangat mendoktrin membuat mereka tidak maju, seperti kita selalu menerima aturan agama dan hal terseut dianggap menghalangi pikiran kita.

Saya menanggapinya hanya tersenyum tanpa memisahkan mereka sampai mereka capek dan puas sendiri. Akhirnya mereka pun mereda dan melemparkan pertanyaan mengenai hal yang diperdebatkan. Saya memeberikan masukkan bahwa kita memang bisa dan bebas berpendapat tapi ada baiknya kita berpendapat yang sesuai dan dengan aturan diskusi dan debat yang akan kita pelajari di pelajaran Bahasa Indonesia.

Akhirnya dengan penengahan tersebut menjadi redahlah permasalahan tersebut. Perdebatan selanjutnya adalah mengenai bagaimana pendidikan berlangsung apakah harus dinilai prosesnya atau hasilnya. Satu sisi saya sangat senang melihat mereka bisa berpikir sampai sejauh itu tetapi di sisi lain ada kesedihan bahwa gak bisa menjelaskan seutuhnya kepada mereka karena memang permasalahan dan materi tersebut diajarkan pada tingkat perkuliahan namun sesingkat dan seaplikatif mungkin saya jelaskan pada pengaplikasian proses dan hasil tersebut pada kurukulum 2013.

Beberapa kasus tersebut hanya kasus kecil dari seberapa banyak kasus yang ada. Pemikiran mereka yang kritis dan logis seharusnya ada yang menuntun memberikan mereka pencerahan, yah... kembali lagi bahwa guru lah yang harus memiliki dan mengambil peran tersebut.

Maaf yah kalau dari postingan ini pendidik hanya bisa mengkritisi fakta yag ada di lapangan terus pertanyaan nya adalah. Apa sih yang sudah kamu lakukan Lan? Okeeee...... ada beberapa yang telah ku lakukan dalam beradaptasi di sini.

1. Jadilah penyimak yang baik.
Mungkin dari sekian banyak guru hanya saya yang paling banyak diam. Bukanku kalem namun ada baiknya pada awal adaptasi adalah dengan penyimak yang baik. Dengan menjadi penyimak yang baik kita dapat berteman dengan siapa saja tidak hanya pada satu orang dan merasa bisa mengetahui sifat teman kerja, atasan, dan sistem yang ada.

2. Banyak bertanya
Selain jadi penyimak baik, haruslah menjadi orang yang banyak bertanya karena banyak hal yang tidak diberi tahu mengenai perizinan, sistem pelanggaran, peraturan guru, seragam penyesuaian, dan lain sebagainya. Jadi, ada lebih baik banyak bertanya dengan senior dan wakil kepala sekolah. Dengan begitu kita tidak akan ketinggalan informasi dan melakukan kesalahan sebelum ditegur karena saya pernah sekali ditegur karena memakai sendal ke lorong kelas karena keperluan memanggil guru di ruang guru atas. Hehehehe

3. Kenali karakter siswa per kelas
Setiap kelas memiliki karakter yang berbeda-beda, berteman kelompok yang berbeda, latar belakang, dan cara belajar yang berbeda pula. Perbedaan tersebut juga sangat mempengaruhi dengan metode mengajar yang digunakan begitupula dengan penerimaan materi tiap kelas juga berbeda juga. Misalnya, metode diskusi pada kelas IPA dapat berjalan dan berbanding terbalik dengan kelas lain yang ternyata metode tersebut tidak berjalan sesuai rencana.

4. Pendekatan pada siswa paling aktif
Pendekatan pertama saya lakukan pada geng kelas XII yang sampai sekarang belum berhasil saya dekati melalui karya sastra kesukaannya mencoba memecah persahabatannya tetapi saya masih perlu ekstra pendekatan agar kelas bisa kondusif. Dikelas XI yang saya lakukan adalah menggandeng salah satu murid dan saya jadikan asisten dan hal tersebut berangsur-angsur dapat meredakan kelas yang tidak kondusif dan membuat dia mau untuk belajar.

5. Hilangkan Idealisme, tebar senyuman, tetap sabar, dan santai
Dengan tersenyum kita bisa meredakan segala macam masalah yang ada. Dengan sabar kita bisa menghadapi masalah sebayak dan serumit apapun, dan dengan santai kita bisa terus menjalani pekerjaan di sini. Hehehehe....
Keempat hal tersebut yang sangat penting harus dilatih dan dimiliki sebagai pendidik yang memiliki permasalahan yang sama dengan saya. Menjadi tidak santai membuat hati hanya kesal dan baper. Hanya membuang-buang energi ketika harus marah-marah menghadapi hal yang harus sesuai dengan idealis kita.
Mulalilah dari sekarang untuk bisa santai menikmati hidup, pekerjaa, dan rutinitas yang kalian miliki. Simpan energimu untuk bermain dengan anak dibandingkan marah-marah. Dan senyum meunjukkan bahwa kita legowo dan bisa terus terlihat muda. Hahahaha


Semangat mengajar wahai para pendidik bangsa dan tunas muda pemimpin masa depan.





Rabu, 21 November 2018

Kegelisahan Pendidikan Islam Plus



Ini berawal dari aku menginjakkan kaki hari pertama mengabdikan diri sebagai pendidik. Yah... menjadi pendidik di salah satu sekolah swasta Islam yang mengusung kurikulum nasional plus dengan tambahan agama islam, tahfidz, dan shalat berjamaah zuhur serta ashar. Visi misi berkarakter Islam pun selalu terpampang dalam ikrarnya.

25 Oktober 2018 merupakan hari pertamaku yang akan mengenal generasi yang akan memimpin bangsa ini 10-20 tahun yang akan datang. Perkenalan dan segala macam semuanya berjalan lancar di hari pertama.

26 Oktober 2018 hari keduaku, semangat dan idealisku sebagai pendidik masih membara hingga pada suatu ketika sifat dan tingkah laku anak-anak yang satu kelas tidak mencapai 20 orang bagaikan 50 orang, yang seharusya hormat kepada seorang guru menjadi berani unuk keluar tanpa izin dan melanggar semua aturan yang telah ku perbuat. Dari kejadian itu pun aku merasa ‘syok’ dengan kenyataan yang dihadapi.

Minggu selanjutnya aku mencoba mengubah strategi belajarku, metode mengajar, dan gaya mengajar dengan idealisme yang hanya mengurang 10% namun ternyata aku salah menilai ini semua. Adaptasi ini sungguh membuatku kerepotan...... yang akhirnya aku berkonsultasi dengan berbagai teman-teman satu profesi yang lebih dulu berpengalaman mengajar. Kesimpulannya adalah hilangkan idealisme, dekati secara individu perlahan dan SABAR.

Akhirnya aku menyimpulkan ada beberapa masalah yang menjadi hal yang perlu dikoreksi dan dibenahi bersama bukan hanya diriku yang tak punya power (pendidik baru) namun semua aspek terutama pihak sekolah seharusnya dapat membenahi ini semua karena ini adalah ‘penyakit sangat berbahaya’ infeksinya halus namun dampaknya sangaaattttlah besar bagi penerus bangsa.

1. Ketegasan Peraturan Sekolah

Ini adalah yang paling utama dimulai dari datang sekolah, berpakaian seragam lengkap, membawa gawai, dan komputer jinjing. Terlihat memang sepele namun ini sangatttlah berpengaruh bagi keberlangsungan KBM. Peraturan HP memanglah dikumpulkan ketika anak sebelum berkegiatan KBM dengan wali kelas, namun hal terseut sangat tidak efektif banyak alasan gawai tertinggal di mobil, ada keperluan dengan gawai, dan sampai berbohong tidak membawa gawai ternyata membawa gawai. Begitupula dengan komputer jinjing seharusnya ada batas di mana digunakan laptop dan tidak. Seharusnya bukan hanya gawai yang dibatasi tetapi seharusnya laptop juga diberlakukan hal yang sama karena laptop juga memiliki fasilitas wifi dari sekolah. Jadi, apa bedanya mengumpulkan gawai tapi tetap dengan laptop? Ketika dilarang banyak alasan ketika laptop diambil melapor?????

Ada beberapa pendidik lain yang menyatakan bahwa kita di sini sistemnya tarik ulur aja Miss..... Menurutku, sikap kita yang tarik ulur itulah yang membuat peraturan menjadi tarik ulur juga sehingga siswa tidak ada rasa hormat dan takut dalam peraturan yang ada di sekolah. Inikah sistem sekolah?

Hal tersebut terbukti ketika beberapa kali saya mendengar dari beberapa guru dan saya juga melakukan ancaman pengurangan nilai, tidak diabsen, ditdai, melaporkan ke BK atau wali kelas menjadi tidak mempan. Entah memang sudah karakternya atau hanya saya yang tidak tegas?


2. Motivasi Belajar

Redahnya motivasi belajar menjadi momok yang sangat mengerikan. Ketika masuk kelas pemandangan kursi dan meja berantakan, siswa hanya 5-8 orang (entah yang lain kemana) dan pada kesempatan saya mau mencari mereka teryata berkumpul dengan adik dan kakak kelas mengobrol dan main gitar. Yah.............. ini sangat mirisss. Suatu ketika saya menanyakan alasan tidak mau belajar? Jawabnya, capek Miss, free time donk Miss, laper Miss, males Miss, ngantuk Miss. Banyak alasan itu merupakan pengalihan karena mereka tidak ada motivasi dan semangat dalam belajar. Setelah saya survei dan observasi kurangnya kompetisi antar siswa dan cita-cita masa depan bukan menjadi hal yang penting. Yang penting hanya memikirkan kesenangan, tertawa, perut kenyang, dan punya temen (geng).

Yap.... memang benar kalau mereka seslalu berkecukupan, dengan latar belakang berbeda-beda, dan memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Namun apakah itu cukup untuk masa depan dan bersikap tidak menghormati pada peraturan dan pendidik? Lalu di manakah nilai agama yang diajarkan dan nama Islam yang ada? Banyak pertanyaan yang seharusnya dijawab atau mungkin pertanyaan ini hanya bisa disimpan dan sampai kapan akan berubah. Atau memang sudah begini dan harus begini dan diriku hanya jadi pegikut yang tarik ulur?


3. Dukungan Orang Tua

Banyak orang tua yang sangat perhatian dengan anak-anaknya namun terkadang perhatiannya tersebut menjadi kecamuk tersendiri bagi pihak sekolah terkait meminta kelonggaran peraturan, tidak terima diberikan hukuman, dan sebagainya. Namun, hal positifnya adalah banyak orang tua juga yang mengomentari berbagai kegiatan sekolah dan memberikan masukkan kepada pihak sekolah.

Dukungan orang tua sangat penting namun lebih penting adalah orang tua yag seharusnya mendukung dalam hal-hal yang mendidik dan menyerahkan sepenuhnya siswa kepada guru dan peraturan sekolah. Karena dengan mendaftarkan anak ke sekolah berarti dengan begitu orang tua dan siswa setuju dengan peraturan yang berlaku di sekolah. Bukan masalah sudah membayar mahal tetapi malah kena hukuman, bayaran adalah kewajiban dan seharusnya tidak dijadikan alasan dalam kelonggaran mematuhi peraturan.


Masalah tersebut adalah sudut pandang dari diriku yang mengalami kegelisahan dalam pendidikan. Memangkah siswa lelah dengan tuntutan segala ilmu yang barat (native, berbahasa asing) dan mengharuskan menghafal, taat, dan patuh pada agama. Haruskah kita ke barat atau ke timur? Bersikap dengan ke barat dan justru ilmunya tak ada. Taat dengan timur namun tidak bisa mengikuti pendidikannya. Dukh..........pikiranku makin jauh..... hehehehe.....

Kalau memang ada teman-teman yang mengalami hal yang sama denganku dan punya solusi, bisa deh di share di kolom komentar...... biar bisa saling berbagi dan share.