Rabu, 27 Januari 2016

ARTIKEL PEMIKIRAN LINGUISTIK UNTUK PENELITIAN DAN PENDIDIKAN



Wulandari Nur Fajriyah
wulandarinf@gmail.com

Abstrak
Perkembangan ilmu linguistik dalam bidang pendidikan bahasa sampai saat ini mengalami kemajuan karena semakin banyak penelitian di bidang linguistik. Diperkuat dengan banyaknya jurnal penelitian di bidang linguistik yang telah diterbitkan. Yang membuat saya tertarik adalah penelitian ilmu linguistik yang memiilki persentase paling besar adalah dalam bidang struktur sebanyak 67,65%, berbanding jauh dengan bidang linguistik lainnya. Sangat disayangkan penelitian ilmu linguistik tidak berkembang secara seimbang sehingga pendidikan bahasa selama ini hanya fokus pada struktur. Siswa hanya dapat memahami struktur bahasa Indonesia tanpa diajarkan aspek fungsional bahasa. Harapan saya, penelitian ilmu linguistik dalam setiap bidang dapat berkembang dengan seimbang agar hasil peneitiannya bisa memberikan kontribusi yang signifikan dalam pendidikan bahasa sehingga ilmu linguistik memiliki daya tarik yang sama dengan ilmu pengetahuan yang lain. Untuk kedepannya akan banyak orang yang tertarik pada linguistik, sumber-sumber penelitian baik yang belum diterbitkan ataupun yang sudah diterbitkan secara bersama-sama dapat menjadi rujukan untuk dipelajari kembali sehingga dapat menciptakan penelitian-peneitian yang lebih baru dan mungkin bisa mencangkup masalah-masalah linguistik pada masa kini. Dengan demikian, ilmu linguistik dapat berkembang dan diminati sepanjang zaman.
Kata Kunci: Linguistik, Penelitian, Pengajaran Bahasa.

Pendahuluan
Linguistik dikenal dengan ilmu bahasa yang berisi sebuah konsep berupa nama. Pembahasan mengenai bahasa sudah dilakukan sejak abad ke-5 SM oleh orang-orang Yunani (seperti Cratylus dan Plato), sekarang yang kita kenal dengan “tata bahasa tradisional’ merupakan bidang kajian dalam ‘filsafat’ pada zaman tersebut.  Pandangan terhadap bahasa memunculkan dua kelompok berbeda, kelompok naturalis dan kelompok konvensionalis. Kelompok naturalis didasari oleh sudut pandang filosofi-logis, mengkaitkan bahasa dengan filsafat; gramatika merupakan bagian dari logika. Kelompok kovensionalis  didasari oleh sudut pandang deskriptif-etnografis, mengkaitkan bahasa dengan bidang antropologi; gramatika merupakan bagian dari budaya. Perbedaan pandangan tersebut terletak pada bentuk oposisi antara bahasa sebagai kaidah dan bahasa sebagai sumber. Namun keduanya memiliki perhatian yang besar pada aspek sistem; pengungkapan sifat mendasar dari bahasa (I Gusti Made Sutjaja, 1999: 59). Perkembangan selanjutya bahasa berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan yang sekarang kita kenal sebagai linguistik.
Linguistik sebagai ilmu memiliki tugas untuk mengkaji dan meneliti  secara ilmiah terkait dengan bahasa/ bahasa sebagai objeknya. Sumber dalam menganalisis bahasa adalah rasio dan pengalaman lewat pencaindera (Jos Daniel Parera:1991: 7).  Dari pengalaman manusia kemudian dipahami dengan rasio itulah sumber data penelitian linguistik. Penelitian lingistik awal memusatkan perhatian pada segi struktur fisik/ hanya yang tampak saja, seperti fonologi (mempelajari ilmu bunyi), morfologi (ilmu tata bentuk), dan sintaksis (mengatur kata menjadi frasa, klausa, dan kalimat), kajian ini disebut dengan linguistik struktural. Dalam sejarah studi bahasa bidang sematik tidak atau kurang mendapat perhatian dalam linguistik strukturalis karena makna yang menjadi objek kajian semantik. Baru pada akhir abad ke-19 sarjana Perancis Micheal Breal menulis  esai yang berjudul Essai De Semantique  menjelaskan bahwa semantik adalah ilmu yang murni historis ( Abdul Chaer, 2009: 13).

Pembahasan
Sebagai ilmu empiris linguistik berusaha mencari keteraturan kaidah-kaidah yang hakiki dari bahasa yang ditelitinya ( Abdul Chaer, 2007: 10). Pernyataan tersebut menekankan bahwa tugas linguistik hanya mempelajari kaidah-kaidah yang seharusnya sesuai dengan tata bahasa. Dalam kurun watu sekitar seperempat abad mengenai kajian linguistik di Indonesia, bahwa minat para linguis Indonesia masih terpusat pada tataran sitaksis dan dengan pedekatan struktural (Wahab, 1999: 11-14). Pengkajian tersebut berkutat hanya dari struktur fisik bahasa dengan data bahasa yang diteliti cenderung itu-itu saja, yaitu bahasa-bahasa di pulau Sumatera dan Jawa dan kurang memakai data bahasa-bahasa Indonesia bagian Timur. Penelitian linguistik hanya befokus pada satu hal yang melupakan unsur lain, pendekatan struktur merupakan pengetahuan dasar dan sebaiknya ditambah dengan berbagai sudut pandang baru dari berbagai disiplin ilmu sehingga dapat kita menginterpretasikan bahasa dengan lebih untuh. Kita seharusnya mempertanyakan mengenai bagaimanakah aspek di luar bahasa seperti segi fungsional bahasa dalam pemakaian bahasa sehari-hari, dalam wacana, dan lain sebagainya.
Penulusuran yang dilakukan oleh Lauder (1995:10-15) dengan mengikuti pembagian kelompok kegiatan yang dirancang oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Berdasarkan jenis penelitian, gambarannya adalah sebagai berikut: penelitian Struktur Bahasa 67,65%; Sosiolinguistik 3,67%; Dialektologi 9,12%; Sastra 16,46%; dan Pengajaran 3,10%. Data ini memperlihatkan bahwa kegiatan penelitian struktur bahasa menempati urutan pertama petama (67,65%). Catatannya ialah bahwa penelitian yang berfokus pada fonetik dan fonemik jumlahnya minim, sedangkan penelitian yang berfokus pada variasi bahasa, yaitu penelitian sosiolinguistik dan dialektologi, ternyata masih kecil jumlahnya (12,79%) jika dibandingkan dengan penelitian struktur bahasa ( Multaia RMT Lauder, 2002: 175). Ketika kita mendalami sesuatu haruslah secara meluas begitupula dalam mendalami ilmu bahasa harus meluas tidak hanya pada bentuk fisiknya saja, kita harus mendalami pengaruh dari dalam dan luar. Jangan menggunakan “kacamata kuda” yang hanya melihat lurus ke depan. Seperti juga dalam pendidikan, bahwa ketika mengajar harus memperhatiakan hal-hal lain bukan hanya fokus pada strategi saja tapi harus pada hal-hal lain untuk mendukung pembelajaran.
Perbedaan antara dua kubu di awal pembahasan memberikan warna dalam penelitian dan pendidikan bahasa. Linguistik untuk pendidikan berkaitan dengan kegiatan belajar dan mengajar bahasa. Pendidikan bahasa Indonesia diajarkan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, karena bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua setelah bahasa ibu. Perkembangan pengajaran bahasa Indonesia ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: a) buku rujukkan, ada dua buku rujukkan awal yang dipakai hampir semua guru bahasa Indonesia, yang diisusun oleh Alisjahbana (1981) dan Keraf (1934), Keraf menulis tentang tata bahasa untuk membarui warna “tradisional” pada buku tata bahasa sebelumnya, dengan memasukkan warna “transformasional” tetapi yang diolah secara bebas; b) kurikulum, pada kurikulum 1975 bahasa diajarkan dengan pokok-pokok bahasan, yaitu: membaca, mengarang, mendengarkan, wicara, dan sastra. Kemudian pada kurikulum 1984 bahasa diajarkan dengan pokok-pokok bahasan, yaitu: membaca, kosakata, struktur, mengarang, pragmatik, dan apresiasi sastra. Pada kurikulum 1994 bahasa diajarkan dengan tiga komponen yang digunakan, yaitu: kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan; c) Buku Teks, perkembangan buku teks di sekolah dasar dan menengah dapat dipilah atas dua: masa sebelum ada ‘buku paket” dan masa “buku paket”. Pada masa sebelum buku paket, bahasa Indonesia tercermin dari teks bacaan pada buku yang terasa tebal warna melayunya. Pada masa buku paket, bahasa Indonesia muai banyak dirasuki unsur Jawa dan bahasa daerah lainnya. Begitupula pada penulis buku teks tersebut, sebelum buku paket hampir semua berlatar belakang bahasa di Sumatera; d) Guru, pada tahun 50-60an pendidikan guru seperti SGB dan SGA dapat menarik siswa lulisan terbaik, tetapi pada tahun 70-an ke atas (sesudah ada jenjang FKIP dan IKIP) tidak lagi lulusan terbaik yang tertarik masuk pendidikan guru (Bambang Kaswanti Purwo, 2002: 193-200).
Pengaplikasian kurikulum pada pembelajaran bahasa Indonesia di bawah KTSP secara kasar, dapat dikatakan bahwa pengajar bahasa Indonesia lebih tampil sebagai “penceramah”, “pemberi informasi”, “pengoreksian kesalahan” (Bambang Kaswanti Purwo, 1999: 193-230).   Siswa hanya diajarkan bagaimana penggunaan bahasa yang sesuai dengan ejaan yang berlaku, pemahaman dengan struktur kalimat, pembentukan kata dari mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Padahal yang paling penting dalam pengajaran bahasa adalah bagaimana siswa dapat memproduksi kalimat dan wacana yang koherensi, analogi, dan dapat dipahami oleh pembaca, bagaimana berbahasa yang baik dan benar, hal tersebut belum dapat diwujudkan karena pembelajaran bahasa hanya fokus pada struktur saja tanpa melihat unsur lain. Siswa kesulitan untuk membuat paragraf yang koherensi, kebinggungan berbahasa yang benar. Dalam pendidikan ketika mengajar harus memperhatikan hal-hal lain bukan hanya fokus pada strategi saja atau metode saja tetapi harus memperhatikan hal-hal lain untuk mendukung pembelajaran, seperti: psikologi siswa, silabus pembelajaran, evaluasi, dan sebagainya.
Kurikulum 2013 dalam mata pelajaran bahasa Indonesia mengalami perubahan mendasar dari kurikulum sebelumnya, yaitu pembelajaran bahasa yang berbasis teks. Tahapan dalam pembelajarannya, diawali dengan membangun konteks, kegiatan pemodelan, membangun teks secara bersama-sama, dan membangun teks secara mandiri. Guru diharapkan hanya menjadi “fasilitator” begitupula pada KTSP. (Agusrida, 2014: 3-4). Kita sudah sering mengucapkan dan mendengar frasa berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Sekarang ini diperlukan perhatian yang lebih jauh lebih banyak pada pemakaian bahasa Indonesia yang ‘baik dan benar’ melalui usaha pengajaran bentuk bahasa yang benar sesuai dengan struktur bahasa Indonesia dan kita perlu melakukan kegiatan berbahasa/pemakain bahasa yang baik sesuai dengan situasi dan konteks pengguna, baik dalam ragam tulisan maupun dalam ragam lisan. Pengajaran bahasa secara struktural seharusnya diimbangi juga secara kontekstual menjadikan siswa dapat berbahasa yang baik dan benar. (P.W.J. Nababan, 1996: 291-293). 

Simpulan
Linguistik sebagai ilmu pengetahuan memiliki tugas untuk melakukan pengkajian dan penelitian ilmiah terhadap bahasa. Hasil penelitian bahasa berkontribusi besar terhadap pendidikan terutama pengajaran bahasa. Sayangnya, penelitian bahasa yang selama ini telah hanya fokus pada struktur begitupula pengajaran bahasa yang diterapkan selama ini  hanya fokus pada struktur. Siswa hanya diajarkan bagaimana berbahasa Indonesia yang baik tanpa diajarkan bagaimana berbahasa Indonesia yang benar. Seharusnya penelitian bahasa dapat berkembang secara seimbang antara struktur fisik dan fungsionalnya, keselarasan tersebut akan mewujudkan pembelajaran bahasa Indonesia yang tidak hanya baik tetapi juga benar.

Artikel pemikiran ini diajukan untuk tugas akhir mata kuliah Linguistik Umum di Sekolah Pascasarjana UNJ 2015/2016.

2 komentar: