Wulandari Nur Fajriyah
wulandarinf@gmail.com
Abstrak
Perkembangan
ilmu linguistik dalam bidang pendidikan bahasa sampai saat ini mengalami
kemajuan karena semakin banyak penelitian di bidang linguistik. Diperkuat dengan
banyaknya jurnal penelitian di bidang linguistik yang telah diterbitkan. Yang
membuat saya tertarik adalah penelitian ilmu linguistik yang memiilki persentase
paling besar adalah dalam bidang struktur sebanyak 67,65%, berbanding jauh
dengan bidang linguistik lainnya. Sangat disayangkan penelitian ilmu linguistik
tidak berkembang secara seimbang sehingga pendidikan bahasa selama ini hanya
fokus pada struktur. Siswa hanya dapat memahami struktur bahasa Indonesia tanpa
diajarkan aspek fungsional bahasa. Harapan saya, penelitian ilmu linguistik
dalam setiap bidang dapat berkembang dengan seimbang agar hasil peneitiannya bisa
memberikan kontribusi yang signifikan dalam pendidikan bahasa sehingga ilmu
linguistik memiliki daya tarik yang sama dengan ilmu pengetahuan yang lain.
Untuk kedepannya akan banyak orang yang tertarik pada linguistik, sumber-sumber
penelitian baik yang belum diterbitkan ataupun yang sudah diterbitkan secara
bersama-sama dapat menjadi rujukan untuk dipelajari kembali sehingga dapat
menciptakan penelitian-peneitian yang lebih baru dan mungkin bisa mencangkup
masalah-masalah linguistik pada masa kini. Dengan demikian, ilmu linguistik
dapat berkembang dan diminati sepanjang zaman.
Kata Kunci: Linguistik, Penelitian,
Pengajaran Bahasa.
Pendahuluan
Linguistik
dikenal dengan ilmu bahasa yang berisi sebuah konsep berupa nama. Pembahasan
mengenai bahasa sudah dilakukan sejak abad ke-5 SM oleh orang-orang Yunani (seperti
Cratylus dan Plato), sekarang yang kita kenal dengan “tata bahasa tradisional’
merupakan bidang kajian dalam ‘filsafat’ pada zaman tersebut. Pandangan terhadap bahasa memunculkan dua
kelompok berbeda, kelompok naturalis dan kelompok konvensionalis. Kelompok
naturalis didasari oleh sudut pandang filosofi-logis, mengkaitkan bahasa dengan
filsafat; gramatika merupakan bagian dari logika. Kelompok kovensionalis didasari oleh sudut pandang
deskriptif-etnografis, mengkaitkan bahasa dengan bidang antropologi; gramatika
merupakan bagian dari budaya. Perbedaan pandangan tersebut terletak pada bentuk
oposisi antara bahasa sebagai kaidah dan bahasa sebagai sumber. Namun keduanya
memiliki perhatian yang besar pada aspek sistem; pengungkapan sifat mendasar
dari bahasa (I Gusti Made Sutjaja, 1999: 59). Perkembangan selanjutya bahasa
berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan yang sekarang kita kenal sebagai
linguistik.
Linguistik
sebagai ilmu memiliki tugas untuk mengkaji dan meneliti secara ilmiah terkait dengan bahasa/ bahasa
sebagai objeknya. Sumber dalam menganalisis bahasa adalah rasio dan pengalaman
lewat pencaindera (Jos Daniel Parera:1991: 7). Dari pengalaman manusia kemudian dipahami
dengan rasio itulah sumber data penelitian linguistik. Penelitian lingistik awal
memusatkan perhatian pada segi struktur fisik/ hanya yang tampak saja, seperti
fonologi (mempelajari ilmu bunyi), morfologi (ilmu tata bentuk), dan sintaksis
(mengatur kata menjadi frasa, klausa, dan kalimat), kajian ini disebut dengan
linguistik struktural. Dalam sejarah studi bahasa bidang sematik tidak atau
kurang mendapat perhatian dalam linguistik strukturalis karena makna yang
menjadi objek kajian semantik. Baru pada akhir abad ke-19 sarjana Perancis Micheal
Breal menulis esai yang berjudul Essai De Semantique menjelaskan bahwa semantik adalah ilmu yang
murni historis ( Abdul Chaer, 2009: 13).
Pembahasan
Sebagai
ilmu empiris linguistik berusaha mencari keteraturan kaidah-kaidah yang hakiki
dari bahasa yang ditelitinya ( Abdul Chaer, 2007: 10). Pernyataan tersebut menekankan
bahwa tugas linguistik hanya mempelajari kaidah-kaidah yang seharusnya sesuai
dengan tata bahasa. Dalam kurun watu sekitar seperempat abad mengenai kajian
linguistik di Indonesia, bahwa minat para linguis Indonesia masih terpusat pada
tataran sitaksis dan dengan pedekatan struktural (Wahab, 1999: 11-14). Pengkajian
tersebut berkutat hanya dari struktur fisik bahasa dengan data bahasa yang
diteliti cenderung itu-itu saja, yaitu bahasa-bahasa di pulau Sumatera dan Jawa
dan kurang memakai data bahasa-bahasa Indonesia bagian Timur. Penelitian
linguistik hanya befokus pada satu hal yang melupakan unsur lain, pendekatan
struktur merupakan pengetahuan dasar dan sebaiknya ditambah dengan berbagai
sudut pandang baru dari berbagai disiplin ilmu sehingga dapat kita
menginterpretasikan bahasa dengan lebih untuh. Kita seharusnya mempertanyakan
mengenai bagaimanakah aspek di luar bahasa seperti segi fungsional bahasa dalam
pemakaian bahasa sehari-hari, dalam wacana, dan lain sebagainya.
Penulusuran
yang dilakukan oleh Lauder (1995:10-15) dengan mengikuti pembagian kelompok
kegiatan yang dirancang oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Berdasarkan jenis penelitian, gambarannya adalah sebagai berikut: penelitian
Struktur Bahasa 67,65%; Sosiolinguistik 3,67%; Dialektologi 9,12%; Sastra
16,46%; dan Pengajaran 3,10%. Data ini memperlihatkan bahwa kegiatan penelitian
struktur bahasa menempati urutan pertama petama (67,65%). Catatannya ialah
bahwa penelitian yang berfokus pada fonetik dan fonemik jumlahnya minim,
sedangkan penelitian yang berfokus pada variasi bahasa, yaitu penelitian
sosiolinguistik dan dialektologi, ternyata masih kecil jumlahnya (12,79%) jika
dibandingkan dengan penelitian struktur bahasa ( Multaia RMT Lauder, 2002: 175).
Ketika kita mendalami sesuatu haruslah secara meluas begitupula dalam mendalami
ilmu bahasa harus meluas tidak hanya pada bentuk fisiknya saja, kita harus
mendalami pengaruh dari dalam dan luar. Jangan menggunakan “kacamata kuda” yang
hanya melihat lurus ke depan. Seperti juga dalam pendidikan, bahwa ketika
mengajar harus memperhatiakan hal-hal lain bukan hanya fokus pada strategi saja
tapi harus pada hal-hal lain untuk mendukung pembelajaran.
Perbedaan
antara dua kubu di awal pembahasan memberikan warna dalam penelitian dan
pendidikan bahasa. Linguistik untuk pendidikan berkaitan dengan kegiatan
belajar dan mengajar bahasa. Pendidikan bahasa Indonesia diajarkan sejak
sekolah dasar sampai perguruan tinggi, karena bahasa Indonesia merupakan bahasa
kedua setelah bahasa ibu. Perkembangan pengajaran bahasa Indonesia ditinjau
dari beberapa aspek, yaitu: a) buku rujukkan, ada dua buku rujukkan awal yang
dipakai hampir semua guru bahasa Indonesia, yang diisusun oleh Alisjahbana
(1981) dan Keraf (1934), Keraf menulis tentang tata bahasa untuk membarui warna
“tradisional” pada buku tata bahasa sebelumnya, dengan memasukkan warna
“transformasional” tetapi yang diolah secara bebas; b) kurikulum, pada kurikulum
1975 bahasa diajarkan dengan pokok-pokok bahasan, yaitu: membaca, mengarang,
mendengarkan, wicara, dan sastra. Kemudian pada kurikulum 1984 bahasa diajarkan
dengan pokok-pokok bahasan, yaitu: membaca, kosakata, struktur, mengarang, pragmatik,
dan apresiasi sastra. Pada kurikulum 1994 bahasa diajarkan dengan tiga komponen
yang digunakan, yaitu: kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan; c) Buku Teks,
perkembangan buku teks di sekolah dasar dan menengah dapat dipilah atas dua:
masa sebelum ada ‘buku paket” dan masa “buku paket”. Pada masa sebelum buku
paket, bahasa Indonesia tercermin dari teks bacaan pada buku yang terasa tebal
warna melayunya. Pada masa buku paket, bahasa Indonesia muai banyak dirasuki
unsur Jawa dan bahasa daerah lainnya. Begitupula pada penulis buku teks
tersebut, sebelum buku paket hampir semua berlatar belakang bahasa di Sumatera;
d) Guru, pada tahun 50-60an pendidikan guru seperti SGB dan SGA dapat menarik
siswa lulisan terbaik, tetapi pada tahun 70-an ke atas (sesudah ada jenjang
FKIP dan IKIP) tidak lagi lulusan terbaik yang tertarik masuk pendidikan guru (Bambang
Kaswanti Purwo, 2002: 193-200).
Pengaplikasian
kurikulum pada pembelajaran bahasa Indonesia di bawah KTSP secara kasar, dapat
dikatakan bahwa pengajar bahasa Indonesia lebih tampil sebagai “penceramah”,
“pemberi informasi”, “pengoreksian kesalahan” (Bambang Kaswanti Purwo, 1999:
193-230). Siswa hanya diajarkan
bagaimana penggunaan bahasa yang sesuai dengan ejaan yang berlaku, pemahaman
dengan struktur kalimat, pembentukan kata dari mulai sekolah dasar sampai perguruan
tinggi. Padahal yang paling penting dalam pengajaran bahasa adalah bagaimana
siswa dapat memproduksi kalimat dan wacana yang koherensi, analogi, dan dapat
dipahami oleh pembaca, bagaimana berbahasa yang baik dan benar, hal tersebut
belum dapat diwujudkan karena pembelajaran bahasa hanya fokus pada struktur
saja tanpa melihat unsur lain. Siswa kesulitan untuk membuat paragraf yang
koherensi, kebinggungan berbahasa yang benar. Dalam pendidikan ketika mengajar
harus memperhatikan hal-hal lain bukan hanya fokus pada strategi saja atau
metode saja tetapi harus memperhatikan hal-hal lain untuk mendukung
pembelajaran, seperti: psikologi siswa, silabus pembelajaran, evaluasi, dan
sebagainya.
Kurikulum
2013 dalam mata pelajaran bahasa Indonesia mengalami perubahan mendasar dari
kurikulum sebelumnya, yaitu pembelajaran bahasa yang berbasis teks. Tahapan
dalam pembelajarannya, diawali dengan membangun konteks, kegiatan pemodelan,
membangun teks secara bersama-sama, dan membangun teks secara mandiri. Guru
diharapkan hanya menjadi “fasilitator” begitupula pada KTSP. (Agusrida, 2014:
3-4). Kita sudah sering mengucapkan dan mendengar frasa berbahasa Indonesia
yang baik dan benar. Sekarang ini diperlukan perhatian yang lebih jauh lebih
banyak pada pemakaian bahasa Indonesia yang ‘baik dan benar’ melalui usaha
pengajaran bentuk bahasa yang benar sesuai dengan struktur bahasa Indonesia dan
kita perlu melakukan kegiatan berbahasa/pemakain bahasa yang baik sesuai dengan
situasi dan konteks pengguna, baik dalam ragam tulisan maupun dalam ragam lisan.
Pengajaran bahasa secara struktural seharusnya diimbangi juga secara
kontekstual menjadikan siswa dapat berbahasa yang baik dan benar. (P.W.J.
Nababan, 1996: 291-293).
Simpulan
Linguistik
sebagai ilmu pengetahuan memiliki tugas untuk melakukan pengkajian dan
penelitian ilmiah terhadap bahasa. Hasil penelitian bahasa berkontribusi besar
terhadap pendidikan terutama pengajaran bahasa. Sayangnya, penelitian bahasa
yang selama ini telah hanya fokus pada struktur begitupula pengajaran bahasa
yang diterapkan selama ini hanya fokus
pada struktur. Siswa hanya diajarkan bagaimana berbahasa Indonesia yang baik
tanpa diajarkan bagaimana berbahasa Indonesia yang benar. Seharusnya penelitian
bahasa dapat berkembang secara seimbang antara struktur fisik dan fungsionalnya,
keselarasan tersebut akan mewujudkan pembelajaran bahasa Indonesia yang tidak
hanya baik tetapi juga benar.
nice artikel kak makasih
BalasHapuskuota murah axis
Daftar pustaka
BalasHapus