Selasa, 15 Maret 2016

Laporan Observasi Orientasi Psikologi dalam Pembelajaran Bahasa


Pendahuluan

A. LATAR BELAKANG
Psikologi merupakan unsur penting dalam pembelajaran, guru menggunakan psikologi untuk mendiagnosis setiap siswa yang dihdapinya. Setiap siswa unik, artinya siswa memiliki karakteristik yang berbeda-beda begitupula dengan karakteristik anak SMA khususnya kelas X yang dalam tahap perkembangannya merupakan tahap remaja awal. Pada perkembangan remaja awal tersebut siswa mengalami perubahan-perubahan fisik terjadi sangat pesat dan mencapai puncaknya. Ketidakseimbangan emosional dan ketidakstabilan dalam banyak hal terdapat pada masa ini. [1] Perubahan-perubahan tersebut harus dimaknai oleh guru secara seksama karena perubahan tersebut berpengaruh terhadap proses pembelajaran.
Guru harus menggunakan pendekatan dan teori belajar bahasa yang sesuai dengan karakteristik siswa agar materi yang disampaikan dapat dimaknai dan dipahami oleh siswa. Oleh karena itu, guru harus menyusun rencana pembelajaran dengan mempertimbangkan pedekatan dan teori belajar yang akan digunakan. Pendekatan pada masa remaja awal digunakan pendekatan kognitif sosial karena dapat menyadari konsekuensi lain dari sebuah perilaku disebut juga dengan cognitivist sosial konsekuensi mengganti dan diri kita sendiri. Penguatan mengganti adalah ketika  sesuatu yang positif terjadi pada seseorang sebagai akibat dari tindakan mereka dan merangsang orang lain  untuk bertindak dengan cara yang sama untuk menerima bahwa penghargaan yang sama atau imbalan.
Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses yang kompleks dari belajar. Ada lima perspektif dalam teori belajar, yaitu behaviorisme, kognitivisme, konstruktivisme, humanisme dan sosial.Teori belajar bahasa yang digunakan adalah teori belajar bahasa  kognitivisme menekankan pada eksistensi keadaan mental yang bisa mempengaruhi proses belajar. Pakar psikologi kognitif modern berpendapat bahwa belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Mereka meneliti bagaimana manusia memproses informasi dan membentuk representasi mental dari orang lain, objek, dan kejadian.[2] Jadi, karakteristik anak SMA sudah tidak lagi selalu di berikan stimulus seperti anak SD tetapi sudah pada tahap berpikir operasional konkrit, siswa diajarkan untuk menggunakan pikiran secara logis dalam memecahkan masalah-masalah yang konkrit.
Belajar menggunakan pendekatan kognitif sosial mengembang siswa untuk belajar dari sebagian besar apa yang ia ketahui melalui observasi (pengamatan). Belajar melalui pengamatan berbeda dari classical dan operant conditioning karena tidak membutuhkan pengalaman personal langsung  dengan  stimuli,  penguatan  kembali,  maupun  hukuman.  Belajar  melalui pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang disebut model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas mengenai pembelajaran bahasa khususnya dalam aspek berbicara, mendeklamasikan puisi berdasarkan observasi yang telah dilakukan pada siswa kelas X di sekolah Kharisma Bangsa, Tangerang Selatan. Mendeskripsikan pendekatan kognitif sosial dan teori belajar bahasa kognitif menurut Bruner dalam pembelajaran. Pendekatan tersebut bertujuan agar siswa termotivasi untuk belajar dan memperaktikkan secara lagsung langsung deklamasi puisi dengan rasa percaya diri. Melatih siswa untuk berfikir secara logis dan sistematik sehingga siswa dapat memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimanakan penerapan pendekatan kognitif sosial dalam pembelajaran mendeklamasikan puisi (pembelajaran bahasa berbicara)?
2.    Bagaimanakah peran teori kognitif Bruner dalam pembelajaran?

C.   TUJUAN
1.    Memahami penerapan pendekatan kognitif sosial dalam pembelajaran bahasa
2.    Mengembangkan pendekatan kognitif sosial dan teori pembelajaran bahasa
  

Pembahasan

A. Pendekatan Kognitif Sosial
Teori kognitif sosial (sosial cognitive theory) menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif serta faktor pelaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor  kognitif berupa ekspektasi siswa untuk meraih keberhasilan, faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap perilaku orangtuanya. Albert Bandura merupakan salah satu merancang teori kognitif sosial. Menurut Bandura ketika siswa belajar mereka dapat merepresentasikan  atau mentrasformasi pengalaman mereka secara kognitif. Bandura mengembangkan  model deterministic resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku,  person/kognitif dan lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, faktor person/kognitif  mempengaruhi perilaku. Faktor person Bandura tak punya kecenderungan kognitif terutama pembawaan personalitas dan temperamen. Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan.
Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif)  memainkan peranan penting. Faktor person (kognitif)  yang dimaksud saat ini adalah self-efficasy atau efikasi diri. Reivich dan Shatté[3] mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura[4], individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini pun akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
Dalam pembelajaran yang saya observasi, guru memberikan motivasi yang menyakinkan kepada siswa bahwa setiap siswa dapat belajar dan mencapai tujuan pembelajaran. dengan memberikan beberapa tujuan pmbelajaran pada hari tersebut, yaitu siswa dapat mendeklamasikan puisi. Setiap siswa dilahirkan sama dan memilki kemampuan yang sama yang membedakan adalah seberapa besar tekad kalian untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Begitupula dengan pembelajaran mendeklamasikan puisi, siswa diyakinkan bahwa mereka semua bisa. Dengan dipengaruhi lingkungan ini diharapkan siswa dapat memotivasi dirinya sendiri bahwa mereka bisa dan mau mencoba untuk belajar mendeklamaskan puisi.

1.    Pembelajaran Observasional.
Operant conditioning adalah suatu usaha pengkondisian untuk menimbulkan dan mengembangkan respons sebagai usaha memperoleh “penguatan”. Dengan kata lain melalui pemberian reinforcement (penguatan) itu maka seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme. Operant conditioning meliputi proses-proses belajar yang mempergunakan otot-otot secara sadar, memberikan jawaban dengan otot-otot tersebut dan mengikutinya dengan pengulangan untuk penguatan. Walaupun demikian, perilaku tersebut masih dikendalikan faktor luar (faktor lingkungan, rangsang atau stimulus) yang mana akan sangat mempengaruhi respon-respon yang akan diperlihatkan.
Teori tentang belajar atau proses pengkondisian  operan  dikembangkan oleh Skinner[5] dari eksperimennya dengan tikus. Minat Skinner pada tingkah laku timbul tidak hanya dari rasa ingin tahu tentang cara kerja tingkah laku, tetapi juga dari keinginan kuat untuk memanipulasinya. Oleh karena itu, Skinner mengadakan penelitian tentang bagaimana cara kita untuk dapat mengontrol sebuah tingkah laku pada individu. Jika dalam pengkondisian klasik penguatan atau reinforcement dilakukan berulang-ulang sehingga menghasilkan tingkah laku, dalam pengkondisian operan terjadi sebaliknya, yaitu jawaban atau tingkah laku yang menimbulkan penguatan/ reinforcement. Individu harus melakukan sesuatu. Dengan kata lain, individu adalah alat untuk menimbulkan penguatan. Jadi penekanan dari penelitian Skinner adalah tentang respon-respon yang tidak harus dibangkitkan oleh stimulus (operan), tetapi yang sangat dipengaruhi oleh akibat-akibat dari respon-respon itu sendiri (reinforcement).
Pembelajaran kognitif sosial ini pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari teori behavioralisme. Teori behavioralisme banyak diterapkan pada karakteristik anak SD, guru menjadi pemegang penting dalam pembelajaran karena gurulah yang memberikan stimulus-stimulus untuk siswa kemudian siswa yang menjawab benar diberikan reward dan jika siswa yang berisik maka guru memberikan punishment seperti menunjuk siswa tersebut dan diminta untuk maju ke depan kelas. Sedangkan pembelajaran pada karakteristik anak SMA (yang saya observasi) guru hanya sebagai fasilitator, guru memberikan stimulus berupa model dalam bentuk video dan salah satu siswa yang pernah menjuarai puisi kemudian dari model tersebut stimulus siswa dibangkitkan.
Pembelajaran observasional disebut juga sebagai pembelajaran imitasi atau modeling adalah pembelajaran yang dilakukan dengan mengamati atau meniru perilaku orang lain. Kapasitas untuk mempelajari  pola perilaku dengan observasi dapat mengeliminasi pembelajaran trial and error serta membutuhkan waktu yang relative pendek dibandingkan pengkodisian operan. Bandura[6] mengawali eksperimennya dengan studi Boneka Bobo, yang mengilustrasikan bagaimana pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati model yang bukan sebagai penguat  atau penghukum, serta dapat mengilustrasikan perbedaan antara pembelajaran dan kinerja (performance). Pengamatan dilakukan dengan menugaskan sejumlah anak TK secara acak untuk melihat tiga film, di mana ada seorang model yang memukuli boneka plastik seukuran orang dewasa yang dinamakan boneka Bobo. Dalam film pertama penyerangnya diberi permen, minuman ringan dan dipuji karena melakukan tindakan agresif. Film kedua , si penyerang ditegur dan ditampar karena melakukan tindakan agresif. Sedang film ketiga, tidak ada konsekuensi  atau  tindakan terhadap si penyerang yang telah melakukan tindakan agresif. Kemudian masing-masing anak dibiarkan sendiri di ruang pengamatan yang penuh dengan mainan boneka termasuk boneka Bobo. Anak terutama untuk anak laki-laki yang menonton film pertama dan ketiga  lebih sering melakukaan tindakan agresif. 
Inti dari studi ini bahwa  pembelajaran observasional terjadi sama ekstensifnya baik itu ketika peilaku agresif diperkuat maupun tidak diperkuat. Pengamatan dilajutkan dengan memberikan imbalan intensif dengan memberikan striker atau jus buah untuk meniru model. Dari pengamatan memperlihatkan perbedaan dalam perilaku imitative anak dalam tiga kondisi tersebut hilang. Inti dari studi ini memperlihatkan antara pembelajaran dan kinerja, karena siswa yang tidak melakukan respons bukan berarti mereka tidak mempelajari. Menurut Bandura ketika anak mengamati perilaku tetapi tidak memberi respon yang dapat diamati, anak tersebut kemungkinan mendapat respon model dalam bentuk kognitif.
Pengamatan Bandura relevan dengan pernyataan  Dr Vermon A Magnesen[7] dalam buku  Quantum teaching  yang menerangkan bagaimana kita belajar, yaitu 10 % dari apa yang kita baca, 20 % dari apa yang kita dengar, 30 % dari apa yang kita lihat, 50 % dari apa yang kita lihat dan dengar, 70 % dari apa yang kita katakan dan 90 % dari apa yang kita katakan dan lakukan.  Menurut Bandura[8] proses spesifik yang terlibat dalam pembelajaran observasional ada empat, yaitu proses atensi, retensi, produksi dan motivasi.
Berikut ini adalah pengaruh atas pelajar sesuai dengan model Bandura[9]
1.    Seorang individu yang mendemonstrasikan  atau menunjukkan sebuah perilaku (dia disebut sebagai model live). Individu ini adalah orang-orang yang mengelilingi pelajar, misalnya  orang tua , guru, teman, rekan kerja, dan individu lain sering terlihat.
2.    Seseorang atau sesuatu yang menggambarkan dan menjelaskan perilaku.
3.    Model simbolik. Televisi adalah yang paling berpengaruh di banyak rumah. Rata-rata anak menonton lebih dari 3 jam sehari .
Seorang guru tidak lagi dapat berdiri di depan kelas dan membaca dengan keras sebuah naskah dalam bahasa asing dan menganggap bahwa siswa akan belajar bagaimana melakukan hal yang sama. Responsif terhadap model, kata Bandura (1986) terdiri dari tiga faktor penting. Karakteristik pertama adalah relevansi dan kredibilitas model kepada siswa. Menurut pengamatan Bandura, bahwa semakin bergengsi, menyenangkan, atau terkenalnya model,  siswa semakin berusaha untuk meniru perilaku atau instruksinya. Seorang siswa juga tampaknya merespon dengan baik ketika konsekuensi dari tindakan model tidak diketahui maknanya. Pengaruh ketiga pada individu adalah imbalan intrinsik bahwa orang tersebut akan mendapatkan dari menanggapi perilaku model.
Bandura mempelajari  bahwa peran  model akan mempengaruhi perilaku  positif, negatif, atau perubahan perilaku siswa.[10] Penelitian ini  menuntun Bandura  dan Walters untuk memahami faktor-faktor sosial dan beberapa kognitif yang mempengaruhi belajar. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi adalah penggunaan simbol-simbol, pengaruh media, dan keterlibatan dalam tindakan bermakna[11]. Bandura bersama  Schunk dan Zimmerman meneliti  peran efektivitas diri (yang keyakinan pribadi tentang kemampuan), motivasi siswa, dan reaksi seseorang untuk belajar dan bermain dalam kemajuan mereka dalam belajar. Jika seseorang memiliki efektivitas pribadi yang tinggi, mereka lebih cenderung merasa bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas dengan sukses. Hal ini pada dasarnya apakah mereka melihat diri mereka sebagai mampu atau tidak. 
Guru dan ruang kelas memainkan peran sentral dalam motivasi. Reaksi Seorang guru untuk respon siswa, cara guru membantu siswa, dimana siswa ditempatkan di kelas, dan bagaimana nilai-nilai yang diberikan hanya beberapa contoh peran guru memainkan dalam memotivasi siswa. Terakhir, cara seseorang bereaksi terhadap keberhasilan atau kegagalan berpengaruh besar terhadap prestasi penguasaan. Sikap negatif seperti melihat nilai sebagai ukuran kemampuan total terhadap upaya dapat menyebabkan siswa untuk menyerah dan belajar jauh lebih sedikit. Dengan sikap positif siswa menerima kritik dan bekerja untuk belajar  dan melakukan yang lebih baik. Atau meningkatkan diri ketika gagal untuk melawan rasa menyerah yang akan meragukan ketrampilan mereka. Ketika datang untuk belajar, proses kognitif memainkan peranan sentral. Konsekuensi dan kejadian akan memandu  perilaku.[12]
Teori kognitif sosial adalah menyadari konsekuensi lain dari sebuah perilaku. Ini adalah apa yang disebut cognitivist sosial konsekuensi mengganti dan diri kita sendiri. Penguatan mengganti adalah ketika  sesuatu yang positif terjadi pada seseorang sebagai akibat dari tindakan mereka dan merangsang orang lain  untuk bertindak dengan cara yang sama untuk menerima bahwa penghargaan yang sama atau imbalan. Contoh ini akan menjadi saat siswa dipuji oleh guru atau diberikan perlakuan khusus lalu jelaskan agar mejaga perilaku siswa agar mereka juga dapat dihargai. Self konsekuensi dengan dikenakan  imbalan/reward dan hukuman setup yang dilakukan oleh siswa atas perilakunya. Contoh ini sering dilihat oleh orang-orang yang memperlakukan diri mereka sendiri untuk sesuatu setelah mencapai tujuan.
Dalam pembelajaran mendeklamasikan puisi, guru menghadirkan model teman sebaya siswa yang pernah memenangkan perlombaan deklamasi puisi. Model ini dapat dikatakan efektif karena dari teman sebayanya siswa dapat termotivasi untuk belajar mendeklamasikan puisi. Menggunakan teman sebaya sebagai model yang efektif. Teman yang lebih tua memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan teman yang seusia.  Strategi yang baik ambil model dari kelas yang lebih tinggi untuk mencontohkan suatu prilaku baru yang diharapkan akan dilakukan oleh siswa.
Setelah itu, guru memberikan pembanding dirinya sendiri yang mendeklamasikan puisi dengan memberikan perbedaan dari segi pembawaan dan prilaku karena pembelajaran observasional dapat efektif untuk mengajar perilaku baru[13]. Murid yang baru  pertama kali diminta belajar  materi tertentu, atau belajar presentasi yang efektif, pemakaian alat ukur baru akan mendapat  manfaat dengan mengamati dan mendengarkan model yang kompeten. Disini guru dapat dikatakan sebagai mentor sebagai model kompeten yang bersedia bekerja dengan siswa dan membantu siswa mencapai tujuan. Karena seseorang mentor harus yang dihormati  dan sebagai rujukan dalam pembelajaran
Terkait dengan multiple intelligences, maka yang diundang beragam model dengan keahlian tertentu. Pertimbangkan model yang dilihat anak di televise, video dan komputer. Penting untuk memonitor  tontonan TV anak, video film anak-anak atau games pada komputer untuk memastikan agar anak/siswa  tidak melihat terlalu banyak model negative terutama yang penuh dengan kekerasan. Misalkan film Tom and Jerry, dimana keduanya bermusuhan dengan kekerasaan yang berulang tetapi dikemas dalam film kartun yang lucu. Games Mortal Combat yang penuh dengan kekerasan dan banyak dimainkan oleh anak laki-laki. 

2.    Pendekatan Perilaku Kognitif dan Regulasi Diri
Dalam pendekatan perilaku kognitif adalah mengubah perilaku dengan menyuruh orang untuk memonitor, mengelola  mengatur perilaku untuk memonitor, mengeloladan mengatur perilaku  mereka sendiri, bukan dipengaruhi oleh faktor ekternal. Menurut Meichenbaum[14] dengan pendekatan ini membantu mengubah miskonsepsi dari siswa, memperkuat keahlian siswa dan mendorong refleksi diri yang konstruktif.
Metode instruksi diri (self instructional method) adalah sebuah teknik perilaku kognitif yang digunakan untuk mengajari individu memodifikasi perilaku mereka sendiri. Metode sef instructional membantu orang mngubah apa yang anggapan mereka tentang diri mereka sendiri. Berikut ini beberapa strategis bicara pada diri sendiri (self talk) yang bisa dipakai dalam pendidikan untuk situasi dimana murid sedang gugup  atau gelisah menghadapi ujian
·         Bersiap  menghadapi stress atau kecemasan : “apa yang harus kulakukan?”
·         Menghadapi  dan menangani kecemasan atau stress ; “tenang, tarik nafas dalam-dalam dan gunakan strategi yang ada”
·         Mengatasi  perasaan pada saat kritis/mendesak :”jika aku cemas, aku akan berhenti  sejenak dam tetap focus pada apa yang apa yang kulakukan”
·         Menggunakan penyataan peguatan diri : “aku bisa…”
·         Gantikan kalimat negative menjadi kalimat positif,…. “Man Jadda Wajada”
·         “Dalam kesulitan pasti ada kemudahan”
Para behavioris kognitif merekomendasikan cara agar siswa untuk meningkatkan prestasi mereka dengn memonitor perilaku mereka sendiri. Dalam pembelajaran hal ini dilakukan dengan menyuruh siswa membuat diagram atau catatan atas tindakan mereka. Semua dimulai oleh guru yang notabene sebagai model mereka.

B.   Teori Kognitif Menurut Bruner
Bruner memiliki pandangan mengenai proses belajar yaitu langkah-langkah bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi secara aktif.[15] Dimana perhatian tentang kognitif Bruner berpusat pada masalah apa yang dilakukan manusia dengan informasi yang diterimanya, dan apa yang akan dilakukannya sesuah memperoleh informasi untuk mendapatkan pemahaman yang memberikan kemampuan tersendiri baginya.
Konsep Bruner dalam menyusun teori perkembangan kognitif memperhitungkan enam hal, yaitu[16]:
1.    Perkembangan intelektual ditandai oleh meningkatnya variansi respon terhadap stimulus. Anak yang pada mulanya berada dalam kendali stimulus, belajar membebaskan diri dari stimulus. Ketika anak itu memperoleh sistem bahasa, mere belajar memediasi hubungan antara stimulus dan respon. Dengan mediasi itu, anak belajar membedakan gratifikasi, memodifikasi respon, dan memiliki respon yang sama walaupun stiulusnya berubah-ubah.
2.    Pertumbuhan tergantung pada perkembangan intelektual dan sistem pengolahan informasi yang dapat menggambarkan realita. Anak-anak tidak dapat memprediksikan atau mengeksplorasi hasil yang akan dicapai apabila mereka tidak belajar sistem simbol yang mencerminkan dunia. Oleh karena itu, untuk memahami pengalaman yang ada di luar dirinya, anak memerlukan representasi mental tentang dunia di sekitarnya.
3.    Perkembangan intelektual memerlukan peningkatan kecakapan untuk mengatakan pada dirinya sendiri dan orang lain, melalui kata-kata atau simbol, mengenai apa yang telah dikerjakan dan apa yang dikerjakannya. Hal ini menjelaskan adanya kesadaran diri. Tanpa perkembangan untuk menggambarkan kegiatan masa lalu dan masa depan, maka tidak akan terjadi perilaku analitik yang diarahkan pada dirinya sendiri atau terhadap lingkungannya.
4.     Interaksi antara guru dengan siswa adalah penting bagi perkembangan kognitif. Orang tua, guru, dan anggota masyarakat harus mendidik anak-anak. Kebudayaan yang ada di masyarakat tidak cukup mampu mengembangkan perkembangan intelektual anak, sehingga guru harus menafsirkan dan berbagi kebudayaan dengan anak agar mereka mengalami perkembangan intelektual.
5.    Bahasa menjadi perkembangan kognitif.  Setiap individu belajar menggunakan bahasa untuk memediasi peristiwa yang terjadi di dunia. Kemampuan berbahasa ini menjadi sarana untuk mengaitkan berbagai peristiwa dalam bentuk sebab akibat.
6.    Pertumbuhan kognitif ditandai oleh semakin meningkatnya kemampuan menyelesaikan berbagai alternatif secara simultan, melakukan berbagai kegiatan secara bersamaan, dan mengalokasikan perhatian secara runtut pada berbagai situasi tertentu.
Menurut Bruner ada 3 tahap perkembangan kognitif[17], yakni :
1.    Enaktif ( Enactive )
Tahap ini merupakan tahap representasi pengetahuan dalam melakukan tindakan . Pada tahap ini anak dalam tahap belajarnya menggunakan atau memanipulasi obyek – obyek secara langsung.
2.    Ikonik ( Iconic )
Tahap yang merupakan perangkuman bayangan secara visual.Pada tahap ini anak melihat dunia melalui gambar – gambar atau visualisasi. Dalam belajarnya , anak tidak memanipulasi obyek – obyek secara langsung, tetapi sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari obyek.
3.    Simbolik ( Symbolic )
Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol – simbol secara langsung dan tidak lagi menggunakan obyek – obyek atau gambaran obyek. Pada tahap ini anak memiliki gagasan – gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.

C.   Ruang Lingkup Pendekatan Kognitif Sosial dalam Kelas Observasi
Pembelajaran mendeklamasikan puisi bertujuan agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berbicara dengan  memperhatikan aspek intonasi, artikulasi, dan ekspresi yang sesuai dengan puisi yang dibacakan. Dalam pembelajaran guru mempertimbangkan bahasa (gramatika dan kosakata), gaya belajar, dan teks yang digunakan dalam pembelajaran sehingga guru dapat merancang pembelajaran sesuai dengan umur dan level bahasa siswa kelas X SMA. Guru menggunakan bahasa Indonesia baku selama pembelajaran dan menggunakan gaya belajar yang berpusat pada siswa, artinya guru hanya sebagai fasilitator dan berpandangan bahwa setiap siswa telah memiliki pengalaman dan ilmu sebelumnya tentang pembelajaran mendeklamasikan puisi.
Pada pertemuan sebelumnya siswa sudah belajar menyimak puisi, yaitu memaknai puisi dan menafisrkan puisi dari segi intrinsik dan ektrinsik puisi. Pada hari di mana saya observasi, kelas tersebut membahas mengenai bagaimanakah mendeklamasikan puisi/membaca puisi dengan memperhatikan unsur-unsur di dalamnya agar pesan puisi dapat tersampaikan pada penyimak.
Pada tahap awal pembelajaran, guru memberikan stimulus berupa motivasi pada siswa agar siswa termotivasi belajar, dengan cara menyampaikan pribahasa/kata-kata mutiara, “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan ilmu”. Membuka pembelajaran dengan menyampikan pribahasa/kata-kata mutiara sangat unik dan cocok bagi karakteristik siswa berumur 17 tahun yang sudah mampu berfikir logis. Dari kata mutiara tersebut guru mencoba menghubungkan dengan beberapa puisi yang sudah dibahas pada pertemuan sebelumnya kemudian guru memberikan tayangan video berupa pembacaan puisi.
Setelah penayangan video pembacaan puisi menggunakan media projektor, siswa diminta untuk memberikan komentar tetang penampilan pembacaan puisi tersebut dan secara ridak langsung guru memberikan materi mengenai apa saja yang perlu dipersiapkan dan diperhatikan dalam mendeklamasikan puisi. Kemudian, diakhiri dengan kesimpulan, mendeklamasikan puisi tidak hanya membaca puisi saja namun harus memperhatikan beberapa hal, seperti: percaya diri, penampilan, intonasi, artikulasi, ekspresi, mimik, dan gesture tubuh.Penayangan video merupakan model yang dapat ditiru oleh siswa. Selain model tersebut guru memberikan model siswa yang pernah mengikuti lomba deklamasi puisi. Dari kedua model tersebut diharapan siswa sudah mendapatkan menggambarakn mana yang patut ditiru dan yang tidak patut ditiru. Kemudian, siswa diberikan beberapa pilihan teks puisi untuk dideklamasikan di depan kelas. Teks puisi pilihan terlampir.
Penguasaan kosakata pada siswa berumur 17 tahun sangat beragam, dari kosakata yang bermakna denotatif sampai konotatif hampir dikuasai seluruhnya begitupula dengan tata bahasa tulis namun dalam tata bahasa lisan belum seluruhnya sempurna. Masa remaja ini siswa memproduksi bahasa pergaulan dengan cara memodifikasi bahasa-bahasa yang baru mereka ketahui, seperti bahasa daerah, bahasa baku, dan bahasa asing. Guru memegang peranan penting dalam pembelajaran bahasa dengan cara menyampiakan materi dan berkomunikasi dengan bahasa yang baik dan benar sehingga dapat menjadi model bagi perkembangan bahasa siswa.

Evaluasi Pendekatan Kogitif Sosial
Pendekatan kognitif sosial memberikan kontribusi penting untuk mendidik anak. Pembelajaran dilakukan dengan mengamati  dan mendengarkan model yang kompeten dan kemudian meniru apa yang mereka lakukan. Penekanan pada pendekatan perilaku kognitif pada  pembelajaran instruksi diri, pembicaraan diri, dan regulasi diri. Hal ini menimbulkan pergeseran penting dalam pembelajaran  yang dikontrol  orang lain ke kemauan untuk  bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukannya.[18] Strategi ini dapat meningkatkan kemampuan belajar murid secara signifikan.
Dalam akhir pembelajaran mendeklamasikan puisi guru melaksanakan evaluasi dengan penampilan siswa mendeklamasikan puisi, penilaiannya meliputi percaya diri, penampilan, intonasi, artikulasi, ekspresi, mimik, dan gesture tubuh. Siswa merasa bertanggung jawab dengan melakukan beberapa hal, yaitu: membaca secara seksama teks puisi, memahami isi puisi, menganlisa beberapa kosakata yang perlu intonasi keras atau lemah, setelah itu masing-masing siswa berlatih dengan gesture dan mimik yang sesuai dengan puisi yang dibawakan. Kemudian guru memanggil nama seorang siswa untuk mendeklamasikan puisi, siswa mendeklamasikan ke depan kelas dengan muka yang sedikit tegang karena diminta untuk maju pertama. Siswa membawakan puisi karya Taufik Ismail dengan intonai dan artikulasi yang tepat namun penghayatan serta mimik yang masih kurang.
Pendekatan psikologi yang baik adalah pendekatan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, materi ajar, bahasa, dan karakteristik siswa. Ada beberapa pendekatan  dan teori belajar dan setiap pendekatan dan teori belajar tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelemahan dalam menggunakan teori kognitif sosial di kelas adalah kesulitan dalam menerapkan porsi self efficacy dan komponen regulasi diri. Masalah lain adalah bahwa dalam memilih model untuk perilaku, orang mungkin kehilangan beberapa anggota pembelajar dengan  alasan bahwa salah memilih model.  Misalnya, bintang sepak bola yang popular di TV memberikan nasehat pada anak-anak  agar tetap bersekolah dan tidak menggunakan  narkoba. Jika pemirsa tidak menyukai  model yang mempengaruhi ini, yang diinginkan mungkin tidak tercapai. Bidang lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa di dalam kelas, hukuman dari seorang guru atau kurangnya perilaku penguatan positif tertentu dari guru, dapat mempengaruhi perilaku dan pembelajaran di kelas. Juga di dalam kelas sulit bagi guru untuk membantu siswa mengembangkan rasa efikasi diri dan regulasi diri. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, self efficacy berkaitan dengan keyakinan bahwa siswa memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu lebih baik.


Hasil Observasi

A. Deskripsi Observasi
Saya melakukan observasi di sekolah SMA Kharisma Bangsa yang berada di Tangerang Selatan, profil sekolah terlampir. Senin, 15 Februari 2016 saya meminta izin dengan memberikan surat permohonan izin observasi dan langsung diberi izin untuk bertemu langsung dengan kepala mata pelajaran bahasa Indonesia Pak Mustofa. Akhirnya, observasi saya lakukan pada keesokan harinya Selasa, 16 Februari 2016 pukul 07.00 pagi sampai pukul 12.00.  Saya melakukan observasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X. A (putri) dan kelas X. C (putra). Saya melakukan observasi di dua kelas tersebut karena sistem sekolah memisahkan antara siswa wanita dengan siswa laki-laki begitupula dengan guru. Jadi, lantai tiga diperuntukkan untuk siswa laki-laki dan ruang guru laki-laki dan lantai empat diperuntukkan untuk siswa perempuan dan ruang guru perempuan. Dalam segi materi pembelajaran, setrategi pembelajaran, dan pendekatan digunakan pendekatan yang sama karena setiap sekurang-kurangnya sebulan sekali guru bahasa Indonesia baik laki-laki dan perempuan mengadakan rapat bersama guna merancang pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Oleh karena itu, untuk melihat pendekatan kognitif sosial dalam pembelajaran bahasa saya melakukan observasi pada kedua kelas tersebut.
Proses pembelajaran di kelas X.C (putra) terjadwal pada jam pertama, alokasi waktu dua jam, yaitu pukul 07.00-09.15. Dan proses pembelajaran di kelas X.A (putra) terjadwal pada jam ketiga, alokasi waktu dua jam, yaitu pukul 09.30-11.45. Penerapan pendekatan psikologi kognitif sosial di kedua kelas tersebut tidak jauh berbeda namun ada beberapa perbedaan karena guru dan jenis kelamin siswa berbeda. Di kelas X.C guru memberikan model mendeklamasikan puisi dengan tayangan video dan teman sebaya siswa sedangkan di kelas X. A guru memberikan model mendeklamasikan puisi dengan tayangan video dan guru sendiri. Model dengan teman sebaya lebih efektif digunakan dibandingan dengan guru atau orang dewasa yang lebih dihormati karena siswa akan berfikir logis dan sudah diberikan rasa efesiensi diri bahwa “Aku pasti bisa”, “Temanku saja bisa apalagi aku harus bisa”. Dengan adanya efesiensi tersebut kesadaran akan tanggung jawab dalam belajar dan berlatih mendeklamasikan puisi akan lebih tinggi dibandingkan dengan model dari orang dewasa atau guru. Hal tersebut pun terlihat dari respon siswa, siswa X.C laki-laki tanpa dipanggil terlebih dahulu mengajukan diri untuk mendeklamasikan puisi. Kepercayaan diri tidak terlalu diuji karena mereka berhadapan dengan jenis kelamin yang sama.

B.   Pembahasan
Berikut proses spesifik yang terlibat dalam pembelajaran observasional yang diaplikasikan pada kelas X.C dan X.A
Atensi
Sebelum siswa mendeklamasikan puisi, guru memberikan dua model agar siswa mengamati dan meniru tindakan model, mereka akan memperhatikan  apa yang dilakukan  atau yang dikatakan oleh model. Perhatian atau atensi kepada model sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang ada pada si model. Pada observasi ini, saya mengamati bahwa model teman sebaya lebih efektif digunakan dibandingan dengan model guru.
Retensi 
Untuk mereprodukasi tindakan model, siswa harus mengkodekan informasi dan menyimpannya dalam ingatan (memori) sehingga informasi itu bisa diambil kembali. Penggunaan model video dan menghadirkan teman sebaya dan guru meningkatkan retensi murid karena guru memberikan contoh yang nyata dan jelas dapat langsung dilihat oleh siswa.
Produksi  
Siswa memperhatikan model dan mengingat apa yang mereka lihat, untuk mengingat pembelajaran dari model tersebut siswa diminta untuk memberikan tanggapan tentang penayangan video dan model yang ditampilkan oleh guru. Kegiatan tanya jawab tersebut merangsang siswa untuk berfikir secara logis dari apa yang mereka lihat secara langsung sehingga siswa dapat mengoreksi model yang ditampilkan oleh guru.
Motivasi 
Setelah memperhatikan apa yang dikatakan atau dilakukan model, menyimpan informasi dalam memori, siswa menirukan tindakan model, mungkin saja akan termotivasi. Melakukan praktik berlatih dan berusaha untuk mendeklamasikan puisi dengan mengambil pembelajaran dari model yang ditampilkan, mana yang patut ditiru dan tidak patut ditiru.
Terlepas dari perbedaan antara kedua kelas tersebut ada beberapa hal yang sama diterapkan dalam pembelajaran. Dalam mengelola proses pembelajaran keduanya menekankan pada inquiry dan discovery, kedua hal tersebut merupakan pengembangan teori kognitif menurut Brunner. Dari awal pembelajaran guru memberikan motivasi berupa pribahasa/kata mutiara kemudian siswa diminta untuk memaknai pribahasa/kata mutiara tersebut. Proses berfikir siswa dikembangkan dengan cara melakukan penemuan dan penyelidikan terhadap model yang di berikan oleh guru berupa penanyangan video mendeklamasikan puisi, teman sebaya, dan guru. Dari beberapa model tersebut guru menstimulasi dengan mengarahkan siswa tentang apa pendapatmu dari model yang kamu lihat? Apa sajakah yang kurang dari penampilan tersebut? Hal tersebut menunjukkan bahwa guru memberikan kesempatan pada siswa untuk berfikir dengan struktur enactive, ikonis simbolik.
Stimulus yang diberikan oleh guru dengan beberapa model yang nyata ditampilkan di depan hadapan siswa maka siswa akan berfikir menemukan sendiri secara detail informasi yang terkait dengan pendeklamasian puisi tersebut. Siswa dapat mengoreksi intonasi dalam penanyangan video kurang tepat, artikulasinya bagus, memberikan contoh mimik yang tepat, maka terjadilah suatu alur berfikir, yaitu pendeklamasian puisi bukan hanya sekedar membaca puisi saja namun harus memperhatikan unsur-unsurnya, seperti intoasi, artikulasi, mimik, dan gesture agar pesan puisi dapat tersampaikan dengan baik.
Pada tahap perkembangan kognitif siswa SMA kelas X. C dan X. A sudah pada tahap simbolik. Siswa sudah tidak menirukan secara langsung model yang ditampilkan oleh guru, dan tidak menirukan model dengan penggambaran lain. Namun siswa sudah dalam tahap perkembangan kognitif simbolik, artinya siswa memiliki gagasan-gagasan tersendiri mengenai model yang diberikan oleh guru dan sudah memiliki konsep mengenai apa yang dilakukan ketika mendeklamasikan puisi dengan cara berfikir secara logis dan aktif unsur-unsur spesifik apa yang diperlukan oleh siswa dalam mendeklamasikan puisi serta apa yang perlu dilatih agar dapat menampilkan pendeklamasian puisi yang bagus.
Dengan mengembangkan pendekatan kognitif menurut Bruner akan memberikan tiga manfaat bagi siswa, yaitu[19]:
·         Memperoleh informasi baru, artinya adanya penghalusan dan penambahan dari informasi yang dimiliki siswa sebelumnya.
·         Transformasi informasi, artinya cara yang dilakukan oleh siswa dalam menerapkan pengetahuan barunya yang sesuai dengan tugasnya.
·         Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Adanya penilaian mengenai apakah cara siswa memperlakukan pengetahuan sudah cocok dengan tugas yang ada.

Dari hasil observasi antara siswa laki-laki dan perempuan diberikan pendekatan yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kedua kelompok ini menunjukkan perbedaan keaktifan dalam memberikan pendapat, siswa laki-laki lebih antusias meanggapi karena model yang ditampilkan adalah teman sebaya sedangkan siswa perempuan kurang antusias menanggapi kerena model yang ditampilkan adalah gurunya sendiri. Kemudian dari segi pembawaan dan percaya diri keduanya sama karena ketika maju di depan kelas yang di hadapi sama dengan dirinya, hal tersebut mungkin akan berbeda jikalau siswa dihadapkan pada audience laki-laki dan perempuan.
Secara keseluruhan, pembelajaran yang dilakukan di kelas X.C dan X.A SMA Kharisma Bangsa menggunakan  pendekatan kognitif sosial sudah diimplementasikan secara baik dalam pembelajaran mendeklamasikan puisi, guru memberikan stimulus yang memotivasi siswa, guru memberikan model yang dapat langsung diamati dan dilihat oleh siswa, siswa berfikir logis sehingga dapat mengoreksi dan menemukan teknik-teknik mendeklamasikan puisi dari model yang ditampilakan, siswa mampu berfikir secara abstrak dengan membuat konsep mendeklamasikan puisi yang diberikan oleh guru, dan siswa termotivasi untuk belajar dan berlatih mendeklamasikan puisi serta meampilkannya di depan kelas.