Minggu, 14 Februari 2016

Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan


Setelah mendapatkan mata kuliah dalam semester yang sangat pendek hanya satu bulan ini memotivasi saya untuk bisa belajar mandiri lagi, membaca beberpa buku sumber namun buku sumber yang digunakan paling utama adalah karya Martini Jamaris. Dan dari perkuliahan yang sangat sayangkan dipadatkan dan menjadi pedek sekali sehingga diberi nama Semester Pedek ini saya belajar tentang apa sih orientasi baru dalam pendidikan itu? Nah, di sini saya rangkum apa yang saya ketahui dan pahami tentang hal tersebut dan khsusunya saya kaitkan dengan bidang konsentrasi saya pada pendidikan bahasa.

Jika ada pendapat atau sumber buku lain tentang pembahasan yang sama dapat berbagi dengan saya, terimakasih :) 



Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia,bak tingkah laku yang telihat secara langsung, seperti: berbicara, berlari, melamun, belari maupun tingkah laku yang tidak terlihat langsung, seperti: pemahaman, berfikir, mengingat, merasakan, dan menghayati. Manusia menjadi obejk kajian ilmu psikologi, ilmu psikologi berusaha untuk mengamati, mengidentifikasi, menjelaskan, dan memprediksi setiap tingkah laku manusia. Dengan adanya ilmu psikologi kita dapat memahami orang lain dan diri kita sendiri.


Psikologi merupakan bagian dari ilmu sosial yang pada awalnya merupakan kajian dari filsafat, kemudian Wilhelm Wundt (1832-1920), seorang berkebangsaan Jerman memishkan psikologi dari filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri (otonom). Ilmu psikologi berkembang pesat ke berbagai ranah kehidupan, seperti: psikologi perkembangan,psikologi kepribadian, psikologi abnormal,  psikologi klinis, psikologi sosial, dan psikologi pendidikan. Ilmu psikologi masuk di Indonesia pada tahun 1953[1] yang diperkenalkan oleh Prof. Slamet Iman Santoso.


Ilmu psikologi memiliki kontribusi yang besar pada ilmu pengetahuan lain, seperti pada ilmu pendidikan disebut psikologi pendidikan. Psikologi pendidikan merupakan ilmu yang bersifat interdisiplin, psikologi berperan  dalam memahami karakteristik siswa dari berbagai perkembangan sehingga dapat dijadikan acuan untuk guru dalam merancang pembelajaran, pemilihan materi pelajaran, metodologi pengajaran, proses pembelajaran, dan pengukuran evaluasi. Tidak hanya guru yang memerlukan prinsip psikologi tetapi seluruh kegiatan pendidikan. Misalnya, seleksi penerimaan siswa baru, panitia seleksi membuat soal sesuai dengan perkembangan peserta seleksi. Penyusunan kurikulum, penyusun kurikulum harus mengidentifikasi kebutuhan siswa dan acuan yang harus dicapai menyesuaikan dengan perkembangan siswa dan selanjutnya kurikulum dapat dikembang oleh setiap sekolah dan guru.


Pada proses pembelajaran bahasa guru dapat melakukan pendekatan pada siswa dari berbagai prespektif dalam psikologi yang berimplikasi pada , seperti: pendekatan behavioristik, guru berperan aktif dalam pembelajaran memberikan stimulus-stimulus agar siswa merespon. Contoh: guru menanyakan kabar siswa “how are you today”? Dengan stimulus pertanyaan tersebut siswa akan menjawab “i’m fine, and you?” dan guru memberikan jawaban serta penguatan “okey, good and i’m fine too”, dari sitauasi tersebut guru dapat megkondisikan kelas. Pendekatan humanistik, pendekatan psikodinamik. Pendekatan kognitivisme,  dan pendekatan sosial.


Selain menggunakan pendekatan guru harus memahami bagaimanakah perkembangan siswa dalam memperoleh bahasa. Pemerolehan bahasa pada manusia diawali sejak umur 0 dengan menyimak suara yang berada disekitar dan sudah dapat berbicara hanya mengeluarkan suara tangisan atau tertawa kemudian berkembang sampai 1 tahun, anak dapat mengkombinasikan suara vokal dan suara kosnonan, seperti: aaa...., emmm.., maaa..., paaa... Pada tahap ini suara yang dikeluarkan anak seperti mengandung makna, walaupun ia belum tidak mengetahui maksudnya. Perkembangan selanjutnya pada usia 1-2 tahun anak sudah dapat mengerti kosakata yang didengar dan menirukannya dengan mengucapkan. Seperti, anak lapar dan hanya mengucapkan mamam, yang artinya anak meminta makan. Anak belum dapat memproduksi kalimat tetapi hanya satu atau dua kata saja. Selanjutnya, pada usia 2-3 tahun anak megalami perkembangan yang cukup pesat, anak telah menguasai dan mengerti 300-1000 kosakata, tetapi belum dapat menggunakannya dalam percakapan. Kesenangan anak merangkai kalimat dengan menggunakan intonasi, misalnya, guk.. guk..., negong.. ngeong... Perkembangan selanjutnya 3-4 tahun, anak sudah mampu berkomunikasi dengan orang-orang yang berada disekitarnya dengan membuat kalimat lebih dari dua kata tetapi strukturnya belum baik. Rasa keingin tahuan anak sangat tinggi pada masa ini, anak sering bertanya “apa ini?” “mengapa begitu?”. Dari rasa ingin tahunya itu anak telah memiliki kosakata sangat luas yang meliputi kosep-konsep: warna, bentuk, ukuran, perasaan, dan sebagainya. pada masa ini, waktu bermain anak sangat tinggi dan sering sekali anak bermain memasak, boneka, mobil-mobilan berbiacara dengan dirinya sendiri sesuai dengan imajinasi yang berkembang dipikirannya. Pada usia 4-6 tahun anak sudah dapat berbicara dengan lancar, anak menguasai 2500 kosakata dan secara aktif menggunakannya untuk berkomunikasi, susunana strukturnya mulai membentuk, seperti: “Ahmad suka kue itu”, “Aku mau main bola”. Perkembangan bahasanya bergerak pada hal-hal yang nyata dibadingkan dari perkembangan sebelumnya, anak sudah bisa bercerita, menghindakan rasa malu. Selanjutnya, perkembangan kemampuan berbahasa usia 6-7 tahun, usia anak sudah memasuki sekolah dasar, anak sudah mampu berkomunikasi dengan baik dengan memproduksi kalimat yang lebih kompleks dan menerapkan aturan tata bahasa yang sudah sejajar dengan kemampuan orag dewasa. Anak sudah mampu mengungkapkan apa yang mereka lakukan, yang akan mereka lakukan, keberhasilan yang ingin dicapai.


Bahasa pertama diperoleh anak sejak kecil, tanpa ia sadari bahasa tersebut dapat dikuasainya karena sering menyimak bahasa dari orang-orang sekitarnya, disebut juga bahasa Ibu. Ibunya menggunakan bahasa Jawa maka anak memiliki bahasa pertama bahasa Jawa. Kemudian, fenomena yang terjadi sekarang adalah di PAUD anak-anak sudah mendapatkan pembelajaran bahasa kedua seperti bahasa Indonesia dari berkomunikasi dengan gurunya kemudian diajarkan juga kosakata bahasa Inggris. Hal tersebut dapat saja diikuti oleh anak namun secara fonologis pengucapannya belum benar, dan dari segi makna anak juga belum memahaminya. Fenomena tersebut menyebabkan kerancuan pada masing-masing bahasa, bahasa mengalami keracunan dan mengakibatkan terjadinya alih kode dan campur kode. Contoh alih kode, anak-anak berkomunikasi dengan teman sebayanya menggunakan bahasa Ibu mereka, misalnya bahasa Jawa kemudian ada Ibu Guru masuk lewat dan bertanya pada salah satu dari mereka menggunakan bahasa Indonesia maka anak tersebut akan menjawab menggunakan bahasa Indonesia. Terjadi peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Contoh campur kode, Ahmad bertanya pada Ani menggunakan bahaa Indonesia, “Ani, bagaimana liburanmu”, kemudian Ani menjawab, “Yah, liburanku very excaited”. Percampuran frasa “very excaited” tersebut dalam bahasa Indonesia disebut dengan cmpur kode.


Perkembangan setiap anak akan terlihat berbeda-beda karena setiap anak berasal dari latar belakang yang berbeda, dan faktor yang paling berpengaruh adalah faktor bawaan dan faktor lingkungan anak. Misalnya, anak yang memiliki orang tua bekerja dibidang musik maka anak akan terbiasa dari kecil dengan musik, memilki intelegensi dalam bidang musik dan karena lingkungannya para pemusik maka kemungkinan memiliki gaya belajar untuk mendapatkan informasi dan ilmu  menggunakan audio. Keragaman individu tersebut memberikan perbedaan anak dalam beberapa hal, seperti: perbedaan intelegensi, perbedaan kepribadian, perbedaan dalam gaya belajar, dan perbedaan tempramen.


Intelegensi atau kemampuan setiap anak tidaklah sama, menurut Gardner kecerdasan atau intelegensi ada 8 macam yaitu: Kecerdasan linguistik, Intelegensi logis-matematis, Intelegensi Musik, Intelegensi kinestetik, Intelegensi Visual-Spasial, Intelegensi Interpersonal, Intelegensi Intrapersonal, dan Intelegensi Naturalis. Dikaitkan dengan pengajaran bahasa, guru dapat mengajarkan bahasa dengan menggunakan pendekatan mutiple intelegensi. Anak yang memiliki kecerdasan linguistik cenderung lebih mudah dalam memaknai kata dan mengekpresikan melalui bahasa, guru hanya perlu mengarahkan dan memfasilitasi anak dengan memberikan buku bacaan sastra kemudian meningkatkan kemampuan menulis ilmiah dan non-ilmiah. Anak yang memiliki intelegensi logis-matematis dapat dengan cara studi kasus, anak dibeikan masalah mengenai materi bahasa dan sastra kemudian anak tersebut akan secara logis memecahkan masalah tersebut. Selanjutnya, anak dengan intelegensi musik, pengajaran bahasan dapat diajarkan memalui audio, siswa menyimak musikalisasi puisi, story telling, dan sebaginya. Siswa yang memiliki kemampuan kinestetik cenderung aktif gerakannya, pembelajarannya dapat di lingkungan kelas dengan mengamati lingkungan sekitar sekolah siswa dibimbing untuk membuat puisi, kemudian mewawancarai tokoh-tokoh sekolah.  Kemudian, anak dengan Intelegensi Visual-Spasial, guru dapat memberikan pembelajaran bahasa dengan gambar berseri, puzzle, gambar-gambar ditampilkan dengan bantuan media visual dan audiovisual. Anak yang memiliki Intelegensi Interpersonal, pembelajaran bahasa dapat dengan membentuk kelompok untuk berdiskusi dan mempresentasikannya di depan. Anak dengan kemampuan Intelegensi Intrapersonal, guru dapat memberikan tugas projek bahasa seperi membuat resensi buku, membuat cerpen, atau membuat laporan kegiatan, anak ini cenderung independent, dan belajar dari diri sendiri. Kemudian, siswa dengan Intelegensi Naturalis, guru dapat memberikan pembelajaran yang berkaitan dengan alam, menampilkan cerita tetang alam menggunakan media audiovisual kemudian anak mengungkapkan kembali atau menulis apa yang didapatkan dari cerita tersebut. Siswa akan lebih termotivasi belajar dengan pendekatan yang sesuai dengan kemampuannya.





Sumber Bacaan: Martini Jamaris. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan.










[1] Sudarwan Danim dan Khairil. Psikologi Pendidikan (Dalam Perspektif Baru). (Bandung : Alfabeta, 2010), halaman 20.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar