Gunung Sindoro dari Puncak Gunung Prau, Dieng
Foto: Wulandari Nur Fajryah
Ini adalah pendakian ketigaku setelah Gunung Papandayan, Gunung
Gede Pangrango dan yang ke-tiga adalah Gunung Prau. Dieng. Perjalanan ini
dimulai setelah magrib pada Jum’at, 21 Agustus 2015 saya dan pasangan menuju ke
titik kumpul di Kuningan dan diluar dugaan adik terganteng menyusul setengah
jam sebelum keberangktan. Sesampainya di sana kami menaruh barang, shalat, dan
mengisi perut sebelum perjalanan ke Dieng. Setelah semua tim berkumpul dan mini bus datang pukul 20.30 WIB ka,I
berangkat dan seketika suasana ramai mulai perkenalan dan bercanda diiringi
lagu dari layar TV di depan. Sejam setelah itu bus menjadi hening dan semua
sudah terlelap.
Sabtu, 22 Agustus 2015 pukul 08.00 WIB kami sampai di Dieng dengan
cuaca cerah namun suhu udara dingin merayapi tubuh kami, dan seetika saya lihat
di telepin genggam suhu udara menunjukkan 15 derajat Celsius. Melihat
pemandangan sekitar kanan kiri bukit berjajar dan ditanami berbagai sayuran
(wortel,jagung,kentang,daun seledri,dll) dan buah (tomat,strawberry, dan
carica). Buah yang paling khas di Dieng adalah Carica, buah yang hanya tumbuh
di dataran tinggi dengan suhu dingin inimemiliki bentuk yang sama dengan buah
papaya namun batangnya lebih kokoh,daun lebih kecil, dan buahnya kecil, hanya
sebesar kedondong. buah ini dijadikan makanan, seperti kripik carica dan
manisan carica. Olahan tersebut merupakan oleh-oleh khas Dieng dan ada satu
lagi yang terkenal adalah “Purwaceng” adalah seperti tanaman yang berguna
menghangatkan tubuh biasanya di seduh langsung atau dijadikan campuran pada
susu,teh, atau kopi.
Sesampainya kami di penginapan, kami beres-beres dan membagi tempat
tidur kami, setelah itu bergantian mandi dan jam 11.00 kami meuju wisata telaga
warna, batu rata, menonton teater, candi arjuna, dan kawah belerang. Menjelang
sore kami mulai kelelahan dan mencari makan dengan berbagai menu dan selalu
pesan ayam bakar (pengaruh pasangan) hehehehe, dan susu perwacenng. Rasanya
lumayan dan harga sama seperti di Jakarta.
Di penginapan kami berkemas untuk naik puncak Prau tengah malam,
setelah itu bersih-bersih dan makan lagi biar kuat tidur malamnya. Heheheh.
Udara yang super dingin dan hamper 10 derajat Celsius membuat cepet lapar dan
selalu ingin tidur menurut saya. Hehehe. Setelah isya pukul 21.00 WIB kami
sudah dilapak masing-masing. Bermodalkan sleeping bag akhirnya aku bisa tidur
lelap . Kemudian bangun dengan alarm lagu dangdut dari lantai bawah pada pukul
00.15. Mencoba untuk tidur lagi tapi bau pop mie membuat bangun dan akhirnya makan
dan minum lagi. Aku memakai dua baju berlengan panjang satu lengan pendek dan
jaket tipis serta jaket tebal tahan air, menguunakan dua sarung tangan, dua
kaos kaki, buff, sepatu, koyo untuk hidung, dan tongkat. Pukul 01.00 WIB kami
siap meuju titik pendakin jalur Dieng, kemudian laporan, berdoa bersama, dan
pukul 01.30 kami memulai perjalanan.
Kami mendaki melalui jalur Dieng, tepatnya di belakang
terminal Dieng. Perjalanan ditemani dengan sejuta bintang dan sinar rembulan.
Dipandu dengan pemandu gunung Dieng kami mulai menghafalkan teman siapa yang
berada di depan dan yang ada di belakang kita, tujuannya agar tidak ada yang
hilang atau tertinggal. Dengan semangat yag membara kami menikmat setiap
perjalanan kami yang begitu sunyi senyam dan beberapa kali bertemu dengan
pendaki lain yang mengejar matahari terbit dari puncak Dieng. Tepat pukul 04.00
kami sudah berada di taman Daisy, dan sepanjang perjalanan kami ini banyak
tenda yang berdiri serasa rumah komplek yah, hehehehe. Setelah itu kami harus
jalan dengan pemandangan bukit-bukit di kanan dan kiri, sering disebut dengan
bukit teletubbies, yah alasannya memang bentuk dan warnanya sama seperti acara
anak-anak masa kecil tahun 90-an ini.
Kami terus berjalan dan sampai di puncak
kami menyaksikan matahari terbit lebih awal karena dipuncak gunung sekitar jam
05.00 pagi hari sudah muncul perlahan-lahan. Indah sekali... saya takjub
melihatnya, momen ini saya abadikan di lensa paling bagus di dunia ini yaitu
mata saya sendiri. Pengalaman ini membuat saya berkaca-kaca takjub, merinding
liat kekuasaan Allah yang Maha Besar. Tertegun melihat keindahan sinar matahari
di atas awan dengan pemandangan lima gunung di belakangnya dan yang paling
nampak adalah Gunung Sindoro.
Ragaku Matenggo Dirgantara- Afwan Malik Al-Mumtaz- Wulandari Nur Fajriyah
Cahaya terang dari matahari memberikan harapan untuk
menghangatkan badan ini tetapi salah, saya dan kawan-kawan tak merasakan
kehangat malah menjadi dingin karena hembusan angin yang yang menyibak
kedinginan dan kami harus selalu bergerak untuk mengatasi kedinginan di Dieng,
memang ini lah tantangan terbesar saat naik Gunung Prau, Dieng. Setelah itu,
kami mengabadikan momen ini. Kemudian mencari temoat untuk rebahan sejenak dan
membuat air hangat, makan roti, dan makan mie instan.
Sunrise terindah dalam hidup :)
Tepat pukul 07:30 kami
bersia-siap untuk turun dengan jalur yang berbeda dengan jalur naik sebelumnya.
Jalur turun ini lebih sempit namun lebih cepat, tantangannya adalah turunan
yang tinggi, penuh debu, dan sebelah kiri jurang. Jadi, memang haruslah
berati-hati menggunakan tumpuan kaki jangan hanya kanan saja yah atau bisa dengan
menggunakan bantuan kayu atau teman lain jika turunan tidak rata dan curam,
yang terpenting adalah harus cari pijakan batu jangan tanah karena tanah mudah
longsor dan berdebu. Kemudian gunakan masker dan jaga keseimbangan tubuh.
Penulis merasakan kram di kaki kanan karena selalu turun menggunakan kaki
kanan, beruntung tak terlalu parah dan bisa melanjutkan perjalanan hingga di
bawah jalan stapak walaupun kemudian naik ojek sampai di penginapan.
Hehehehe..... maaf yah kawan-kawan aku mendahului kalian, dan aku sampai di
penginapap sekitar jam 11-an siang. Kemudian mandi dan bersih-bersih.
Perjalanan di akhir ini tak terlalu bagus untuk
diceritakan karena ktika aku mengalami kram, pasangan menagih janjinya kalau
aku kenapa-kenapa mau digendong tapi karena merasa masih bisa untuk jalan kaki
dengan elan-pelan rasanya tak tega L apalah daya, dia yang
keras kepala dan aku sitak menepati janji akhirnya dia ngambek dan jalan
duluan. Hikssss.... yah akhirnya ketemu di penginapan juga saat menjemur baju
penuh dengan debu tanah. Aku akui aku memang salah dan yang tak menepati janji,
mungkin justru akulah yang keras kepala, maaf pah. Terimakasih sudah mengajakku
dan membawaku ke puncak gunung ke-tiga yang kita lalui bersama, susah, senang,
lapar, kenyang, lelah, letih, pegel, terbayar semua karena selalu
bersamamu@hellmember Ragaku Matenggo Dirgantara.
Selanjutnya, puncak manakah yang akan kita tahlukan Pah?
Semeru dulu yah Pah atau Rinjani? Semoga Allah selalu merindhoi perjalanan
kita. Amin, amin ya Rabb.
wah keren banget kak
BalasHapuskartu axis tidak bisa internet