Jumat, 10 Februari 2012

BELAJAR DARI SITI HAJAR

BELAJAR DARI SITI HAJAR


Ibu, kasihmu terus bersinar
Kau ajarkan, baik dan juga benar
Akupun tahu, Allah Maha Besar
Bagiku, engkaulah Siti Hajar



"Bila aku berlayar lalu datang angin sakal, Tuhan yang ibu tunjukkan telah aku kenal." Tulis KH. D. Zawawi Imran (budayawan asal Madura), dalam sajaknya yang berjudul ‘Ibu’. Penggalan puisi di atas adalah ekspresi salam ta’dzim sang penulis kepada ibunya yang telah melahirkannya. Ibu adalah wanita yang kasihnya begitu tulus. Ia berikan separuh jiwanya untuk buah hatinya. Sejak dalam kandungan, kita sudah begitu nyaman berada dalam lindungan ibu. Lalu, pernahkah kita berfikir, bagaimana kita membalas kasih tulus sang ibu?
            Anak adalah amanah Allah. Sementara orang tua adalah pemegang amanah besar tersebut. Menunaikan amanah dengan baik akan diganjar surga. Sedangkan menyia-nyiakan amanah adalah dosa besar. Itu pula yang menggambarkan kecintaan Siti Hajar kepada anaknya, Isma’il AS. Ia telah mengurusi Isma’il AS dengan segenap kemampuan. Namun ia sadar bahwa amanah itu adalah titipan. Titipan itu adalah milik Sang Penitip. Sang Penitip itu tiada lain adalah Allah SWT.
            Ketika Allah SWT memerintahkan Ibrahim AS untuk menyembelih putranya, Siti Hajar tidak sama sekali melayangkan protes. Sebagai ibu yang sangat menyayangi anaknya, ia (tetap) sadar bahwa pemilik Isma’il AS yang sejati hanyalah Allah. Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, ia merelakan Isma’il AS untuk dijadikan sesembelihan. Rasanya, sangat sukar menemukan Siti Hajar saat ini. Bagaimana mungkin seorang ibu tega (Jawa; tegel) melihat anaknya dibunuh, dan oleh bapaknya sendiri.
            Siti Hajar memang bukan wanita biasa. Ia adalah sosok wanita yang luar biasa. Wajar kalau kemudian anaknya, Isma’il AS, diangkat pula oleh Allah sebagai seorang nabi dan rasul. Siti Hajar telah mengajarkan kepada para ibu untuk bijak dalam menyikapi karunia Tuhan. Jangan sampai karena kecintaan kepada sang anak menjadikan manusia lupa akan kebesaran Ilahi. Ketika kita lebih mencintai dunia, termasuk sang anak, lebih dari cinta kita kepada Allah maka tunggulah keputusan-Nya. Itu karena Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. at-Taubah [9]: 24)
            Konsistensi ketaatan kepada Allah sering kali harus berbenturan dengan kecintaan manusia kepada anak keturunannya. Itulah yang dialami oleh Siti Hajar, ibunda Isma’il AS. Benturan tersebut, sebenarnya, adalah ujian yang berat dari Allah SWT, kepadanya. Dalam kisahnya, Siti Hajar telah berhasil menunjukkan kepada Allah akan kemurnian taatnya, walaupun harus merelakan anak satu-satunya menjadi tebusannya. Sungguh luar biasa! Tentu kita mendambakan sosok Siti Hajar hadir di tengah-tengah kita.
            Sosok ibu adalah qudwah yang paling dekat bagi seorang anak. Dalam Islam, seorang anak idealnya disusui oleh ibunya selama kurun waktu 2 tahun. “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna…” (QS. al-Baqarah [2]: 233). Ibu dengan penuh ketulusan, merelakan hari-harinya untuk bersanding-ria dengan buah hatinya. Selama 2 tahun, ibu memberikan air susunya untuk kelangsungan hidup sang anak. Sudah tidak diragukan lagi hikmah dari perintah ini. Kandungan gizi air susu ibu memang tidak pernah mampu tergantikan.
            Sejak anak dalam kandungan, sejatinya sudah mulai belajar akan arti kehidupan. Ia sudah dapat menangkap kondisi alam sekitar yang mengitarinya. Kemudian lahir ke dunia, menyapa alam semesta. Sang ibu menjadi pendampingnya yang begitu ramah. Ibu menyediakan segenap kebutuhan bagi buah hatinya. Lalu, bagaimana dengan ibu yang tega membunuh anaknya? Mungkin benar kata orang. “Semua ibu itu perempuan, tetapi perempuan itu belum tentu keibuan.” Ibu yang tega membunuh itu memang tetap seorang ibu, tetapi ia tidak memiliki jiwa keibuan. Na’ûdzubillah
Keteguhan Iman Siti Hajar
            Bagaimana Siti Hajar begitu yakin dengan perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya. Padahal, Isma’il AS laksana buah hati belahan jiwa, baginya. Ibrahim AS dan Siti Hajar baru mendapatkan sang putra dalam usia yang tidak lagi muda. Setelah mendapatkan dambaan hatinya, Isma’il AS, justru Allah memerintahkan keduanya untuk menyembelihnya. Luar biasa kegundahan jiwa Ibrahim dan istrinya ketika itu.
            Siti Hajar digoda, setelah setan gagal menggoda Ibrahim AS dan Isma’il AS. Setan seolah berbisik, “Tidakkah kamu sayang kepada anakmu yang kamu bela berlari dari (bukit) Shafa dan Marwah untuk mencari air minum!” Atau, setan membisikkan, “Kamu seorang ibu yang tega membiarkan bapaknya yang tidak ikut merawat sejak bayi, tapi justru (akan) menyembelihnya ketika anak itu beranjak remaja.” (Fathurrofiq, Radar Jogja, 4/11/11).
            Seandainya Siti Hajar memrotes tindakan yang akan dilaksanakan Ibrahim AS, besar kemungkinan Ibrahim AS akan mengurungkan niatannya. Namun ternyata keimanan Siti Hajar begitu tangguh. Ia tidak sama sekali terbawa oleh bujukan setan. Ia kemudian mengumpulkan beberapa kerikil dan melemparkannya kepada setan. Itu sebagai pertanda akan ketaatan pada Tuhan dan upaya untuk mengindarkan diri dari godaan setan. Prosesi melempar setan yang dilakukan Ibrahim AS, Isma’il AS, dan Siti Hajar, diabadikan dalam syariat haji. Syariat itu yang dikenal dengan istilah melempar jumrah (ram’yu al-jumrah).
            Seorang ibu, selain harus taat kepada Allah, juga harus menanamkan ketauhidan kepada anaknya. Dengan tauhid, sang anak mengerti hakikat penciptaannya di dunia. Ia diciptakan tiada lain hanyalah untuk mengabdi kepada Allah SWT (QS. adz-Dzâriyât [51]: 56). Segala kebaikan yang dilakukan di dunia, termasuk berbakti kepada orang tua, adalah manifestasi dari pengabdian kepada Allah. Hal itu karena berbakti kepada orang tua adalah perintah Allah SWT dalam kitab suci-Nya (QS. al-Isrâ’ [17]: 23).
Zam-zam sebagai Kenangan
            Kisah Siti Hajar, memberikan pelajaran yang berharga bagi umat manusia. Siti Hajar adalah ibu yang begitu sayang dan cinta kepada anaknya, Isma’il AS. Ia rela berlari-lari kecil untuk mencari air, demi menghilangkan dahaga putranya. Sementara ia juga sedang merasakan hal yang sama. Namun yang terfikirkan kala itu adalah bagaimana Isma’il bisa meminum air. Antara Shafa dan Marwah, Siti Hajar berlarian sebanyak 7 kali. Hanya fatamorgana (sarâb) yang menjadikannya yakin akan adanya air. Tetapi sebanyak 7 kali bolak-balik, ia tetap gagal mendapatkan air.
            Akhirnya, Allah menunjukkan kepadanya, bahwa dengan menghentakkan kaki maka akan keluar air. Sumber air itulah yang sampai saat ini tidak pernah berhenti memancarkan air. Ia terus mengalir, menjadi sumber kehidupan bagi umat manusia, khususnya penduduk Mekah, dan tentunya jamaah haji. Kita juga sadar begitu berharganya air dalam kehidupan. “… Dan Kami Jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman?” (QS. al-Anbiyâ’ [21]: 30).
            Ternyata perjuangan Siti Hajar, tidaklah sia-sia. Manfaat dari usaha kerasnya dikenang sepanjang masa. Tidak pernah termakan usia. Itu karena zam-zam menjadi air kehidupan yang juga berguna untuk sebagai obat penyembuhan pelbagai penyakit. Singkat kata, air zam-zam yang pernah kita teguk adalah berkat perjuangan Siti Hajar. Palajaran berharga dari kisah ini adalah, bagaimana seorang ibu di masa kini, berperan aktif dalam kehidupan. Sehingga perannya akan terkenang sepanjang masa.
Siti Hajar dan Peran Wanita
            Ustadzah Khofifah Indar Parawansa (juri kontes dai muda ANTV), menyadari bahwa peran wanita yang begitu kuat dalam lintasan sejarah Islam, tidak banyak diungkap. Para dai/muballigh, nampaknya belum akrab untuk mengobarkan kisah perjuangan heroik wanita yang patut dijadikan teladan. Padahal seharusnya, banyak kisah yang dapat dieksplorasi lebih jauh, termasuk kisah Siti Hajar yang luar biasa inspiratif. Sehingga, wanita dapat ditempatkan secara proporsional dalam kehidupan sosial.
            Siti Hajar adalah wanita, istri, ibu yang berhasil menemani dakwah suaminya. “Di sebelah lelaki sukses, ada seorang wanita yang mendampingi, dan wanita itu adalah istrinya,” tulis Ahmad Rifa’i Rif’an dalam bukunya. Hal itu pula yang menggambarkan suksesnya perjuangan Nabi Ibrahim AS tidaklah lepas dari hadirnya Siti Hajar dalam kesehariannya. Dalam hal ini, ibu adalah partner sang ayah yang terus memompa semangat juang untuk berbuat baik demi kemaslahatan umat manusia. Semoga hal ini membukakan mata hati untuk tidak menomorduakan peran wanita dalam kehidupan.
            Kisah Siti Hajar menyadarkan kita akan besarnya peran seorang ibu. Di mana ibu di saat yang sama harus mengabdi kepada ayah (suaminya) dan berkewajiban untuk mengurusi sang anak. Kita faham bahwa berbakti kepada orang tua, khususnya ibu, adalah sangat mulia. Pertanyaan penting, kapan terakhir kali kita berdoa untuk ibu kita? Tulisan ini memotivasi kita untuk menyayangi ibu, walau “sayang” itu tidak akan dapat menebus budi baik dan jasanya. Semoga! Allahumma ighfirlanâ wa liwâlidainâ warhamhumâ kamâ rabbayânâ shighârâ. Âmîn. Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar