Apresiasi Cerpen: Cerpen “Batik Kopi Pecah”
Ulin Nuha
Kata
“Batik”, adalah kata yang begitu penting dalam cerpen “Batik Kopi Pecah” karya
Ulin Nuha, siswa MA Perguruan Islam Al-Hikmah, Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.
Dari kata itulah cerpen ini tercipta karena pengarang ingin mengangkat
kebudayaan membuat Batik dengan cara tradisional, dan dari kata itu pula
masalah diselesaikan yaitu dengan menemukan motif batik yang natural yaitu Kopi
Pecah. Batik adalah kata kunci dalam cerpen itu yang sudah jelas kita ketahui
dari judul cerpennya, dan secara alur penceritaan cerpen ini membuat sebuah konflik
dan penyelesaian yang tidak terduga oleh pembaca. Cerpen ini secara keseluruhan
ingin menceritakan bagaimanakah asal usul Batik bermotif Kopi Pecah yang
pembentukannya tidak disengaja dan dikarenakan peristiwa yang terjadi dalam
cerpen.
Meskipun cerpen itu fiksi tapi
pengarang atau setiap orang tetap memandang atau mengangkat gambaran suatu
masyarakat atau budaya daerahnya. Bagaimana karya sastra menggambarkan
masyarakatnya ? Inilah yang ingin digambarkan dalam cerpen itu yaitu ingin mengangkat kebudayaan
batik dengan cara pembuatan yang masih tradisional yang ada di daerahnya dan
memiliki motif yang natural yaitu kopi pecah. Mungkin dari sinilah pengarang
mendapatkan inspirasi untuk membuat sebuah karya yang menceritakan asal mula
batik yang bermotif kopi pecah, dan memiliki kelebihan yaitu lebih natural.
Pengarang menceritakan cerpen
ini lewat pencerita orang ketiga yang menurut pandangan saya membuat versi
sesuai dengan inspirasinya, bagaimana asal mula tercipta batik bermotif kopi
pecah? Pengarang begitu yakin dan membanggakan bahwa motif batik pecah ini
adalah motif yang terbagus sampai pendapatkan penghargaan.
1,
Mengungkap Isi melalui Analisis Struktural
Analisis
struktural, pendekatan intrinsik, atau pendekatan objektif termasuk penelitian,
telaah, atau pengkajian terhadap karya sastra sendiri. Perbedaan istilah itu
lebih disebabkan oleh perbedaan cara pandang peneliti menempatkan dan memberi
pengertian terhadap karya sastra. Dalam analisis struktural misalnya, karya
sastra dianggap sebuah struktur; ia hadir dan dibangun oleh sejumlah unsur yang
berperan secara fungsional. Analisis struktural mencoba menguraikan keterkaitan
dan fungsi masing-masing unsur tersebut sebagai kesatuan struktural.[1] Jadi,
pusat perhatian analisis struktural adalah hubungan fungsional antarunsur itu
sebagai satu kesatuan. Kesatuan unsur-unsur itu bukan cuma kumpulan atau
tumpukan hal-hal tertentu yang berdiri sendiri, namun saling berkaitan,
terikat, bergantung satu sama lain.
Pendekatan
intrinsik pun pada dasarnya sama dengan analisis struktural. Karya sastra
dianggap di dalamnya mempunyai sejumlah elemen atau peralatan yang saling berkaitan
dan masing-masing mempunyai fungsinya sendiri.[2]
Pendekatan intrinsik mencoba menjelaskan fungsi dan keterkaitan elemen (unsur)
atau peralatan itu tanpa menghubungkannya dengan faktor di luar itu, seperti
biografi pengarang, latar belakang penciptaan, atau keadaan dan pengaruh karya
sastra kepada pembacanya.
Adapun
pendekatan objektif menempatkan karya sastra yang akan diteliti atau dianalisis
itu sebagai objeknya. Mengingat karya sastra yang menjadi objeknya mempunyai
unsur-unsurnya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dilepaskan, maka unsur-unsur
itulah yang hendak diuraikan dalam pendekatan objektif.
Sebagai
bahan apresiasi, berikut ini akan dibicarakan sebuah cerpen Ulin Nuha, “Batik
Kopi Pecah” berdasarkan analisis struktural.
Cerpen
“Batik Kopi Pecah” menampilkan sebuah keluarga kecil yang berada di sebuah desa
yang tidak disebutkan secara terperinci namun tersirat dari bahasa yang
digunakan dalam dialog dan bentuk rumah yang berbentuk limas yang menjadikan
ciri khas rumah jawa, masyarakat yang sederhana
berikut kutipannya:
”Nduk. Ayo cepetan
masuk. Ntar kamu sakit lagi,” seru lembut bersumber dari beranda rumah.
(paragraf 3)
Mereka bertiga masuk rumah yang bentuknya limas dengan ruang tamu
menjorok ke depan sementara ruang berikutnya adalah ruang keluarga yang
disampingnya terdapat dua kamar. Di belakangnya adalah ruang ibunya. Yanti
untuk melukis batik, di belakangnya lagi adalah pekarangan dan kandang ayam,… (paragraf
6)
Latar
yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan
dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis,
documenter, dapat pula berupa deskripsi perasaan. Latar adalah lingkungan yang
dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora, atau ekspresi tokohnya (Wellek dan
Waren, 1989). Jadi, latar dalam cerpen itu secara umum di sebuah desa, disalah
satu bagian pulau jawa. Yang sebagian besar berlatarkan di rumah yang sederhana
berbentuk limas. Tokoh Yanti, yang mendapatkan porsi diceritakan oleh pencerita
yang lebih besar, karena dalam beberapa ceritanya Yanti lebih sering berada di kamarnya dan seorang anak yang
peka terhadap lingkungan sekitarnya, seperti: menyukai hujan berlatar di depan
rumah, aroma cairan diwajan yang sedang dipanaskan dikompor untuk membatik
berlatar di runagan membatik ibunya. Konflik yang terjadi diawali peristiwa
Yanti mengagumi aroma dan biji kopi, dan dengan biji kopi yang dikagumi oleh
Yanti yang berlatar di pekarangan rumah dan dari latar inilah cerita itu
berakhir
Sebuah karya sastra yang baik adalah karya yang konsisten dalam
menampilkan tokoh, alur, latar, sudut pandang dari awal hingga akhir cerita.[3]
Akan saya bahas, bagaimanakah konsisten yang diciptakan pengarang dalam cerpen
ini.
Jika pencerita berada di luar
(pencerita diaan, eksternal), ia dapat menjadi pencerita mahatahu, yakni
pencerita mengetahui maksud dan pikiran semua tokoh serta semua yang mereka
lakukan. Semua tokoh dipandang dari dalam (fokalisasi intern).[4]
Di cerpen itu pencerita hanya satu yaitu orang ketiga (diaan) yang berada di
luar cerita tidak berfungsi dengan baik/pengarang salah dalam menggunakan sudut
pandang. Karena pencerita di bagian pendahuluan/awal cerita hingga ke konflik
diceritakan secara rinci dari satu bagian ke bagian yang lain. Tetapi ketika
memasuki konflik hingga penyelesaian hanya mendapatkan porsi yang sedikit
artinya pencerita tidak menceritakan konflik secara jelas dan rinci begitu pula
dengan penyelesaian yang begitu cepat dimunculkan. Terkesan pencerita
terburu-buru dalam menyelesaikan cerpen itu, sehingga pembaca menjadi binggung
karena antara konflik dan penyelesaian seperti memiliki kerenggangan yang
panjang atau jarak waktu yang panjang yang tidak dijelaskan secara terperinci,
membuat pembaca binggung dan harus menafsirkan sendiri apa yang terjadi dan
bagaimana itu semua bisa selesai. Begitu pula pencerita tidak menjelaskan siapa
yang menjadi pelaku penusukan bapak Yanti yang menjadi klimaks konflik. Dibagian
lain ada beberapa konflik yang dibangun dalam jiwa tokoh Yanti yaitu ketika
tidak bisa bermain bersama hujan dan dirinya yang tidak bisa berteriak untuk
meminta pertolongan.
Bagaimanakah hubungan antara
tokoh ? inilah pertanyaan yang penting yang akan mengkerucut pada sebuah tema.
Hubungan antara tokoh Yanti,Ibu, dan Bapak digambarkan secara terperinci
melalui dialog-dialog antar tokoh, sebagaimana hubungan keluarga antara anak
dan orang tua. Tetapi ada sesuatu atau ketidakterbukaan orang tua terhadap
anak. Tidak akan ada abu jika tidak ada abunya. Inilah yang dipertanyakan ?
mengapa keluarga Yanti yang diceritakan dari awal harmonis tetapi diakhir
cerita mendapatkan musibah penusukan bapak Yanti, dari konflik inilah muncul
hikmah yang merubah hidup Yanti, untuk merelakan tidak bermain dengan hujan
lagi dan harus membantu ibunya membatik.
Tokoh
Yanti menjadi sentral dalam cerpen ini karena
dari awal hingga akkhir cerita menceritakan keadaan dan aktifitas dia.
Dari awal menceritakan dia yang sedang hujan-hujanan dan diakhir mendapatkan
penghargaan pembuat motif yang natural yaitu kopi pecah. Yanti adalah seorang
tunawicara yang sebabnya tidak diceritakan secara jelas. Secara biologis
tunawicara dapat dialami karena gen/keturunan tetapi Yanti bukan keturunan dari
pasangan yang tunawicara.
Ibunya
yang sangat sayang dan mencintai Yanti adalah seorang pembatik yang diceritakan
beraktifitas di pagi hari yaitu membatik dengan menggunakan alat yang masih
tradisional, wajan yang dipanaskan dengan kompor yang berisi cairan untuk
membatik pada sebuah kain menggunakan alat yang disebut canting.
Ayahnya
seorang yang keras dan tegas layaknya seorang bapak dan seorang yang tabah
karena ketika mengalami penusukan masih tetap terseyum menghadapinya. Jika
diperhatikan tokoh ibu dan ayah tidak dimunculkan memiliki nama. Ini menunjukkan bahwa watak tokoh ibu dan
bapak digambarkan secara umum watak bapak dan ibu di adat jawa. Ibu yang
sayang, cinta, perhatian sehingga menjadi khawatir pada anaknya. Dan bapak yang
tegas, keras dan sabar ketika terkena musibah.
Menurut definisinya, tokoh
adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai
peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1990). Disamping tokoh utama (protagonist),
ada jenis-jenis tokoh lain yang terpenting adalah tokoh lawan (antagonis) yakni
tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama.[5]
Dapat dipahami dalam cerpen tersebut tokoh utama adalah Yanti yang ingin
mencapai tujuan tetap menjaga biji-biji kopinya, sedangkan tokoh antagonis yang
menghalangi tujuan tokoh utama yang malah mencapai sebuah tujuan dari pengarang
terbentuk motif kopi pecah yaitu ibu, bapak dan orang yang menusuk bapak.
Karena bapak dan ibu melolong keras dari pekarangan rumah yang menjadikan Yanti
kaget dan dilemparkannya bungkusan kain putih yang berisi biji kopi.
Bahasa yang digunakan dalam cerpen itu secara umum menggunakan
bahasa yang mudah dipahami, tetapi ada beberapa bahasa yang menggunakan majas
dan metafora. Jika dilihat dari judul cerpen
“Batik Kopi Pecah”, memiliki makna ambiguitas. Yang pertama yaitu sebuah batik
yang bermotif biji kopi yang sudah pecah. Dan kedua adalah sebuah batik yang
dibentuk dari sebuah kopi yang harus dipecahkan terlebih dahulu. Jika kita
lihat dari makna tersurat “Batik” identik dengan sandang yaitu sebuah bahan
yang dapat dibentuk menjadi baju, selendang, dan lain sebagainya, sedangkan
makan tersirat dari kata tersebut adalah kebudayaan, ciri khas, kebanggaan,
tanda, kerajinan tangan, dan penghasilan. “Kopi Pecah”
Tema
sebagai pokok persoalan dalam sebuah wacana (discourse) kehadirannya tidak
terlepas dari motif-motif sebagai tema yang lebih kecil. Motif-motif itulah
yang kemudian membangun sebuah tema cerita. Sementara tema sendiri sebagai
salah satu unsur dalam struktur itu kedudukannya sama seperti unsur lain. Ia
terkait erat dengan unsur lainnya. Lalu bersama unsur-unsur lain itulah, sebuah
wacana dalam kesatuan struktur naratif terbangun.[6] Dalam
cerpen “Batik Kopi pecah”, dapat dicermati motif-motif yang melingkari tokoh
Yanti. Tunawicara, menyukai hal-hal disekitarnya, hidup dalam keluarga harmonis yang sangat memperhatikan keadaan
dia yaitu bapak dan ibunya, dan suatu peristiwa terjadi dalam keluarganya
adalah penusukan bapaknya, inilah yang menjadikan sebuah titik keberhasilan
Yanti dalam membuat motif kopi pecah secara tidak sengaja, sehingga mendapatkan
penghargaan. Dari sinilah dapat diketahui
bahwa setiap manusia dibalik kekurangannya mendapatkan sebuah kelebihan, inilah
yang dialami Yanti. Dari rasa menggagumi biji kopi, tapi dari biji kopi dia
dapat membuat sejarah besar dalam dunia batik.
2.
Dari sudut isi atau tema cerpen itu mengandung dua hal yang menarik. Pertama,
ia ingin menekankan bagaimana asal mula munculnya motif kopi pecah, yang
dituangkan dalam sebuah cerpen dengan awal mula Yanti mengagumi biji dan aroma
kopi yang disimpan dan dibungkus dalam kain putih yang masih bersih kemudian
mendengar suara lolongan yang keras dari pekarangan rumah yang ternyata di
perut bapaknya menancap erat pisau sehingga membuat kain putih yang berisikan
kopi yang dibawanya terlempar jatuh dan hancur berkeping-keping. Ini lebih
menarik karena dari awal sudah jelas bahwa Yanti menyukai hal-hal yang ada
disekitarnya, seperti, menyukai hujan, menyukai aroma cairan batik dan yang
terakhir mengagumi aroma dan bentuk biji kopi.
Yang
menarik adalah penggambaran sosok Yanti yang tunawicara, dengan kata lain panca
indranya tidak lengkap. Panca indra yang lengkap ada lima, jika kita ibaratkan
100% dibagi panca indra kita 5 maka hasilnya akan seimbang 20 untuk
masing-masing panca indra. Tetapi jika panca indra kita tidak lengkap atau
hanya 4 maka 100% dibagi 4 hasilnya 25 untuk keempat panca indra. Jadi, jika
salah satu panca indra kita tidak berfungsi/rusak maka panca indra yang lain
akan lebih peka terhadap sesuatu. Begitu pula yang dialami Yanti seorang yang
tunawicara tetapi dari indra kulit merasakan dan menyukai hujan, kemudian indra
penciuman dan penglihatan menyukai, mengagumi aroma tinta, dan bentuk serta
aroma kopi, yang terakhir indra pendengaran yaitu ketika bangun pagi mendengar
kokokan ayam yang kaget dan mendengar lolongan keras dari pekarangan rumahnya.
Kedua,
pencerita yang menggunakan alur maju, menceritakan cerita secara kronologis dan
memberikan efek yang sangat menarik membuat pembaca tak menyangka dan tak
menduga-duga bahwa inti dari sebuah motif yang terbagus adalah dari suatu peristiwa
menancapnya pisau di perut bapaknya. Ini dipengaruhi karena pencerita
menceritakan alur yang sangat maju pada bagian akhir cerita tanpa menceritakan
prosesnya.
Yang
menarik lagi, beberapa peristiwa didahulu dengan kata “Tiba-tiba” ini
menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi itu tidak diduga-duga oleh tokoh, dan
ditampilkan secara tiba-tiba oleh pengarang.
Tiba-tiba
terdengar lolongan keras, membuat jantung Yanti berdebar-debar. Yanti ingin
bergerak, tapi waktu seakan-akan membelenggu dirinya untuk bergerak. Disusul
dengan mendung yang sekejap berkumpul dan bunyi menggelegar petir menambah
getaran gantung (paragraf 26)
Kutipan
diatas merupakan bagian awal dari konflik yang terjadi pada cerpen itu. Dan
dari konflik/peristiwa itulah cerpen itu diselesaikan.
Dan
terakhir yang menarik dari cerpen itu adalah pengarang yang ingin menyampaikan
pesan atau amanat yang sangat banyak, yaitu : janganlah menganggap suatu
peristiwa dari sisi buruk yang membuat tidak semangat hidup tetapi pandanglah
bahwa setiap peristiwa yang terjadi dapat membawa hikmah, janganlah memandang
seseorang dari fisiknya tapi apa karyanya ?
3.
Sekedar catatan kecil, beberapa kelemahan cerpen itu perlu juga disinggung
untuk menunjukkan betapa keterkaitan antarunsur yang membangun struktur naratif
cerpen ini mesti berperan secara fungsional.[7] Keadaan
Yanti yang tunawicara digambarkan mempunyai kelebihan-kelebihan panca indra lainnya.
Tapi ini tidak sesuai dengan fakta yang ada, karena pada faktanya adalah orang
yang mengalami tunawicara maka pendengarannya pun akan terganggu. Tetapi di
dalam cerpen Yanti mempunyai pendengaran yang peka. Perhatikan kutipan di bawah
ini:
Tiba-tiba
kokokan ayam membuatnya sedikit kaget, sampai-sampai dia akan jatuh dari
posisinya yang menyandar di ambang pintu. (paragraf 13)
Tiba-tiba
terdengar lolongan keras, membuat jantung Yanti berdebar-debar. Yanti ingin
bergerak, tapi waktu seakan-akan membelenggu dirinya untuk bergerak. Disusul
dengan mendung yang sekejap berkumpul dan bunyi menggelegar petir menambah
getaran gantung (paragraf 26)
Di samping itu ada bahasa Jawa
yang digunakan dalam dialog antar tokoh. Perhatikan beberapa kutipan berikut: ”Nduk.
Ayo cepetan masuk. Ntar kamu sakit lagi,” seru lembut
bersumber dari beranda rumah. Penggunakan kata yang bercetak tebal itu
merupakan nama panggilan untuk anak perempuan dalam suku jawa. Tersirat dari
dialog dengan nama panggilan tersebut keluarga kecil ini bersuku jawa.
Sepintas, rasa bahasa Jawa
terkesan sebagai inti dalam cerpen “Batik Kopi Pecah”, tapi menurut saya rasa
bahasa Jawa hanya ditampilkan/hanya terasa melalui nama panggilan Nduk dan
penggunaan kata toh yang artinya rasa bahasa jawa hanyalah tempelan dari bahasa
yang di ungkapan dengan bahasa Indonesia. Ini sejalan dengan posisi pengarang
yang ingin mengangkat dan menceritakan bagaimana asal mula batik yang bermotif
natural yaitu kopi pecah. Kata “seru lembut” menunjukkan bahwa pengarang
menggunakan pilihan kata yang begitu berhati-hati dalam menggambarkan sosok
seorang ibu tetapi pemilihan kata ini menunjukkan keragu-raguan pengarang dalam
memberi watak pada orang tua yang ingin tetap terlihat sayang pada anak.
“Yanti, ayo
masuk!” seru bapak kemudian yang nadanya sedikit keras kepada
Yanti….” (paragraf 5)
Sebagai cerpen yang ingin
menceritakan bagaimana asal mula batik yang bermotif kopi pecah menurut versi
pengarangnya atau imajinasi pengarang, cerpen ini sangat didukung oleh bahasa
yang mengalir lancar dan jernih khususnya dalam menggambarkan suasana demi
suasana. Bahasa disitu menggambarkan peristiwa dengan dingin dan datar, karena
bahasa tidak digunakan secara maksimal untuk memperuncing peristiwa yang
terjadi. Ini disebabkan karena pencerita tidak menceritakan bagaimana proses
dan sebab terjadinya peristiwa di dalam cerpen itu. Demikianlah konflik tidak
dibuat gempar oleh (penggambaran) bahasa yang berlebihan. Pengarang atau
narator seakan hanya memotret peristiwa, tanpa melebihkan atau menguranginya.[8]
Karena peristiwa yang diceritakan menjadi awal dan akhir cerita, artinya bahwa
pencerita diaan (orang ketiga) hanya menceritakan dan memotret porsi yanti yang
lebih, oleh karena itu tidak diceritakan secara jelas bagaimana peristiwa
menusukan terhadap bapaknya, siapa yang melakukanannya dan atas dasar apa
melakukan penusukan itu ?. Begitupula yang terjadi dengan Yanti yang
tunawicara, apa sebabnya yanti tunawicara padahal penderita tunawicara salah
satunya dapat disebabkan oleh keturunan atau gen tetapi ibu dan bapaknya tidak
tunawicara. Sehingga fungsi pencerita diaan (orang ketiga) dalam cerpen ini
tidak bekerja secara maksimal (tidak maha mengetahui) karena hanya menceritakan
bagian yang mendukung saja, seperti kesukaan yanti, aktifitas keluarga, dialog
antara yanti pada ibu dan yanti pada bapak dalam beraktifitas tanpa
menceritakan atau menjelaskan konflik dan peristiwa dalam cerpen tersebut.
Peristiwa
penusukan terhadap bapaknya Yanti di akhir cerita, misalnya, tampak kurang
didukung oleh hadirnya tokoh lain, siapa yang menusuk ?, seakan-akan hanya
untuk menjadikan bapaknya Yanti tertusuk. Lalu mengapa mesti ada peristiwa
penusukan yang sebabnya kurang jelas ? apakah hanya itu yang bisa membuat yanti
kaget dan melemparkan biji kopi yang dibungkus dengan kain putih ? dimana para
tentangga rumah mereka ? yang secara logis lolongan yang keras apa para
tetangga tidak mendengarnya ?
Peristiwa
lain yang juga menganggu adalah ketika penyelesaian cerita tersebut, peristiwa
bapaknya yang ditusuk menjadikan sebuah hikmah bagi Yanti menciptakan batik
bermotif kopi pecah yang tidak diceritakan bagaimana proses hingga Yanti
memperoleh penghargaan atas motif yang yang terbagus. Hanya dijelaskan di
dinding rumah terdapat kain putih yang ternoda kopih pecah, foto Yanti menerima
penghargaan dan disampingnya ada figura dengan tulisan besar berbunyi “Best
Motive”, itu lah gambaran akhir dalam cerpen ini yang membuat kita
bertanya-tanya bagaimana ? mengapa ? dan lain sebagainya
Pada akhirnya, secara
kesuluruhan cerpen ini menarik dengan menganggkat asal usul terbentuknya motif
kopi pecah yang tetap melestarikan kebudayaan Indonesia tetapi mungkin ada
beberapa kelemahan yang menimbulkan penceritaan yang kurang menarik dari segi
sudut pandang yang diciptakan oleh pengarang yang tidak tepat, bahasa yang
digunakan ragu-ragu, dan adanya kerengganggan antara konflik dan peristiwa.
Mungkin itulah hubungan antara sudut pandang orang ketiga yang kurang tepat
digunakan menjadikan kerenggangan antara konflik dan penyelesaiannya. Sungguhpun demikian, ”Batik Kopi Pecah”
tetaplah cerpen yang berhasil menggangkat kebudayaan Indonesia dan memberikan
amanat yang membuat kita tetap semangat dalam menghadapi peristiwam “bahwa
disetiap peristiwa itu ada hikmah yang dapat kita ambil”.
Daftar Pustaka
Jamal D. Rahman. Diakses melalui file:///F:/PakDjamal/Cerpen Muh
Asyrofi Cerita Tanpa Intervensi Bahasa Jamal D. Rahman.htm. diunduh pada
tanggal 15 Juni 2012
Jamal D Rahman. Dalam perkuliahan Apresiasi dan Kreasi Sastra.
(Selasa, 17 April 2012)
Maman
S Mahyana. Bermain Dengan Cerpen (Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia.
Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama. 2006
Melani
Budianta, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi). Depok: Indonesiatera. 2002
[1]
Maman S Mahyana, Bermain Dengan Cerpen (Apresiasi dan Kritik Cerpen
Indonesia) (Jakarta,2006), h. 244
[2]
ibid
[3]
Jamal D Rahman, Dalam perkuliahan Apresiasi dan Kreasi Sastra, (Selasa, 17
April 2012)
[4]
Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi) (Depok2002),h. 90-91
[5]
Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi) (Depok2002),h. 86
[6]
Maman S Mahyana, Bermain Dengan Cerpen (Apresiasi dan Kritik Cerpen
Indonesia) (Jakarta,2006), h. 246-247
[7]
Maman S Mahyana, Bermain Dengan Cerpen (Apresiasi dan Kritik Cerpen
Indonesia) (Jakarta,2006), h. 247
[8] Jamal D. Rahman, diakses melalui file:///F:/PakDjamal/Cerpen
Muh AsyrofiCerita Tanpa intervensi Bahasa Jamal D. Rahman.htm, diunduh pada
tanggal 15 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar