Struktur
jiwa dalam psikologi islam
Penentuan
struktur kepribadian tidak terlepas dari pembahasan substansi manusia, sebab
dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketauih hakekat dan dinamika
prosesnya. Pada umumnya, ahli membagi substansi manusia atas jasad dan ruh,
tanpa memasukkan nafs. Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya
saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedangkan
ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi. Karena saling membutuhkan maka
diperlukan sinergi yang dapat menampung kedua natur yang berlawanan, yang dalam
terminologi psikologi islam disebut nafs. Pembagian substansi tersebut seiring
dengan pendapat Khair al-Din al-Zarkaliy yang dirujuk dari konsep Ikhwan
al-Shafa.
1. Substansi
jasmani
Jasad
(jisim) adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik.
Organisme fisik manusia lebih sempurna dibanding dengan organisme fisik
makhluk-makhluk lain. Setiap makhluk biotik-lahiriyah memiliki unsur material
yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara, dan air. Keempat unsur
tersebut merupakan materi yang abiotik (mati). Ia akan hidup jika diberi energi
kehidupan yang bersifat fisik (Thaqab al-Jisimiyah). Energi kehidupan ini
lazimnya disebut dengan nyawa, karene nyawa manusia hidup. Ibnu Maskawaih dan
Abu al-Hasan al-Asy’ary menyebut energi tersebut dengan al-hayah (daya hidup),
sedangkan al-Ghazaly menyebutnya dengan isltilah al-ruh jasmaniyah (ruh
material). Dengan daya ini, jasad manusia dapat bernafas, merasakan sakit,
panas-dingin, pahit-manis, haus-lapar, seks dan sebagainya. Al-hayat berbeda
dengan al-ruh, sebab ia ada sejak adanya sel kelamin, sedang al-ruh menyatu
dengan tubuh manusia setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan. Ruh
bersifat substansi (jaubar) yang hanya dimiliki manusia, sedang nyawa merupakan
sesuatu yang baru (‘aradh) yang juga dimiliki oleh hewan.
Jisim
manusia memiliki natur tersendiri. Al-Farabi menyatakan bahwa komponen ini dari
alam ciptaan, yang memiliki bentuk, rupa, bergerak, berkualitas, berkadar,
serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ. Begitu juga al-Ghazaly
memberikan sifat komponen ini dengan dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak
gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Sementara Ibnu
Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen
materi. Sedang menurut Ibnu Maskawaih bahwa badan sifatnya material. Ia hanya
dapat menangkap satu bentuk yang konkret, dan tidak dapat menangkap yang
abstrak. Jika ia telah menangkap satu bentuk kemudian perhatiannya berpindah
pada bentuk yang lain maka bentuk pertama itu lenyap.
Ikhwan
al-Shafa menyatakan bahwa komponen ini naturnya inderawi, empirik, dan dapat
disifati. Ia terstruktur dari dua substansi
yang sederhana dan berakal, yaitu hayula dan shurah. Substansinya
sebenarnya mati. Kehidupannya bersifat ‘aradh karena berdampingan dengan nafs.
Nafs yang menjadikannya hidup bergerak dan memberi daya dan tanda. Ia bersifat
duniawi. Jisim manusia memiliki natur buruk. Keburukan jasad disebabkan oleh
(1) ia penjara bagi ruh, (2) mengganggu kesibukan ruh untuk beribadah kepada
Allah SWT, (3) dan jasad tidak mampu mencapai makhrifat Allah.
2. Substansi
Ruhani
Ruh
merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian
ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jism lathif), ada yang substansi
sederhana (jauhar basith), dan ada juga substansi ruhani (jauhar ruhani). Ruh
yang menjadi pembeda antara esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh
berbeda dengan spirit dalam terminologi psikologi, sebab term ruh memiliki arti
jauhar (substance), sedang spirit lebih bersifat ‘aradh (accident).
Ruh
merupakan substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh
adalah kesempurnaan awal jisim alam manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan
dengan daya. Sedang menurut al-Farabi, ruh berasal dari alam perintah (amar)
yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad. Hal itu dikarenakan ia dari Allah,
kendatipun ia tidak sama dengan zat-Nya. Sedang menurut al-Ghazali, ruh ini
merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani. Ia dapat
berpikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya. Ia juga sebagai penggerak
keberadaan jasad manusia. Sifanya ghaib. Sedangkan Ibnu Rusyd memandang ruh
sebagai citra kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan itu
karena ruh dapat dibedakan dengan kesempurnaan yang lain yang merupakan
pelengkap dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan
disebut organik karena ruh merupakan jasad yang terdiri dari organ-organ.
Fitrah
ruh multi dimensi yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Ruh dapat keluar-masuk
ke dalam tubuh manusia. Ruh hidup sebelum tubuh manusia ada (QS. Al- A’raf;172,
al-Ahzab 72). Kenatian tubuh bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk ke dalam
tubuh manusia ketika tubuh tersebut siap menerimanya. Menurut Nabi, bahwa
kesiapan itu ketika manusia berusia empat bulan dalam kandungan. Pada saat
inilah ruh berubah nama menjadi al-nafs (gabungan antara ruh dan jasad).
Di
alam arwah (sebelum bersatunya ruh dan jasad), sebagaimana dalam QS. Al-A’raf
ayat 172, Allah SWT telah mengatakan perjanjian primordial dengan ruh, yang
mana perjanjian ini merupakan natur aslinya. Saiyid Husen Naser menyatakan
bahwa ayat tersebut berkaitan dengan asrar alastu (rahasia alastu) yang mana
Allah SWT telah memberikan perjanjian kepada ruh manusia. Sedangkan Ikhwan
Shafa menyatakan bahwa firman tersebut berkaitan dengan ruh di alam perjanjian
(‘alam mitsaq) atau disebut alam al-ardh al-awwal (alam perjanjian pertama).
Ruh pada prinsipnya memiliki natur yang baik dan bersifat ketuhanan (ilahiyah).
Ia merupakan substansi samawi dan alamnya alam ruhani. Ia hidup melalui zatnya
sendiri yang tidak butuh makan, minum serta kebutuhan jasmani lainnya.
Pembahasan
tentang ruh dibagi menjadi dua bagian ; pertama, ruh yang berhubungan denganm
zatnya sendiri ; dan kedua, ruh yang berhubungan dengan jasmani. Ruh yang
pertama disebut dengan al-munazzalah, sedang yang kedua disebut dengan
al-gharizah, atau disebut dengan nafsaniah. Ruh al-munazzalah berkaitan dengan
esensi asli ruh yang diturunkan atau diberikan secara langsung oleh Allah SWT
kepada manusia. Ruh ini esensinya tidak berubah, sebab jika ia berubah berarti
berubah pula eksistensi manusia.
Ruh
ini diciptakan di alam ruh (‘alam al-arwah) atau di alam perjanjian (‘alam
al-mitsaq aw ‘alam al-‘abd). Karena itu, ruh munazzalah ada sebelum tubuh
manusia ada, sehingga sifatnya sangat ghaib yang adanya diketahui melalui
informasi wahyu. Ruh al-munazzalah melekat pada diri manusia. Ruh ini dapat
dikatakan sebagai fitrah asal yang menjadi esensi (hakikat) struktur manusia.
Fungsinya berguna untuk memberikan motivasi dan menjadikan dinamisasi tingkah
lakunya. Ruh ini membimbing kehidupan spiritual nafsani manusia. Kehidupan
nafsan manusia yang dimotivasi oleh ruh al-munazzalah akan menerima pancaran
nur illahi yang suci yang menerangi ruangan nafasani manusia, meluruskan akal
budi dan mengendalikan impuls-impuls rendah.
Wujud
ruh munazzalah adalah al-amanah. Fazlur Rahman menyatakan bahwa amanah
merupakan inti kodrat manusia yang diberikan sejak awal penciptaan, tanpa
amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan makhluk-makhluk lain. Amanah
adalah titipan atau kepercayaan Allah (taklif) yang dibebankan kepada manusia
untuk menjadi hamba dan khalifah di muka bumi. Tugas hamba adalah menyembah dan
berbakti kepada penciptanya (QS al-Dzariyat : 56) sebab di alam arwah manusia
telah berjanji bahwa Allah adalah Tuhannya (QS. Al-A’raf:172). Sedang tugas
khalifah adalah menjadi wakil Allah di muka bumi (QS. Al –Baqarah:30, al-Shad:26),
pengganti dan penerus orang-orang yang mendahuluinya (QS al-An’am:165),
pewaris-pewaris di bumi (QS. Al-Naml:62). Ruh al-munazzalah perlu pengingat,
petunjuk maupun pembimbing. Sedang pengingat yang dimaksud adalah al-quran (QS.
Al-baqarah:2) dan sunnah (QS. Al-Hasyr: 7). Apabila aspek inhern ruhani
(al-gharizah) lupa akan dirinya, maka ruh ini memberi peringatan. Sedangkan
al-gharizah adalah bagian dari ruh manusia yang berhubungan dengan jasad.
3. Substansi
Nafsani
Nafs
dalam khazanah islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti jiwa
(soul), nyawa, ruh, konasi yang berdaya syahwat dan ghadab, kepribadian, dan
substansi psikofisik manusia. Maksud nafs dalam bagian ini adalah sebagaimana
dalam pengertian yang terakhir. Pada substansi nafs ini, komponen jasad dan ruh
bergabung. Struktur nafsani merupakan struktur psikofisik dari kepribadian
manusia, struktur ini diciptakan untuk mengaktualisasikan semua rencana dan
perjanjian Allah Swt. Kepada manusia di alam arwah. Aktualisasi itu berwujud
tingkah laku atau kepribadian. Struktur nafsani tidak sama dengan struktur jiwa
sebagaimana yang dipahami dalam Psikologi Barat. Ia merupakan paduan integral
antara struktur jasmani dan struktur rohani. Aktifitas psikis tanpa fisik
merupakan sesuatu yang gaib, sedang aktifitas fisik tanpa psikis merupakan
mesin atau robot. Kepribadian manusia yang terstruktur dari nafsani bukanlah
seperti kepribadin malaikat dan hewan yang diprogram secara deterministik. Ia
mampu berubah dan dapat menyusun drama kehidupannya sendiri. Kehidupan seperti
itu akan terwujud apabila terjadi interaksi aktif antara aspek fisik dan psikis
dari sturuktur nafsani.
Nafs
memiliki natur gabungan antara natur jasad dan ruh. Nafs adalah potensi
jasadi-ruhani (psikofisik) manusia yang secara inhern telah ada sejak manusia
siap menerimanya. Potensi ini terikat dengan hukum yang bersifat jasadi-ruhani. Semua potensi yang terdapat pada nafs bersifat potensial, tetapi dapat teraktualisasi
jika manusia mengupayakan. Setiap komponen yang ada memiliki daya-daya laten
yang dapat menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs membentuk
kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal.
Substansi nafs memiliki potensi gharizah. Jika potensi
ini dikaitkan dengan substansi jasad dan ruh maka dapat dibagi menjadi tiga
bagian : (1) al-qalb yang berhubungan dengan rasa dan emosi, (2) al-aql yang
berhubungan dengan cita atau kognisi, dan (3) daya al-nafs yang berhubungan
dengan karsa atau konasi. Ketiga potensi tersebut merupakan sub-sistem nafs
manusia yang dapat membentuk kepribadian. Untuk memahami masing-masing komponen
gharizah ini perlu rincian tersendiri sebagai berikut.
a.
Kalbu
Kalbu (al-qalb) merupakan materi organik yang memiliki
sistem kognisi yang berdaya emosi. Al-Ghazali secara tegas kelihat kalbu dari
dua sifat, yaitu kalbu jasmani dan kalbu ruhani. Kalbu jasmani adalah daging
sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dada sebelah
kiri. Kalbu ini lazimnya disebut jantung (heart). Sedangkan kalbu ruhani adalah
sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan ruhani yang berhubungan
kalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu memiliki insting yang
disebut dengan al-nur al-ilahi (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathin
(mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Al-zamakhsary menegaskan
bahwa kalbu itu diciptakan oleh Allah SWT. Sesuai dengan fitrah asalnya dan
berkecenderungan meneriman kebenaran dari-Nya. Dari sisi ini kalbu ruhani
merupakan bagian esensi dari nafs manusia. Kalbu ini berfungsi sebagai pemandu,
pengontrolan, dan pengendali struktur nafs yang lain. Apabila kalbu ini
berfungsi secara normal, maka kehidupan manusia menjadi baik dan sesuai dengan
fitrah aslinya, sebab kalbu ini memiliki natur ilahiah atau rabbaniah. Natur
ilahiah nmerupakan natur supra-kesadaran yang dipancarkan dari Tuhan. Dengan
natur ini maka manusia tidak sekadar mengenal lingkungan fisik dan sosialnya,
melainkan juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan, dan keagamaan.
Oleh karena natur inilah, maka kalbu disebut juga fitrah ilahiah atau fitrah
rabbaniah nuraniah.
Ketika mengaktual, potensi kalbu tidak selamanya menjadi
tingkah laku yang baik. Baik-buruknya sama tergantung pada pilihan manusia
sendiri. Sabda Nabi SAW ; “sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal
daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak
maka semua tubuh menjadi rusak. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu.” (H.R
al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir).
Diskursus mengenai kalbu lebih banyak dibahas oleh para
sufi. Bagi para sufi, kalbu adalah sesuatu yang bersifat halus dan rabbani yang
mampu mencapai hakikat sesuatu. Kalbu mampu memperoleh pengetahuan
(al-ma’rifah) melalui daya cita-rasa (al-zawqiyah). Kalbu akan memperoleh
puncak pengetahuan apabila manusia telah mensucikan dirinya dan menghasilkan
ilham (bisikan suci dari Allah SWT) dan kasyf (terbukanya dinding yang
menhalangi kalbu). Menurut al-Qusyairy, pengetahuan kalbiah jauh lebih luas
dari pada pengetahuan aqliyah. Akal tidak mampu memperoleh pengetahuan yang
sebenarnya mengenai Tuhan, sedangkan kalbu dapat mengetahui hakikat semua yang
ada.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu diciptakan untuk
memperoleh kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan kalbu sangat tergantung pada
ma’rifah kepada Allah SWT. Ma’rifah pada Allah SWT sangat tergantung pada
perenungan terhadap ciptaan-Nya. Pengetahuan tentang ciptaan Allah SWT hanya
dapat diperoleh melalui indera. Dengan uraian ini, maka dapat disimpulkan bahwa
indera harus bersumber dari kalbu. Tanpa kalbu, maka indera manusia tidak akan
mampu memperoleh daya persepsi, terutama persepsi spiritual. Daya persepsi
manusia akan terwujud apabila terjadi interelasi daya-daya kalbiah dengan
daya-daya indera.
Kalbu secara psikologis memiliki daya-daya emosi, yang
menimbulkan daya rasa. Sementara at-Thabathabai menyebut dalam tafsirnya bahwa
fungsi kalbu selain berdaya emosi juga berdaya kognisi. Hal ini menunjukkan
bahwa kalbu memiliki dua daya, yaitu daya kognisi dan daya emosi. Daya emosi
kalbu lebih banyak diungkap daripada daya kognisinya, sehingga para ahli sering
menganggap kalbu sebagai aspek nafsani yang berdaya emosi. Apabila terpaksa
menyebut kalbu sebagai daya kognisi, itupun hanya dibatasi pada kognisi yang
diperoleh melalui pendekatan cita-rasa bukan pendekatan nalar.
Daya emosi kalbu ada yang positif dan negatif. Emosi
positif misalnya cinta, senang, riang, percaya (iman), tulus, dan sebagainya.
Sedangkan emosi negatif seperti benci, sedih, ingkar, dan sebagainya. Daya emosi kalbu dapat
teraktualisasi melalui rasa intelektual, rasa inderawi, rasa etika, rasa
estetika, rasa sosial, rasa ekonomi, rasa religius dan sebagainya. Ma’an
Ziyadah lebih lanjut menegaskan kalbu berfungsi sebagai alat untuk menangkap
hal-hal yang doktriner, memperoleh hidayah, ketakwaan, dan rahmah, serta mampu
memikirkan dan merenungkan sesuatu.
Fungsi kalbu dalam Al-Quran seperti dalam kategori
berikut ini : Dari sudut fungsinya, kalbu memiliki (1) fungsi emosi yang
menimbulkan daya rasa ; (2) fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta ; dan
(3) fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa. Dari sudut kondisinya. Kalbu
memiliki kondisi (1) baik, yaitu kalbu yang hidup, sehat, dan mendapat
kebahagiaan ; (2) buruk, yaitu kalbu yang mati dan mendapatkan kesengsaraan,
dan (3) antara baik dan buruk, yaitu kalbu yang hidup tetapi berpenyakit
(mardh).
b.
Akal
Akal
manusia, menurut al-Ghazali dalam bastaman (2005:81), sangat beragam dan dapat
dikelompokkan sebagai berikut: (1) akal praktis (al-amilat) dan (2) akal
teoritis (al-alimat) berdasarkan tinggi jangkauannya dapat dibedakan atas; akal
material (al-aql al-hayulani), akal mungkin (al-aql al-malakat), akal aktual
(al-aql bi al-fi`li) dan akal perolehan (al-`aql al-mustafad). Kemampuan ini
ada batasnya, yaitu di atas akal ada ilham yang dimensinya lebih tinggi dan
mendekati hakikat. Inilah salah satu kelebihan rasio qalbani, yaitu mendapatkan
ilham. Setelah tenggelam dalam tasawuf, al-Ghazali kemudian membaginya ke dalam
dua bagian, yaitu (1) akal (berfikir dan belajar) dan (2) taklid (mngikuti)
kepada nabi.
Dari
pemaparan al_ghazali tersebut dapat disimpulkan bahwa akal yang dimaksud dengan
berpikir di sini adalah rasio nafsani dan kaklid yang mengikuti nabi sebagai
rasio qalbani. Memang dalam rasio qalbani sangat jauh berbeda dengan rasio
nafsani; ia tidak menyangkal karena semu yang terekam olehnya adalah kebaikan
dan kebenaran, bertumpu pada keyakinan sehingga melahirkan sebuah tindakan
taklid, yaitu ikut berdasarkan keyakinan bahwa segala perbuatan yang sesuai
dengan tingkah laku nabi adalah benar.
Menurut
Ma`an Ziyadat dan Ar-Raghib Al-Ashfahany dalam Mujib dan Mudzakir (2002:52),
secara etimologi akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan),
al-hajr (menahan), an-nahy (melarang), dan man`u (mencegah). Memang kata akal
sendiri tidak ditemukan dalam
bentuk kata benda. Perlu tinjauan lain untuk mengetahui pemaknaan sebenarnya
tentang akal. Akal juga bisa
disinonimkan dengan otak yang menurut Malinda Jo Levin dalam Mubarok (2002:32)
bahwa otak kiri berkerja untuk hal-hal yang bersifat logik, seperti bahasa,
berbicara, hitungan matematika dan menulis sedangkan otak kanan berkerja untuk
hal-hal yang bersifat emosi, seperti seni, apresiasi, intuisi dan fantasi.
Ramachandran dan Marshall dalam Hawari (2002:143) mengatakan bahwa bagian otak
depan manusia, terdapat suatu bagian tertentu yang apabila diberikan
rangsangan-rangsangan gelombang mikro elektronik, maka orang yang bersangkutan
akan merasakan sebuah kekhusukan, kedamaian, rasa dekat kepada tuhan.
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa di bagian otak ini ada titik yang
menghubungkan dengan jiwa, kalbu dan kemudian kepada tuhannya. Titik ini mereka
sebut sebagai god spot.
Al-Ghazali
dalam Rizvi (1989:50) mengatakan bahwa: “the human soul is capable of attaining
prefection, but to attain it, has to pass through may stages of development,
viz, sensuous (mahsusat), imaginative (mutakhayalat), instinctive (muhimas),
rational (ma`qulat) and the divine.” (jiwa manusia dapat mencapai kesempurnaan,
tapi untuk mencapainya harus melalui banyak tahapan, yaitu pengindraan,
imajinasi, insting, rasio, dan bersifat ketuhanan).
Secara
sederhana akal dibagi ke dalam empat bagian sebagai berikut.
a. Akal
Hidup
Tak bisa berfikir (miss-opsi), sebab segala
informasi yang masuk kedalam akal hidup, terurai dalam satu presepsi akan
kebenaran. Oleh karena itu, yang timbul adalah pembenaran dan pengakuan dan
kesiapan mengkuti. Dalam terminologi al-Ghazali disebut dengan taklid (ikut
tanpa perlu mempertanyakan).
b. Akal
Sehat
Akal yang menunjukkan sesuatu kepada pembuktian dan
penuh perhitungan. Kesempurnaan akal jenis ini adalah memberikan suatu statmen
atau argumentasi yang kebenarannya diakui oleh umum, berdasarkan data-data dan
siap untuk diuji coba akan kebenaran dari teori yang dilahirkannya.
c. Akal
Sakit
Akal yang sakit adalah akaol yang jika dilihat
secara fisik, memiliki kaitan dengan gangguan fisik. Seperti orang yang sakit
gigi atau demam tinggi akan terasa berat menggunakan akal, dalam hal ini adalah
berkonsentrasi atau melaksanakan tugas-tugas kantor. Orang yang akalnya sakit,
disebabkan gejala fisik biologis, maka
9
cenderung tidak destruktif (merusak) bahkan ia akan
terlihat lemah, baik secara fisik atau psikis. Sedangkan secara rohani adalah
sakit pada bagian qalb (hati), penyebabnya adalah dosa, baik yang dilakukan
secara sengaja atau tidak , seperti provokator (hasud), dengki (hasad), unjuk
diri (ujub), sombong (takabur), berbangga diri (tafakhur), angkuh (mukhtal),
ria, kikir (bakhil), mengumpat (gibah), berbohong (kidzib), mengadu domba
(namimah). Pada penderita terlihat sehat walau sebenarnya mereka itu adalah
sekelompok orang yang sangat berbahaya. Mereka bisa menghancurkan dan tidak
punya rasa belas kasihan dalam neghakimi orang lain disekitarnya.
d. Akal
Mati
Orang yang akalnya telah mati berarti secara fisik
memang ada kerusakan di jaringan signal otak yang disebut disfungsi.
Penderitanya seperti orang gila
yang sering ditemukan di tepi jalan.