Ini
kali pertama petualanganku dimulai, dulu pernah sebelumnya dengan persiapan
matang di gunung tanggamus namun kali ini dengan modal berani akhirnya kami
bertujuh memutuskan tekad dan niat untuk naik gunung Papandayan yang berada di
Garut.
Bermodalan
sarapan bubur Garut yang khas dengan kari ayam dan berbekal nasi kuning Garut
yang sekalian pesan di tukang bubur akhinya kami menuju lokasi pendakian. Salah
satu dari kami membayar tempat parkiran dan izin untuk pendakian tanpa ngecam
artinya kita semua sepakat naik pagi jam 08.00 ke atas setelah itu turun.
Perjalanan
menuju tempat pendakian lumayan jauh kira-kira dua jam dari Cilawu menggunakan
kendaraan pribadi. Dan dari titik terbawah inilah kami semua mulai mendaki,
jalan yang tak begitu rata dengan pertama pemandangan sekeliling hutan dan
pepohonan kemuidan mata kami disambut dengan warna putih disekeliling bukit dan
sampailah kami di titik pertama adalah kawah belerang, beritirahat sejenak
dengan mengabadikannya dalam foto.
Setelah
itu kami menuju ke titik kedua tetapi tidak melewati jalan normal melainkan melalui
jalan bawah karena jalan normal tidak bisa dilalui. Dititik kedua ini kmi
beristirahat lumayan lama karena trek jalan yang turun kemudian menanjak membat
kaki semakun terasa pegal. Dan sebagian dari kami megisi tenaga, makan dan
mengisi minum dari mata air gunung papandayan. Jadi, kalau ke sini lagi cukup
membawa dua botol besar saja karena di atas bisa diisi ulang dengan mata air
yang jernih dan sedingin dari kulkas. Heheheheh
Setelah
puas beristirahat dan sempat tidur beberapa menit, kami masih harus melanjutkan
perjalanan berikutya ke pondok salada titik di mana para pendaki yang bermalam.
Menurutku trek ini yang membawa segala ujian untuk kaki saya yang semakin
merasakan lelah dan sempoyongan tapi melihat yang lain dan para pendaki yang
semangat membuat kaki semakin kuat untuk turun dan menanjak sampai di pondok
salada.
Tiba
di pondok salada tepat waktu zuhur kemudian para laki-laki shalat jumat
terlebih dahulu kemudian disusul perempuan, dan aku pun menjamak shalat zuhur
dan ashar. Setelah itu, buang air di tempat yang urgen dan melanjutkan
perjalanan ke puncak papandayan “Tegal Alun”. Sebelum ke puncak kami sampai
dititik keempat yaitu “Hutan Mati” gunung Papandayan, seperti namanya hutan
mati ini memang dikelilingi dengan beribu-ribu pohon yang hanya tinggal batang
dan dahan saja berwarna colat tua yang mati dan hangus karena meletusnya gunung
papandayan di tahun 2005. Tak perlu banyak warna unutuk meluiskan keindahan
cukup dengan batang yang berdiri tanpa daun dan pemandangn putih dibelakangnya
membuatku takjub akan kebesaran Allah SWT, akan keindahan yang bukan lagi hanya
kulihat di foto tapi sekarang aku melihatnya langsung bisa merasakan hawanya
langsung dan bisa memang setiap dahan yang berkerut kokoh kuat di setiap
tempatnya.
Hanya
sebentar di hutan mati kami jalan ke depan dan puncak papandayan sudah menunggu
kami. Untuk mencapai puncak ini pun tidak mudah memang semua gunung pun begitu,
puncak memang trek yang terkenal tidaklah mudah itupun yang saya rasakan dengan
tim. Di awal belum terlalu terjal dan menanjak. Namun hampir satu jam kami
melewati jalan terjal dan menanjak hanya bermodalkan pegang kanan kiri pohon
dan akar pohon dan ada pula yang hanya memegang batu. Dibutuhkan kesabaran,
keyakinan, dan kekuatan untuk terus maju sampai puncak. Jika tak berani jangan
lakukan dan jangan melihat ke bwah karena pemandagan bawah terlalu indah untuk
di pandang terlalu lama.
Cukup
tegang dan takut untuk pemula sepertiku tapi akhirnya aku dan tim bisa sampai
di padang edelweish yang sungguh menawan, di kanan kiri penuh dengan bunga
penghuni pengunungan. Edelweish menjadi lembang perjuangan dan hadiah mata di
puncak papandayan. Dipuncak papandayan “Tegal Alun” ini kami mengabadikan momen
perjuangan tim dan kemudian berakhir dengan keadaan dan cuaca yang mulai
mendung karena sudah jam setengah empat. Akhirya turunnya kami dari puncak
papandayan diiringi dengan derasnya hujan yang kami rasakan semakin dingin dan
berat dalam menuruni gunung ini namun jika kami tetap diam dan tak bergerak
makan kami akan semakin beku maka kami tetap melanjutkan perjalanan.
Sampai
di pondok salada kami hangatkan diri dengan teh hangat dan beberapa jajanan
hangat bakso tusuk, cakwie, dan gorengan karena di pondok salada ini ada
beberapa warung yang berdiri dengan bambu dan terpal. Untuk harganya gorengan
seribu rupiah, cakwie sepuluh ribu rupiah, dan bakso lumayan besar seribu
rupiah serta minuman lima ribu rupiah. Badan mulai terasa hangat sementara
namun embun setiap berkata-kata tetaplah berkebul namun kami harus turun dan bergerak
karena hujan sudah mulai menipis.
Langkah
kakiku mulai gontai karena seluruh badan basah, sepatuku semakin berat karena
hujan yang membuat besi tak bisa diam menggesek kakiku. Memang hanyalah kaki
yang telah jauh melangkah dan mata yang semakin lebar melihat keindahan.
Akhirnya sampai juga kami di kawah belerang titik pertama dalam mendaki tadi
artinya kami sudah hampir sampai. Serasa kacamata ini sudah tak bisa fokus
melihat hanya hitungan menit lalu kabur dan terasa puisng. Perasaan itu patilah
ada semua tim pun merasakan namun dengan melihat laki-laki yang mengajakku
melakukan hal yang mustahil namun kita berdua bisa melewati bersama itu sungguh
luar biasa. Terimakasih atas kesabaran dan selalu memotivasi dalam setiap
kelelahan yang kau pun rasakan. Lalu, adakah pasangan yang lebih sempurna dari
seseorang yang membuat kita mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya mustahil?
Terimakasih
juga atas kebesaran dan keindahanMu yang menciptakan kemolekan Gunung
Papandayan, setiap jalan dan setiap kaki ini melangkah tak pernah sedikitpun
terlupakan namun akan jadi pengalaman yang terindah. 2665 mdpl aku mulai
memantapkan hati.
Jum’at,
15 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar