Pendahuluan
A. LATAR
BELAKANG
Psikologi merupakan unsur penting dalam pembelajaran,
guru menggunakan psikologi untuk mendiagnosis setiap siswa yang dihdapinya.
Setiap siswa unik, artinya siswa memiliki karakteristik yang berbeda-beda
begitupula dengan karakteristik anak SMA khususnya kelas X yang dalam tahap perkembangannya
merupakan tahap remaja awal. Pada perkembangan remaja awal tersebut siswa
mengalami perubahan-perubahan fisik terjadi sangat pesat dan mencapai
puncaknya. Ketidakseimbangan emosional dan ketidakstabilan dalam banyak hal
terdapat pada masa ini. [1]
Perubahan-perubahan tersebut harus dimaknai oleh guru secara seksama karena
perubahan tersebut berpengaruh terhadap proses pembelajaran.
Guru harus menggunakan pendekatan dan teori belajar
bahasa yang sesuai dengan karakteristik siswa agar materi yang disampaikan
dapat dimaknai dan dipahami oleh siswa. Oleh karena itu, guru harus menyusun
rencana pembelajaran dengan mempertimbangkan pedekatan dan teori belajar yang
akan digunakan. Pendekatan pada masa remaja awal digunakan pendekatan kognitif
sosial karena dapat menyadari konsekuensi lain dari sebuah perilaku disebut
juga dengan cognitivist sosial konsekuensi mengganti dan diri kita sendiri.
Penguatan mengganti adalah ketika
sesuatu yang positif terjadi pada seseorang sebagai akibat dari tindakan
mereka dan merangsang orang lain untuk
bertindak dengan cara yang sama untuk menerima bahwa penghargaan yang sama atau
imbalan.
Teori belajar merupakan
upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita
semua memahami proses yang kompleks dari belajar. Ada lima perspektif dalam
teori belajar, yaitu behaviorisme, kognitivisme, konstruktivisme, humanisme dan
sosial.Teori belajar bahasa yang digunakan
adalah teori belajar bahasa kognitivisme
menekankan pada eksistensi keadaan
mental yang bisa
mempengaruhi proses belajar. Pakar
psikologi kognitif modern berpendapat bahwa belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa,
pembentukan konsep, dan pemecahan
masalah. Mereka
meneliti bagaimana manusia
memproses informasi dan membentuk representasi mental dari orang lain, objek, dan kejadian.[2]
Jadi, karakteristik anak SMA sudah tidak lagi selalu di berikan stimulus
seperti anak SD tetapi sudah pada tahap berpikir operasional konkrit, siswa
diajarkan untuk menggunakan pikiran secara logis dalam memecahkan
masalah-masalah yang konkrit.
Belajar menggunakan pendekatan kognitif sosial mengembang
siswa untuk
belajar dari sebagian besar apa
yang ia ketahui melalui observasi (pengamatan). Belajar melalui pengamatan berbeda dari classical dan operant conditioning karena
tidak membutuhkan pengalaman personal langsung dengan stimuli,
penguatan kembali,
maupun hukuman.
Belajar
melalui pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang disebut
model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan membahas mengenai pembelajaran bahasa
khususnya dalam aspek berbicara, mendeklamasikan puisi berdasarkan observasi
yang telah dilakukan pada siswa kelas X di sekolah Kharisma Bangsa, Tangerang
Selatan. Mendeskripsikan pendekatan kognitif sosial dan teori belajar bahasa
kognitif menurut Bruner dalam pembelajaran. Pendekatan tersebut bertujuan agar
siswa termotivasi untuk belajar dan memperaktikkan secara lagsung langsung
deklamasi puisi dengan rasa percaya diri. Melatih siswa untuk berfikir secara
logis dan sistematik sehingga siswa dapat memecahkan masalah dalam kehidupan
nyata.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimanakan
penerapan pendekatan kognitif sosial dalam pembelajaran mendeklamasikan puisi
(pembelajaran bahasa berbicara)?
2. Bagaimanakah
peran teori kognitif Bruner dalam pembelajaran?
C.
TUJUAN
1. Memahami penerapan pendekatan kognitif sosial dalam pembelajaran
bahasa
2. Mengembangkan pendekatan kognitif sosial dan teori pembelajaran
bahasa
Pembahasan
A. Pendekatan
Kognitif Sosial
Teori kognitif sosial (sosial cognitive theory) menyatakan bahwa faktor sosial dan
kognitif serta faktor pelaku memainkan peran penting dalam pembelajaran.
Faktor kognitif berupa ekspektasi siswa
untuk meraih keberhasilan, faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap
perilaku orangtuanya. Albert Bandura merupakan salah satu merancang teori
kognitif sosial. Menurut Bandura ketika siswa belajar mereka dapat
merepresentasikan atau mentrasformasi
pengalaman mereka secara kognitif. Bandura mengembangkan model deterministic resipkoral yang terdiri
dari tiga faktor utama yaitu perilaku,
person/kognitif dan lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi
dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku
mempengaruhi lingkungan, faktor person/kognitif
mempengaruhi perilaku. Faktor person Bandura tak punya kecenderungan kognitif
terutama pembawaan personalitas dan temperamen. Faktor kognitif mencakup
ekspektasi, keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan.
Dalam model pembelajaran Bandura, faktor
person (kognitif) memainkan peranan
penting. Faktor person (kognitif) yang
dimaksud saat ini adalah self-efficasy
atau efikasi diri. Reivich dan Shatté[3] mendefinisikan efikasi
diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan
memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri
sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki
komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan
bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura[4], individu yang memiliki efikasi
diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak
merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya.
Individu ini pun akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan
yang ia alami.
Dalam pembelajaran yang saya observasi, guru
memberikan motivasi yang menyakinkan kepada siswa bahwa setiap siswa dapat
belajar dan mencapai tujuan pembelajaran. dengan memberikan beberapa tujuan
pmbelajaran pada hari tersebut, yaitu siswa dapat mendeklamasikan puisi. Setiap
siswa dilahirkan sama dan memilki kemampuan yang sama yang membedakan adalah
seberapa besar tekad kalian untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Begitupula
dengan pembelajaran mendeklamasikan puisi, siswa diyakinkan bahwa mereka semua
bisa. Dengan dipengaruhi lingkungan ini diharapkan siswa dapat memotivasi
dirinya sendiri bahwa mereka bisa dan mau mencoba untuk belajar mendeklamaskan
puisi.
1.
Pembelajaran
Observasional.
Operant conditioning adalah suatu usaha
pengkondisian untuk menimbulkan dan mengembangkan respons sebagai usaha
memperoleh “penguatan”. Dengan kata lain melalui pemberian reinforcement
(penguatan) itu maka seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme. Operant
conditioning meliputi proses-proses belajar yang mempergunakan otot-otot secara
sadar, memberikan jawaban dengan otot-otot tersebut dan mengikutinya dengan
pengulangan untuk penguatan. Walaupun demikian, perilaku tersebut masih
dikendalikan faktor luar (faktor lingkungan, rangsang atau stimulus) yang mana
akan sangat mempengaruhi respon-respon yang akan diperlihatkan.
Teori tentang belajar atau proses
pengkondisian operan dikembangkan oleh Skinner[5] dari eksperimennya dengan
tikus. Minat Skinner pada tingkah laku timbul tidak hanya dari rasa ingin tahu
tentang cara kerja tingkah laku, tetapi juga dari keinginan kuat untuk memanipulasinya.
Oleh karena itu, Skinner mengadakan penelitian tentang bagaimana cara kita
untuk dapat mengontrol sebuah tingkah laku pada individu. Jika dalam
pengkondisian klasik penguatan atau reinforcement dilakukan berulang-ulang
sehingga menghasilkan tingkah laku, dalam pengkondisian operan terjadi
sebaliknya, yaitu jawaban atau tingkah laku yang menimbulkan penguatan/
reinforcement. Individu harus melakukan sesuatu. Dengan kata lain, individu
adalah alat untuk menimbulkan penguatan. Jadi penekanan dari penelitian Skinner
adalah tentang respon-respon yang tidak harus dibangkitkan oleh stimulus (operan), tetapi yang sangat dipengaruhi
oleh akibat-akibat dari respon-respon itu sendiri (reinforcement).
Pembelajaran kognitif sosial ini pada
dasarnya merupakan penyempurnaan dari teori behavioralisme. Teori
behavioralisme banyak diterapkan pada karakteristik anak SD, guru menjadi pemegang
penting dalam pembelajaran karena gurulah yang memberikan stimulus-stimulus
untuk siswa kemudian siswa yang menjawab benar diberikan reward dan jika siswa
yang berisik maka guru memberikan punishment seperti menunjuk siswa tersebut
dan diminta untuk maju ke depan kelas. Sedangkan pembelajaran pada
karakteristik anak SMA (yang saya observasi) guru hanya sebagai fasilitator,
guru memberikan stimulus berupa model dalam bentuk video dan salah satu siswa
yang pernah menjuarai puisi kemudian dari model tersebut stimulus siswa
dibangkitkan.
Pembelajaran observasional disebut juga
sebagai pembelajaran imitasi atau modeling adalah pembelajaran yang dilakukan
dengan mengamati atau meniru perilaku orang lain. Kapasitas untuk
mempelajari pola perilaku dengan observasi
dapat mengeliminasi pembelajaran trial and error serta membutuhkan waktu yang
relative pendek dibandingkan pengkodisian operan. Bandura[6] mengawali eksperimennya
dengan studi Boneka Bobo, yang mengilustrasikan bagaimana pembelajaran dapat dilakukan
hanya dengan mengamati model yang bukan sebagai penguat atau penghukum, serta dapat mengilustrasikan
perbedaan antara pembelajaran dan kinerja (performance). Pengamatan dilakukan
dengan menugaskan sejumlah anak TK secara acak untuk melihat tiga film, di mana
ada seorang model yang memukuli boneka plastik seukuran orang dewasa yang dinamakan
boneka Bobo. Dalam film pertama penyerangnya diberi permen, minuman ringan dan
dipuji karena melakukan tindakan agresif. Film kedua , si penyerang ditegur dan
ditampar karena melakukan tindakan agresif. Sedang film ketiga, tidak ada
konsekuensi atau tindakan terhadap si penyerang yang telah
melakukan tindakan agresif. Kemudian masing-masing anak dibiarkan sendiri di
ruang pengamatan yang penuh dengan mainan boneka termasuk boneka Bobo. Anak
terutama untuk anak laki-laki yang menonton film pertama dan ketiga lebih sering melakukaan tindakan
agresif.
Inti dari studi ini bahwa pembelajaran observasional terjadi sama
ekstensifnya baik itu ketika peilaku agresif diperkuat maupun tidak diperkuat.
Pengamatan dilajutkan dengan memberikan imbalan intensif dengan memberikan
striker atau jus buah untuk meniru model. Dari pengamatan memperlihatkan
perbedaan dalam perilaku imitative anak dalam tiga kondisi tersebut hilang.
Inti dari studi ini memperlihatkan antara pembelajaran dan kinerja, karena
siswa yang tidak melakukan respons bukan berarti mereka tidak mempelajari.
Menurut Bandura ketika anak mengamati perilaku tetapi tidak memberi respon yang
dapat diamati, anak tersebut kemungkinan mendapat respon model dalam bentuk
kognitif.
Pengamatan Bandura relevan dengan pernyataan Dr Vermon A Magnesen[7] dalam buku Quantum teaching yang menerangkan bagaimana kita belajar,
yaitu 10 % dari apa yang kita baca, 20 % dari apa yang kita dengar, 30 % dari
apa yang kita lihat, 50 % dari apa yang kita lihat dan dengar, 70 % dari apa
yang kita katakan dan 90 % dari apa yang kita katakan dan lakukan. Menurut Bandura[8] proses spesifik yang
terlibat dalam pembelajaran observasional ada empat, yaitu proses atensi,
retensi, produksi dan motivasi.
Berikut ini adalah
pengaruh atas pelajar sesuai dengan model Bandura[9]
1. Seorang
individu yang mendemonstrasikan atau
menunjukkan sebuah perilaku (dia disebut sebagai model live). Individu ini
adalah orang-orang yang mengelilingi pelajar, misalnya orang tua , guru, teman, rekan kerja, dan individu
lain sering terlihat.
2. Seseorang
atau sesuatu yang menggambarkan dan menjelaskan perilaku.
3. Model
simbolik. Televisi adalah yang paling berpengaruh di banyak rumah. Rata-rata
anak menonton lebih dari 3 jam sehari .
Seorang guru tidak lagi dapat berdiri di
depan kelas dan membaca dengan keras sebuah naskah dalam bahasa asing dan
menganggap bahwa siswa akan belajar bagaimana melakukan hal yang sama.
Responsif terhadap model, kata Bandura (1986) terdiri dari tiga faktor penting.
Karakteristik pertama adalah relevansi dan kredibilitas model kepada siswa.
Menurut pengamatan Bandura, bahwa semakin bergengsi, menyenangkan, atau
terkenalnya model, siswa semakin berusaha
untuk meniru perilaku atau instruksinya. Seorang siswa juga tampaknya merespon
dengan baik ketika konsekuensi dari tindakan model tidak diketahui maknanya.
Pengaruh ketiga pada individu adalah imbalan intrinsik bahwa orang tersebut
akan mendapatkan dari menanggapi perilaku model.
Bandura mempelajari bahwa peran
model akan mempengaruhi perilaku
positif, negatif, atau perubahan perilaku siswa.[10] Penelitian ini menuntun Bandura dan Walters untuk memahami faktor-faktor
sosial dan beberapa kognitif yang mempengaruhi belajar. Diantara faktor-faktor
yang mempengaruhi adalah penggunaan simbol-simbol, pengaruh media, dan
keterlibatan dalam tindakan bermakna[11]. Bandura bersama Schunk dan Zimmerman meneliti peran efektivitas diri (yang keyakinan
pribadi tentang kemampuan), motivasi siswa, dan reaksi seseorang untuk belajar
dan bermain dalam kemajuan mereka dalam belajar. Jika seseorang memiliki
efektivitas pribadi yang tinggi, mereka lebih cenderung merasa bahwa mereka
dapat menyelesaikan tugas dengan sukses. Hal ini pada dasarnya apakah mereka
melihat diri mereka sebagai mampu atau tidak.
Guru dan ruang kelas memainkan peran sentral
dalam motivasi. Reaksi Seorang guru untuk respon siswa, cara guru membantu
siswa, dimana siswa ditempatkan di kelas, dan bagaimana nilai-nilai yang
diberikan hanya beberapa contoh peran guru memainkan dalam memotivasi siswa.
Terakhir, cara seseorang bereaksi terhadap keberhasilan atau kegagalan
berpengaruh besar terhadap prestasi penguasaan. Sikap negatif seperti melihat
nilai sebagai ukuran kemampuan total terhadap upaya dapat menyebabkan siswa
untuk menyerah dan belajar jauh lebih sedikit. Dengan sikap positif siswa
menerima kritik dan bekerja untuk belajar
dan melakukan yang lebih baik. Atau meningkatkan diri ketika gagal untuk
melawan rasa menyerah yang akan meragukan ketrampilan mereka. Ketika datang
untuk belajar, proses kognitif memainkan peranan sentral. Konsekuensi dan
kejadian akan memandu perilaku.[12]
Teori kognitif sosial adalah menyadari
konsekuensi lain dari sebuah perilaku. Ini adalah apa yang disebut cognitivist
sosial konsekuensi mengganti dan diri kita sendiri. Penguatan mengganti adalah
ketika sesuatu yang positif terjadi pada
seseorang sebagai akibat dari tindakan mereka dan merangsang orang lain untuk bertindak dengan cara yang sama untuk
menerima bahwa penghargaan yang sama atau imbalan. Contoh ini akan menjadi saat
siswa dipuji oleh guru atau diberikan perlakuan khusus lalu jelaskan agar
mejaga perilaku siswa agar mereka juga dapat dihargai. Self konsekuensi dengan
dikenakan imbalan/reward dan hukuman
setup yang dilakukan oleh siswa atas perilakunya. Contoh ini sering dilihat
oleh orang-orang yang memperlakukan diri mereka sendiri untuk sesuatu setelah mencapai
tujuan.
Dalam pembelajaran
mendeklamasikan puisi, guru menghadirkan model teman sebaya siswa yang pernah
memenangkan perlombaan deklamasi puisi. Model ini dapat dikatakan efektif
karena dari teman sebayanya siswa dapat termotivasi untuk belajar
mendeklamasikan puisi. Menggunakan teman sebaya sebagai model yang efektif.
Teman yang lebih tua memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan teman yang
seusia. Strategi yang baik ambil model
dari kelas yang lebih tinggi untuk mencontohkan suatu prilaku baru yang
diharapkan akan dilakukan oleh siswa.
Setelah itu, guru memberikan pembanding
dirinya sendiri yang mendeklamasikan puisi dengan memberikan perbedaan dari
segi pembawaan dan prilaku karena pembelajaran observasional dapat efektif untuk
mengajar perilaku baru[13]. Murid yang baru pertama kali diminta belajar materi tertentu, atau belajar presentasi yang
efektif, pemakaian alat ukur baru akan mendapat
manfaat dengan mengamati dan mendengarkan model yang kompeten. Disini
guru dapat dikatakan sebagai mentor sebagai model kompeten yang bersedia
bekerja dengan siswa dan membantu siswa mencapai tujuan. Karena seseorang
mentor harus yang dihormati dan sebagai
rujukan dalam pembelajaran
Terkait dengan multiple intelligences, maka
yang diundang beragam model dengan keahlian tertentu. Pertimbangkan model yang
dilihat anak di televise, video dan komputer. Penting untuk memonitor tontonan TV anak, video film anak-anak atau
games pada komputer untuk memastikan agar anak/siswa tidak melihat terlalu banyak model negative
terutama yang penuh dengan kekerasan. Misalkan film Tom and Jerry, dimana
keduanya bermusuhan dengan kekerasaan yang berulang tetapi dikemas dalam film
kartun yang lucu. Games Mortal Combat yang penuh dengan kekerasan dan banyak
dimainkan oleh anak laki-laki.
2.
Pendekatan
Perilaku Kognitif dan Regulasi Diri
Dalam
pendekatan perilaku kognitif adalah mengubah perilaku dengan menyuruh orang
untuk memonitor, mengelola mengatur
perilaku untuk memonitor, mengeloladan mengatur perilaku mereka sendiri, bukan dipengaruhi oleh faktor
ekternal. Menurut Meichenbaum[14] dengan pendekatan ini
membantu mengubah miskonsepsi dari siswa, memperkuat keahlian siswa dan
mendorong refleksi diri yang konstruktif.
Metode
instruksi diri (self instructional method)
adalah sebuah teknik perilaku kognitif yang digunakan untuk mengajari individu
memodifikasi perilaku mereka sendiri. Metode sef instructional membantu orang mngubah apa yang anggapan mereka
tentang diri mereka sendiri. Berikut ini beberapa strategis bicara pada diri
sendiri (self talk) yang bisa dipakai
dalam pendidikan untuk situasi dimana murid sedang gugup atau gelisah menghadapi ujian
·
Bersiap
menghadapi stress atau kecemasan : “apa yang harus kulakukan?”
·
Menghadapi
dan menangani kecemasan atau stress ; “tenang, tarik nafas dalam-dalam dan
gunakan strategi yang ada”
·
Mengatasi
perasaan pada saat kritis/mendesak :”jika aku cemas, aku akan
berhenti sejenak dam tetap focus pada
apa yang apa yang kulakukan”
·
Menggunakan penyataan peguatan diri : “aku
bisa…”
·
Gantikan kalimat negative menjadi kalimat
positif,…. “Man Jadda Wajada”
·
“Dalam kesulitan pasti ada kemudahan”
Para
behavioris kognitif merekomendasikan cara agar siswa untuk meningkatkan
prestasi mereka dengn memonitor perilaku mereka sendiri. Dalam pembelajaran hal
ini dilakukan dengan menyuruh siswa membuat diagram atau catatan atas tindakan
mereka. Semua dimulai oleh guru yang notabene sebagai model mereka.
B.
Teori
Kognitif Menurut Bruner
Bruner memiliki pandangan mengenai proses
belajar yaitu langkah-langkah bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan
mentransformasikan informasi secara aktif.[15] Dimana perhatian tentang
kognitif Bruner berpusat pada masalah apa yang dilakukan manusia dengan
informasi yang diterimanya, dan apa yang akan dilakukannya sesuah memperoleh
informasi untuk mendapatkan pemahaman yang memberikan kemampuan tersendiri
baginya.
Konsep Bruner dalam menyusun teori
perkembangan kognitif memperhitungkan enam hal, yaitu[16]:
1. Perkembangan
intelektual ditandai oleh meningkatnya variansi respon terhadap stimulus. Anak
yang pada mulanya berada dalam kendali stimulus, belajar membebaskan diri dari
stimulus. Ketika anak itu memperoleh sistem bahasa, mere belajar memediasi
hubungan antara stimulus dan respon. Dengan mediasi itu, anak belajar
membedakan gratifikasi, memodifikasi respon, dan memiliki respon yang sama
walaupun stiulusnya berubah-ubah.
2. Pertumbuhan
tergantung pada perkembangan intelektual dan sistem pengolahan informasi yang
dapat menggambarkan realita. Anak-anak tidak dapat memprediksikan atau
mengeksplorasi hasil yang akan dicapai apabila mereka tidak belajar sistem
simbol yang mencerminkan dunia. Oleh karena itu, untuk memahami pengalaman yang
ada di luar dirinya, anak memerlukan representasi mental tentang dunia di
sekitarnya.
3. Perkembangan
intelektual memerlukan peningkatan kecakapan untuk mengatakan pada dirinya
sendiri dan orang lain, melalui kata-kata atau simbol, mengenai apa yang telah
dikerjakan dan apa yang dikerjakannya. Hal ini menjelaskan adanya kesadaran
diri. Tanpa perkembangan untuk menggambarkan kegiatan masa lalu dan masa depan,
maka tidak akan terjadi perilaku analitik yang diarahkan pada dirinya sendiri
atau terhadap lingkungannya.
4. Interaksi antara guru dengan siswa adalah
penting bagi perkembangan kognitif. Orang tua, guru, dan anggota masyarakat
harus mendidik anak-anak. Kebudayaan yang ada di masyarakat tidak cukup mampu
mengembangkan perkembangan intelektual anak, sehingga guru harus menafsirkan
dan berbagi kebudayaan dengan anak agar mereka mengalami perkembangan
intelektual.
5. Bahasa
menjadi perkembangan kognitif. Setiap
individu belajar menggunakan bahasa untuk memediasi peristiwa yang terjadi di
dunia. Kemampuan berbahasa ini menjadi sarana untuk mengaitkan berbagai
peristiwa dalam bentuk sebab akibat.
6. Pertumbuhan
kognitif ditandai oleh semakin meningkatnya kemampuan menyelesaikan berbagai
alternatif secara simultan, melakukan berbagai kegiatan secara bersamaan, dan
mengalokasikan perhatian secara runtut pada berbagai situasi tertentu.
Menurut Bruner ada 3 tahap perkembangan
kognitif[17],
yakni :
1.
Enaktif ( Enactive )
Tahap ini merupakan tahap representasi pengetahuan
dalam melakukan tindakan . Pada tahap
ini anak dalam tahap belajarnya menggunakan atau memanipulasi obyek – obyek
secara langsung.
2.
Ikonik ( Iconic )
Tahap yang merupakan perangkuman bayangan secara
visual.Pada tahap ini anak melihat dunia melalui gambar –
gambar atau visualisasi. Dalam belajarnya , anak tidak memanipulasi obyek –
obyek secara langsung, tetapi sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan
gambaran dari obyek.
3.
Simbolik ( Symbolic )
Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol – simbol
secara langsung dan tidak lagi menggunakan obyek – obyek atau gambaran obyek. Pada tahap ini anak memiliki gagasan – gagasan
abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.
C.
Ruang
Lingkup Pendekatan Kognitif Sosial dalam Kelas Observasi
Pembelajaran mendeklamasikan puisi bertujuan
agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berbicara dengan memperhatikan aspek intonasi, artikulasi, dan
ekspresi yang sesuai dengan puisi yang dibacakan. Dalam pembelajaran guru
mempertimbangkan bahasa (gramatika dan kosakata), gaya belajar, dan teks yang
digunakan dalam pembelajaran sehingga guru dapat merancang pembelajaran sesuai
dengan umur dan level bahasa siswa kelas X SMA. Guru menggunakan bahasa
Indonesia baku selama pembelajaran dan menggunakan gaya belajar yang berpusat
pada siswa, artinya guru hanya sebagai fasilitator dan berpandangan bahwa
setiap siswa telah memiliki pengalaman dan ilmu sebelumnya tentang pembelajaran
mendeklamasikan puisi.
Pada pertemuan sebelumnya siswa sudah belajar
menyimak puisi, yaitu memaknai puisi dan menafisrkan puisi dari segi intrinsik
dan ektrinsik puisi. Pada hari di mana saya observasi, kelas tersebut membahas
mengenai bagaimanakah mendeklamasikan puisi/membaca puisi dengan memperhatikan
unsur-unsur di dalamnya agar pesan puisi dapat tersampaikan pada penyimak.
Pada tahap awal pembelajaran, guru memberikan
stimulus berupa motivasi pada siswa agar siswa termotivasi belajar, dengan cara
menyampaikan pribahasa/kata-kata mutiara, “Gajah
mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan ilmu”. Membuka
pembelajaran dengan menyampikan pribahasa/kata-kata mutiara sangat unik dan
cocok bagi karakteristik siswa berumur 17 tahun yang sudah mampu berfikir
logis. Dari kata mutiara tersebut guru mencoba menghubungkan dengan beberapa
puisi yang sudah dibahas pada pertemuan sebelumnya kemudian guru memberikan
tayangan video berupa pembacaan puisi.
Setelah penayangan video pembacaan puisi menggunakan
media projektor, siswa diminta untuk memberikan komentar tetang penampilan
pembacaan puisi tersebut dan secara ridak langsung guru memberikan materi
mengenai apa saja yang perlu dipersiapkan dan diperhatikan dalam
mendeklamasikan puisi. Kemudian, diakhiri dengan kesimpulan, mendeklamasikan
puisi tidak hanya membaca puisi saja namun harus memperhatikan beberapa hal,
seperti: percaya diri, penampilan, intonasi, artikulasi, ekspresi, mimik, dan
gesture tubuh.Penayangan video merupakan model yang dapat ditiru oleh siswa.
Selain model tersebut guru memberikan model siswa yang pernah mengikuti lomba
deklamasi puisi. Dari kedua model tersebut diharapan siswa sudah mendapatkan
menggambarakn mana yang patut ditiru dan yang tidak patut ditiru. Kemudian,
siswa diberikan beberapa pilihan teks puisi untuk dideklamasikan di depan
kelas. Teks puisi pilihan terlampir.
Penguasaan kosakata pada siswa berumur 17
tahun sangat beragam, dari kosakata yang bermakna denotatif sampai konotatif
hampir dikuasai seluruhnya begitupula dengan tata bahasa tulis namun dalam tata
bahasa lisan belum seluruhnya sempurna. Masa remaja ini siswa memproduksi
bahasa pergaulan dengan cara memodifikasi bahasa-bahasa yang baru mereka
ketahui, seperti bahasa daerah, bahasa baku, dan bahasa asing. Guru memegang peranan
penting dalam pembelajaran bahasa dengan cara menyampiakan materi dan
berkomunikasi dengan bahasa yang baik dan benar sehingga dapat menjadi model
bagi perkembangan bahasa siswa.
Evaluasi
Pendekatan Kogitif Sosial
Pendekatan
kognitif sosial memberikan kontribusi penting untuk mendidik anak. Pembelajaran
dilakukan dengan mengamati dan
mendengarkan model yang kompeten dan kemudian meniru apa yang mereka lakukan.
Penekanan pada pendekatan perilaku kognitif pada pembelajaran instruksi diri, pembicaraan
diri, dan regulasi diri. Hal ini menimbulkan pergeseran penting dalam
pembelajaran yang dikontrol orang lain ke kemauan untuk bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukannya.[18] Strategi ini dapat
meningkatkan kemampuan belajar murid secara signifikan.
Dalam
akhir pembelajaran mendeklamasikan puisi guru melaksanakan evaluasi dengan
penampilan siswa mendeklamasikan puisi, penilaiannya meliputi percaya diri,
penampilan, intonasi, artikulasi, ekspresi, mimik, dan gesture tubuh. Siswa
merasa bertanggung jawab dengan melakukan beberapa hal, yaitu: membaca secara
seksama teks puisi, memahami isi puisi, menganlisa beberapa kosakata yang perlu
intonasi keras atau lemah, setelah itu masing-masing siswa berlatih dengan
gesture dan mimik yang sesuai dengan puisi yang dibawakan. Kemudian guru
memanggil nama seorang siswa untuk mendeklamasikan puisi, siswa mendeklamasikan
ke depan kelas dengan muka yang sedikit tegang karena diminta untuk maju
pertama. Siswa membawakan puisi karya Taufik Ismail dengan intonai dan
artikulasi yang tepat namun penghayatan serta mimik yang masih kurang.
Pendekatan psikologi
yang baik adalah pendekatan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, materi
ajar, bahasa, dan karakteristik siswa. Ada beberapa pendekatan dan teori belajar dan setiap pendekatan dan
teori belajar tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelemahan dalam
menggunakan teori kognitif sosial di kelas adalah kesulitan dalam menerapkan
porsi self efficacy dan komponen
regulasi diri. Masalah lain adalah bahwa dalam memilih model untuk perilaku,
orang mungkin kehilangan beberapa anggota pembelajar dengan alasan bahwa salah memilih model. Misalnya, bintang sepak bola yang popular di
TV memberikan nasehat pada anak-anak
agar tetap bersekolah dan tidak menggunakan narkoba. Jika pemirsa tidak menyukai model yang mempengaruhi ini, yang diinginkan
mungkin tidak tercapai. Bidang lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa di
dalam kelas, hukuman dari seorang guru atau kurangnya perilaku penguatan
positif tertentu dari guru, dapat mempengaruhi perilaku dan pembelajaran di
kelas. Juga di dalam kelas sulit bagi guru untuk membantu siswa mengembangkan
rasa efikasi diri dan regulasi diri. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, self efficacy berkaitan dengan keyakinan
bahwa siswa memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu lebih baik.
Hasil Observasi
A. Deskripsi
Observasi
Saya melakukan observasi di sekolah SMA
Kharisma Bangsa yang berada di Tangerang Selatan, profil sekolah terlampir.
Senin, 15 Februari 2016 saya meminta izin dengan memberikan surat permohonan
izin observasi dan langsung diberi izin untuk bertemu langsung dengan kepala
mata pelajaran bahasa Indonesia Pak Mustofa. Akhirnya, observasi saya lakukan pada
keesokan harinya Selasa, 16 Februari 2016 pukul 07.00 pagi sampai pukul
12.00. Saya melakukan observasi dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X. A (putri) dan kelas X. C (putra).
Saya melakukan observasi di dua kelas tersebut karena sistem sekolah memisahkan
antara siswa wanita dengan siswa laki-laki begitupula dengan guru. Jadi, lantai
tiga diperuntukkan untuk siswa laki-laki dan ruang guru laki-laki dan lantai
empat diperuntukkan untuk siswa perempuan dan ruang guru perempuan. Dalam segi
materi pembelajaran, setrategi pembelajaran, dan pendekatan digunakan
pendekatan yang sama karena setiap sekurang-kurangnya sebulan sekali guru
bahasa Indonesia baik laki-laki dan perempuan mengadakan rapat bersama guna
merancang pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Oleh karena itu, untuk
melihat pendekatan kognitif sosial dalam pembelajaran bahasa saya melakukan
observasi pada kedua kelas tersebut.
Proses pembelajaran di kelas X.C (putra)
terjadwal pada jam pertama, alokasi waktu dua jam, yaitu pukul 07.00-09.15. Dan
proses pembelajaran di kelas X.A (putra) terjadwal pada jam ketiga, alokasi
waktu dua jam, yaitu pukul 09.30-11.45. Penerapan pendekatan psikologi kognitif
sosial di kedua kelas tersebut tidak jauh berbeda namun ada beberapa perbedaan
karena guru dan jenis kelamin siswa berbeda. Di kelas X.C guru memberikan model
mendeklamasikan puisi dengan tayangan video dan teman sebaya siswa sedangkan di
kelas X. A guru memberikan model mendeklamasikan puisi dengan tayangan video
dan guru sendiri. Model dengan teman sebaya lebih efektif digunakan dibandingan
dengan guru atau orang dewasa yang lebih dihormati karena siswa akan berfikir
logis dan sudah diberikan rasa efesiensi diri bahwa “Aku pasti bisa”, “Temanku
saja bisa apalagi aku harus bisa”. Dengan adanya efesiensi tersebut kesadaran
akan tanggung jawab dalam belajar dan berlatih mendeklamasikan puisi akan lebih
tinggi dibandingkan dengan model dari orang dewasa atau guru. Hal tersebut pun
terlihat dari respon siswa, siswa X.C laki-laki tanpa dipanggil terlebih dahulu
mengajukan diri untuk mendeklamasikan puisi. Kepercayaan diri tidak terlalu
diuji karena mereka berhadapan dengan jenis kelamin yang sama.
B.
Pembahasan
Berikut proses spesifik yang terlibat dalam pembelajaran
observasional yang diaplikasikan pada kelas X.C dan X.A
Atensi
Sebelum siswa
mendeklamasikan puisi, guru memberikan dua model agar siswa mengamati dan
meniru tindakan model, mereka akan memperhatikan apa yang dilakukan atau yang dikatakan oleh model. Perhatian
atau atensi kepada model sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang ada pada
si model. Pada observasi ini, saya mengamati bahwa model teman sebaya lebih
efektif digunakan dibandingan dengan model guru.
Retensi
Untuk mereprodukasi tindakan
model, siswa harus mengkodekan informasi dan menyimpannya dalam ingatan
(memori) sehingga informasi itu bisa diambil kembali. Penggunaan model video
dan menghadirkan teman sebaya dan guru meningkatkan retensi murid karena guru
memberikan contoh yang nyata dan jelas dapat langsung dilihat oleh siswa.
Produksi
Siswa memperhatikan model
dan mengingat apa yang mereka lihat, untuk mengingat pembelajaran dari model
tersebut siswa diminta untuk memberikan tanggapan tentang penayangan video dan
model yang ditampilkan oleh guru. Kegiatan tanya jawab tersebut merangsang
siswa untuk berfikir secara logis dari apa yang mereka lihat secara langsung
sehingga siswa dapat mengoreksi model yang ditampilkan oleh guru.
Motivasi
Setelah memperhatikan apa yang dikatakan
atau dilakukan model, menyimpan informasi dalam memori, siswa menirukan
tindakan model, mungkin saja akan termotivasi. Melakukan praktik berlatih dan berusaha
untuk mendeklamasikan puisi dengan mengambil pembelajaran dari model yang
ditampilkan, mana yang patut ditiru dan tidak patut ditiru.
Terlepas dari perbedaan antara kedua kelas
tersebut ada beberapa hal yang sama diterapkan dalam pembelajaran. Dalam
mengelola proses pembelajaran keduanya menekankan pada inquiry dan discovery,
kedua hal tersebut merupakan pengembangan teori kognitif menurut Brunner. Dari
awal pembelajaran guru memberikan motivasi berupa pribahasa/kata mutiara
kemudian siswa diminta untuk memaknai pribahasa/kata mutiara tersebut. Proses
berfikir siswa dikembangkan dengan cara melakukan penemuan dan penyelidikan
terhadap model yang di berikan oleh guru berupa penanyangan video
mendeklamasikan puisi, teman sebaya, dan guru. Dari beberapa model tersebut
guru menstimulasi dengan mengarahkan siswa tentang apa pendapatmu dari model
yang kamu lihat? Apa sajakah yang kurang dari penampilan tersebut? Hal tersebut
menunjukkan bahwa guru memberikan kesempatan pada siswa untuk berfikir dengan
struktur enactive, ikonis simbolik.
Stimulus yang diberikan oleh guru dengan
beberapa model yang nyata ditampilkan di depan hadapan siswa maka siswa akan
berfikir menemukan sendiri secara detail informasi yang terkait dengan
pendeklamasian puisi tersebut. Siswa dapat mengoreksi intonasi dalam
penanyangan video kurang tepat, artikulasinya bagus, memberikan contoh mimik
yang tepat, maka terjadilah suatu alur berfikir, yaitu pendeklamasian puisi
bukan hanya sekedar membaca puisi saja namun harus memperhatikan
unsur-unsurnya, seperti intoasi, artikulasi, mimik, dan gesture agar pesan
puisi dapat tersampaikan dengan baik.
Pada tahap perkembangan kognitif siswa SMA
kelas X. C dan X. A sudah pada tahap simbolik. Siswa sudah tidak menirukan
secara langsung model yang ditampilkan oleh guru, dan tidak menirukan model
dengan penggambaran lain. Namun siswa sudah dalam tahap perkembangan kognitif
simbolik, artinya siswa memiliki gagasan-gagasan tersendiri mengenai model yang
diberikan oleh guru dan sudah memiliki konsep mengenai apa yang dilakukan
ketika mendeklamasikan puisi dengan cara berfikir secara logis dan aktif
unsur-unsur spesifik apa yang diperlukan oleh siswa dalam mendeklamasikan puisi
serta apa yang perlu dilatih agar dapat menampilkan pendeklamasian puisi yang
bagus.
Dengan mengembangkan pendekatan kognitif
menurut Bruner akan memberikan tiga manfaat bagi siswa, yaitu[19]:
·
Memperoleh informasi baru, artinya adanya
penghalusan dan penambahan dari informasi yang dimiliki siswa sebelumnya.
·
Transformasi informasi, artinya cara yang
dilakukan oleh siswa dalam menerapkan pengetahuan barunya yang sesuai dengan
tugasnya.
·
Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.
Adanya penilaian mengenai apakah cara siswa memperlakukan pengetahuan sudah
cocok dengan tugas yang ada.
Dari hasil observasi antara siswa laki-laki
dan perempuan diberikan pendekatan yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Kedua kelompok ini menunjukkan perbedaan keaktifan dalam memberikan
pendapat, siswa laki-laki lebih antusias meanggapi karena model yang
ditampilkan adalah teman sebaya sedangkan siswa perempuan kurang antusias
menanggapi kerena model yang ditampilkan adalah gurunya sendiri. Kemudian dari
segi pembawaan dan percaya diri keduanya sama karena ketika maju di depan kelas
yang di hadapi sama dengan dirinya, hal tersebut mungkin akan berbeda jikalau
siswa dihadapkan pada audience laki-laki dan perempuan.
Secara keseluruhan, pembelajaran yang
dilakukan di kelas X.C dan X.A SMA Kharisma Bangsa menggunakan pendekatan kognitif sosial sudah
diimplementasikan secara baik dalam pembelajaran mendeklamasikan puisi, guru memberikan
stimulus yang memotivasi siswa, guru memberikan model yang dapat langsung
diamati dan dilihat oleh siswa, siswa berfikir logis sehingga dapat mengoreksi
dan menemukan teknik-teknik mendeklamasikan puisi dari model yang ditampilakan,
siswa mampu berfikir secara abstrak dengan membuat konsep mendeklamasikan puisi
yang diberikan oleh guru, dan siswa termotivasi untuk belajar dan berlatih
mendeklamasikan puisi serta meampilkannya di depan kelas.