Ini bukan puisi bukan juga syair yang
kubuat secara khusus, tetapi inilah rutinitasku. Segala apa yang kurasakan hari
ini akan selalu kuttumpahkan melalui setiap deret huruf menjadi kata dan
deretan kalimat yang bermakna.
Entah bagaimana aku memulai semua ini pun
lupa yang terpenting dan yang jelas sekarang adalah selama hidupku aku berjabat
dengan impianku bukan di saat bahagianya dan kecewaku.
Entah hitam, coklat, entah hijau muda.
Belum pernah kulihat bola mata berwarna cojlat muda terang, jadi tidak bisa
teerlalu yakin, dan tempat ini didesain dengan penerangan yang buruk. Terang
yang malah tidak membuat suasana menjadi santai dan romantis. Namun hanya
tempat ini yang terdekat dari tempat wilayah kami. Tak ada hiburan yang
tersedia. Kami hanya menghibur diri sendidri dengan saling bertanya satu sama
lain, mengobrolkan entah apa dan hingga kemana.
Tiba-tiba tatapan matanya mengarah kepadaku
dengan sebuah pertanyaanku. Dia, yang paling kucari. Tapi tidak dalam jarak dua
kyrsi seperti ini. Kursi kami yang berjauhan membuat kami harus berkomunikasi
terpisah-pisah karena posisi duduk kami harus dimiringkan. Andai aku memberanikan
diri menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Namun, kunikmati posisi ini untuk
membaca pikirannya, tatapan matanya, dan memata-matai perasaannya. Cukup
seperempat saja jiwaku berjaga di kursi dan meja itu, untuk tersenyum sopan,
tertawa kecil, dan merespon ‘oh’, dan bertanya kembali atas percakapan apapun.
Kisah ini memang berat, jika kuandaikan
kisah ini maka orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja.
Seseorang yang Cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki
keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap
keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang
hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang
yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia
berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.
Aku tahu, sahabat ku adalah orang yang
berbahagia. Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggp miliki. Aku adalah orang
yang paling bersedih, karena aku mengetahui apa yang tidak sanggup aku miliki.
Setelah kulihat dia memilki mata yang indah, ia kembalo menjadi sebentuk
punggung yang sanggup kuhayati, yang kuisyaratkan halus melalui udara, cahaya,
langit, piring, dan gelas-gelas yang ada di depan dan sekelilingku.
Ciputat, 18 Agustus 2014
23:00 WIB
Wulandari Nur Fajriyah