Kamis, 11 Februari 2016

Pendakian Ketigaku Gunung Prau, Dieng.

Gunung Sindoro dari Puncak Gunung Prau, Dieng
Foto: Wulandari Nur Fajryah


Ini adalah pendakian ketigaku setelah Gunung Papandayan, Gunung Gede Pangrango dan yang ke-tiga adalah Gunung Prau. Dieng. Perjalanan ini dimulai setelah magrib pada Jum’at, 21 Agustus 2015 saya dan pasangan menuju ke titik kumpul di Kuningan dan diluar dugaan adik terganteng menyusul setengah jam sebelum keberangktan. Sesampainya di sana kami menaruh barang, shalat, dan mengisi perut sebelum perjalanan ke Dieng. Setelah semua tim berkumpul  dan mini bus datang pukul 20.30 WIB ka,I berangkat dan seketika suasana ramai mulai perkenalan dan bercanda diiringi lagu dari layar TV di depan. Sejam setelah itu bus menjadi hening dan semua sudah terlelap.

Sabtu, 22 Agustus 2015 pukul 08.00 WIB kami sampai di Dieng dengan cuaca cerah namun suhu udara dingin merayapi tubuh kami, dan seetika saya lihat di telepin genggam suhu udara menunjukkan 15 derajat Celsius. Melihat pemandangan sekitar kanan kiri bukit berjajar dan ditanami berbagai sayuran (wortel,jagung,kentang,daun seledri,dll) dan buah (tomat,strawberry, dan carica). Buah yang paling khas di Dieng adalah Carica, buah yang hanya tumbuh di dataran tinggi dengan suhu dingin inimemiliki bentuk yang sama dengan buah papaya namun batangnya lebih kokoh,daun lebih kecil, dan buahnya kecil, hanya sebesar kedondong. buah ini dijadikan makanan, seperti kripik carica dan manisan carica. Olahan tersebut merupakan oleh-oleh khas Dieng dan ada satu lagi yang terkenal adalah “Purwaceng” adalah seperti tanaman yang berguna menghangatkan tubuh biasanya di seduh langsung atau dijadikan campuran pada susu,teh, atau kopi.

Sesampainya kami di penginapan, kami beres-beres dan membagi tempat tidur kami, setelah itu bergantian mandi dan jam 11.00 kami meuju wisata telaga warna, batu rata, menonton teater, candi arjuna, dan kawah belerang. Menjelang sore kami mulai kelelahan dan mencari makan dengan berbagai menu dan selalu pesan ayam bakar (pengaruh pasangan) hehehehe, dan susu perwacenng. Rasanya lumayan dan harga sama seperti di Jakarta.

Di penginapan kami berkemas untuk naik puncak Prau tengah malam, setelah itu bersih-bersih dan makan lagi biar kuat tidur malamnya. Heheheh. Udara yang super dingin dan hamper 10 derajat Celsius membuat cepet lapar dan selalu ingin tidur menurut saya. Hehehe. Setelah isya pukul 21.00 WIB kami sudah dilapak masing-masing. Bermodalkan sleeping bag akhirnya aku bisa tidur lelap . Kemudian bangun dengan alarm lagu dangdut dari lantai bawah pada pukul 00.15. Mencoba untuk tidur lagi tapi bau pop mie membuat bangun dan akhirnya makan dan minum lagi. Aku memakai dua baju berlengan panjang satu lengan pendek dan jaket tipis serta jaket tebal tahan air, menguunakan dua sarung tangan, dua kaos kaki, buff, sepatu, koyo untuk hidung, dan tongkat. Pukul 01.00 WIB kami siap meuju titik pendakin jalur Dieng, kemudian laporan, berdoa bersama, dan pukul 01.30 kami memulai perjalanan.

Kami mendaki melalui jalur Dieng, tepatnya di belakang terminal Dieng. Perjalanan ditemani dengan sejuta bintang dan sinar rembulan. Dipandu dengan pemandu gunung Dieng kami mulai menghafalkan teman siapa yang berada di depan dan yang ada di belakang kita, tujuannya agar tidak ada yang hilang atau tertinggal. Dengan semangat yag membara kami menikmat setiap perjalanan kami yang begitu sunyi senyam dan beberapa kali bertemu dengan pendaki lain yang mengejar matahari terbit dari puncak Dieng. Tepat pukul 04.00 kami sudah berada di taman Daisy, dan sepanjang perjalanan kami ini banyak tenda yang berdiri serasa rumah komplek yah, hehehehe. Setelah itu kami harus jalan dengan pemandangan bukit-bukit di kanan dan kiri, sering disebut dengan bukit teletubbies, yah alasannya memang bentuk dan warnanya sama seperti acara anak-anak masa kecil tahun 90-an ini. 

Kami terus berjalan dan sampai di puncak kami menyaksikan matahari terbit lebih awal karena dipuncak gunung sekitar jam 05.00 pagi hari sudah muncul perlahan-lahan. Indah sekali... saya takjub melihatnya, momen ini saya abadikan di lensa paling bagus di dunia ini yaitu mata saya sendiri. Pengalaman ini membuat saya berkaca-kaca takjub, merinding liat kekuasaan Allah yang Maha Besar. Tertegun melihat keindahan sinar matahari di atas awan dengan pemandangan lima gunung di belakangnya dan yang paling nampak adalah Gunung Sindoro.


Ragaku Matenggo Dirgantara- Afwan Malik Al-Mumtaz- Wulandari Nur Fajriyah

Cahaya terang dari matahari memberikan harapan untuk menghangatkan badan ini tetapi salah, saya dan kawan-kawan tak merasakan kehangat malah menjadi dingin karena hembusan angin yang yang menyibak kedinginan dan kami harus selalu bergerak untuk mengatasi kedinginan di Dieng, memang ini lah tantangan terbesar saat naik Gunung Prau, Dieng. Setelah itu, kami mengabadikan momen ini. Kemudian mencari temoat untuk rebahan sejenak dan membuat air hangat, makan roti, dan makan mie instan. 

               Sunrise terindah dalam hidup :)


Tepat pukul 07:30 kami bersia-siap untuk turun dengan jalur yang berbeda dengan jalur naik sebelumnya. Jalur turun ini lebih sempit namun lebih cepat, tantangannya adalah turunan yang tinggi, penuh debu, dan sebelah kiri jurang. Jadi, memang haruslah berati-hati menggunakan tumpuan kaki jangan hanya kanan saja yah atau bisa dengan menggunakan bantuan kayu atau teman lain jika turunan tidak rata dan curam, yang terpenting adalah harus cari pijakan batu jangan tanah karena tanah mudah longsor dan berdebu. Kemudian gunakan masker dan jaga keseimbangan tubuh. Penulis merasakan kram di kaki kanan karena selalu turun menggunakan kaki kanan, beruntung tak terlalu parah dan bisa melanjutkan perjalanan hingga di bawah jalan stapak walaupun kemudian naik ojek sampai di penginapan. Hehehehe..... maaf yah kawan-kawan aku mendahului kalian, dan aku sampai di penginapap sekitar jam 11-an siang. Kemudian mandi dan bersih-bersih.


Perjalanan di akhir ini tak terlalu bagus untuk diceritakan karena ktika aku mengalami kram, pasangan menagih janjinya kalau aku kenapa-kenapa mau digendong tapi karena merasa masih bisa untuk jalan kaki dengan elan-pelan rasanya tak tega L apalah daya, dia yang keras kepala dan aku sitak menepati janji akhirnya dia ngambek dan jalan duluan. Hikssss.... yah akhirnya ketemu di penginapan juga saat menjemur baju penuh dengan debu tanah. Aku akui aku memang salah dan yang tak menepati janji, mungkin justru akulah yang keras kepala, maaf pah. Terimakasih sudah mengajakku dan membawaku ke puncak gunung ke-tiga yang kita lalui bersama, susah, senang, lapar, kenyang, lelah, letih, pegel, terbayar semua karena selalu bersamamu@hellmember Ragaku Matenggo Dirgantara.




Selanjutnya, puncak manakah yang akan kita tahlukan Pah? Semeru dulu yah Pah atau Rinjani? Semoga Allah selalu merindhoi perjalanan kita. Amin, amin ya Rabb.



1 komentar: