Senin, 20 Mei 2013

Penggunaan Rujuk-Silang dalam Novel Student Hidjo karya Mas Macro Kartodikromo


Penggunaan Rujuk-Silang
dalam Novel Student Hidjo karya Mas Macro Kartodikromo
Penyebutan ulang dalam prosa merupakan hal yang harus diperhatikan. Karena penyebutan ulang berfungsi merujuk kalimat atau makna sebelumnya. Seperti kata ganti orang, pengulangan penamaan suatu latar, benda, dsb. Rujuk-silang, yang merupakan penyebutan kembali sesuatu yang telah dikemukakan sebelumnya, merupakan alat pengulangan makna dan referensi. Bentuk penulangan yang paling nyata- yang dikenal dengan pengulangan formal- adalah berupa pengulangan kata atau kelompok kata yang sama.[1]
Dalam novel Student Hidjo penggunaan rujuk-silang kata ganti orang lebih sedikit digunakan oleh pengarang. Mas Marco lebih sering menyebutkan nama tokoh.
“Sudah dua bulan lamanya Hidjo tinggal di Negeri Belanda dan menjadi pelajar di Delf. Selama itu pula Hidjo belum merasa kerasan tinggal di Nederland karena pikiran dan sikap Hidjo tidak sebagaimana anak muda kebanyakan”.[2]
“Sewaktu Hidjo dan Betje keluar dari stasiun hendak naik tram, beberapa orang tukang semir sepatu, orang-orang yang berjualan di situ sama ribut menanyakan kepadanya. Apakah Hidjo dan Betje tidak suka digosok sepatunya? Karena permintaan itu, maka dengan ikhlas Hidjo memberi uang …”[3]
Rujuk silang harus diperhatikan benar oleh pengarang dan digunakan dengan secara cermat dan hati-hati karena jikalau pengarang kurang memeperhatikan dan kurang cermat maka akan menimbulkan ketidaksesuaian penyebutaan awal dan selanjutnya. Hemat penulis, tidak ada kohesifitas.
Jika diperhatikan pada penamaan kapal yang dibuat oleh Mas Marco. Pada mulanya Mas Marco menyebutkan nama kapal yang dinaiki Hidjo ke Nederland adalah Kapal Api Gunung
           
“Kurang seminggu dari Keberangkatan Kapal Api Gunung …”[4]
Kemudian pada halaman selanjutnya Mas Marco menyebutkan kembali nama kapal tersebut tetapi yang disebutkan berbeda dengan sebelumnya, yaitu Kapal Gunung.
“Meski Kapal Gunung sudah jauh dari daratan, tetapi Hidjo masih selalu melihat ke arah Tanjung Priok …”[5]
            Dan pada halaman selanjutnya penamaan nama kapal sama dengan yang disebutkan pertama kali, yaitu Kapal Api Gunung.
“Semakin lama semua passagier Kapal Api Gunung satu sama lain semakin akrab”.[6]
Penyingkatan atau pengurangan itu pada umumnya dilakukan jika sesuatu yang dituturkan sebelumnya itu panjang sehingga jika dituturkan kembali seperti apa adanya akan merupakan pemborosan yang justru menyebabkan tidak efesien dan efektifnya penuturan itu.[7]
Ketidakkonsistenan dalam penamaan Kapal membuat pertanyaan, apakah nama itu hanya dibuat pengarang, ada kesalahan dalam pencetakan ataukah pengarang tidak memperhatikan hal tersebut ? Semua kemungkinan itu bisa saja terjadi.
Pada masa awal penjajahan Belanda, bacaan dikategorikan menjadi dua, yaitu: bacaan Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan disesuaikan dengan visi misi Belanda untuk mendukung peranannya di Indonesia sehingga memiliki beberapa peraturan yang ketat dalam menyelekasi tulisan untuk diterbitkan, mulai dari tema, tokoh, hingga bahasa yang digunakan. Dan bacaan liar adalah bacaan yang dikelola dan diterbitkan oleh penerbit selain Balai Pustaka yang dianggap sebagai propaganda pada Belanda. Novel Student Hidjo adalah salah satu bacaan liar pada saat itu, karena bahasa yang digunakan pengarang bukan Melayu tinggi, dan pengarangnya seorang komunis. Lengkaplah sudah karya Mas Marco ditolak oleh Balai Pustaka.
 Alasan tersebut dapat memperkuat sebab ketidakonsistenan pengarang dalam novel Student Hidjo dikarena dua faktor, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Fakor internal

(faktor dari dalam) yaitu pengarang sendiri. Mas Marco adalah seorang priyayi kecil yang memiliki sifat banyak bicara, tidak bias diam yang sangat berbeda sekali dengan priyayi kelas tinggi dan tergila-gila dengan budaya Eropa. Hal ini tidak menutup kemungkinan penyebutan yang tidak konsisten tersebut disebabkan kurangnya ketelitian dan perhatian pengarang.
Kemudian faktor eksternal (factor dari luar) disebabkan novel Student Hidjo pada awalnya merupakan cerita bersambung yang dimuat dalam surat kabar pada tahun 1918. Kemudian pada tahun 1919 dibukukan. Kemungkinan percetakan atau pihak lain sebagai editor melakukan kesalahan. Namun penghilangan kata <Api> tidak begitu berpengaruh pada pembaca. Namun sebagai koreksi, sebaiknya sesuatu yang ditulis harus sesuai dengan rujukan awal yang telah disebutkan sebelumnya.



[1] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Jakarta: Gajah Mada University Press, h. 307
[2] Mas Marco Kartodikromo, Student hidjo, Jakarta: PT Buku Seru, h. 74
[3] Ibid., h. 139
[4] Ibid., h. 17
[5] Ibid., h. 22
[6] Ibid., h. 24
[7] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Jakarta: Gajah Mada University Press, h. 307

Tidak ada komentar:

Posting Komentar