Selasa, 21 Mei 2013

Arus Kesadaran Tokoh Rohayah dalam Novel Belenggu Karya Armijn Pane


Arus Kesadaran Tokoh Rohayah dalam Novel Belenggu Karya Armijn Pane
Belenggu merupakan novel pertama di Indonesia karena hanya bercerita mengenai satu sisi kehidupan dalam termin waktu yang singkat, isi ceritanya yang terlepas dari masalah adat, kawin paksa, pertentangan anatar golongan tua dan muda. Namun novel Belenggu menceritakan pergolakan batin/belenggu masing-masih tokoh di dalamnya sehingga pembaca diajak berfikir dan merasakan.
Penggunaan arus kesadaran dalam novel lebih berorientasi pada pemaparan hal-hal yang paling mendalam dari diri para tokoh bahkan pemaparan tersebut dapat merupakan manifestasi gagasan pengarang yang ingin mempengaruhi pemikiran pembaca.[1]
Rohayah adalah salah satu tokoh yang memiliki dua belenggu, yakni: kawin paksa tetapi dia sudah melepas belenggu tersebut dengan melarikan diri, dan cinta masa lalunya pada dokter Sukartono. Belenggu yang belum dilepasnya adalah cinta masa lalunya pada dokter tersebut. Membuat dia berusaha untuk menarik simpati dokter Sukartono.
Mula-mula Roohayah berpura-pura menjadi seorang pasien yang bernama nyoya Emi. Kemudian Rohayah mencoba menarik perhatian Sukartono.
“Lihatlah tuan dokter, rajinnya saya minum obat tuan,”kata nyoya Eni menunjukkan botol obat, diambilnya dari atas meja.”[2]
Setelah menarik perhatian Sukartono, Rohayah mencoba menarik kedatangan Sukartono untuk menemuinya.
“Dokter biasanya banyak-banyak datang, biar banyak-banyaknya dapat duit, tetapi tuan dokter hendak lekas-lekas jangan datang lagi, sudah mengatakan tiada akan bersua lagi?....”[3]
Maksud dari perkataan Rohayah tersebut merupakan sebuah kiasan untuk Sukartono agar sering mengunjunginya walaupun dia sudah sembuh lagi. Mulai dari kunjungannya yang ke-2 tersebut membuat dokter Sukartono sering mengunjungi nyoya Emi, salah satunya disebabkan karena Sukartono penasaran mengenai identitas nyoya Emi.
“Dokter Sukartono duduk terenjak sebentar, seolah-olah mendengar ucapan yang demikian juga tapi tiada ingat dimana……)”[4]
“Sekali-kali kalau ia memandang air muka Yah dengan tenang-tenang, terbit pula dalam pikirannya pertanyaan, yang sejak mulanya sudah tumbuh dalam hatinya: “Dimanakah dia aku lihat dahulu?”[5]
            Pertemuan yang intensif tersebut membuat mereka berdua semakin dekat, sering jala-jalan, dan semakin mesra. Hingga Sukartono selalu nyaman di dekat nyoya Emi.
“Cuma satu saja yang dia tahu benar; di rumah Yah, melihat Yah, hatinya tenan, merasa puas. Perkara lain-lain buntu bagi pikirannya.”[6]

Dari pemaparan mengenai sifat Rohayah tersebut, dapat disimpulkan Rohayah merupakan tokoh yang paling aktif, paling lembut bukan berarti dia tidak mempunyai pilihan. Arus kesadaran tokoh Rohayah adalah dia sangat sadar mengambil keputusan dalam mengatur siasat untuk merayu Dokter Sukartono agar dia dapat melepaskan belenggunya dari cinta lamanya dengan Sukartono. Namun akhirnya Rohayah merupakan tokoh yang paling bebas dari belenggunya karena mengambil sikap untuk meninggalkan Sukartono dan pergi ke Nieuw Caledonie.
“Yah tersenyum, sambil menangis….. dia merasa belenggu dahulu, waktu dia belum bertemu dengan Tono, terkunci lagi, tetapi belenggu itu terasa ringan, menerbitkan perasaan gembira yang tidak terhingga, bercampur perasaan duka yang tidak terhingga pula…….”[7]



[1] Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia), h. 173
[2] Armijn Pane, Belenggu, (Jakarta: Dian Rakyat), h. 27
[3] Ibid., h.27
[4] Ibid., h.28
[5] Ibid., h.39
[6] Ibid.,h.41
[7] Ibid.,h.149

Tidak ada komentar:

Posting Komentar